Hardiwinoto.com-Bahwa setiap profesi memiliki konsekuensi dan ada ayat ayatnya maka ada konsekuensi pula untuk beribadah kepada Tuhannya.
Al Baqoroh 21-25
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai Manusia!…” (pangkal Ayat 21).
Seruan kepada seluruh manusia yang telah dapat berpikir.
“…Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu…” (tengah Ayat 21).
Dari tidak ada, kamu telah diadakan dan hidup di atas bumi.
“…dan orang-orang yang sebelum kamu,…” (tengah Ayat 21).
Artinya datang ke dunia mendapat sawah dan ladang, rumah tangga, dan pusaka yang lain dari nenek-moyang sehingga yang datang kemudian hanya melanjutkan apa yang dicencang dan dilatih oleh orang tua-tua. Maka orang tua-tua yang telah meninggalkan pusaka itupun Allah jualah yang menciptakan mereka. Disuruh mengingat itu.
“…supaya kamu terpelihara.” (ujung Ayat 21).
Disuruh kamu mengingat itu agar insaf akan kedudukanmu dalam bumi ini. Dengan mengingat diri dan mengingat kejadian nenek-moyang bersambung ingatan yang sekarang dengan jaman lampau, supaya kelak diwariskan lagi kepada anak-cucu, yaitu supaya selalu terpelihara atau dan memelihara diri dan kemanusiaan, jangan jatuh martabat jadi binatang.
Yaitu dengan jalan beribadat, berbakti dan menyembah kepada Tuhan, menyukuri nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. (HAMKA)
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Yang telah menjadikan untuk kamu akan bumi, jadi hamparan…” (pangkal Ayat 22).
Pikirkanlah olehmu, hai manusia, akan ciptaan Tuhanmu itu. Terbentang luas sehingga kamu bisa hidup makmur di atas hamparan-Nya itu.
“…dan langit sebagai bangunan…” (tengah Ayat 22).
Yang dapat dirasakan melihat awannya yang bergerak di waktu siang dan bintangnya yang gemerlap di waktu malam dan mataharinya yang memberikan sinar dan bulannya yang gemilang cahaya.
“…dan diturunkannya air dari langit,…” (tengah Ayat 22).
Dari atas.
“…maka keluarlah dengan sebabnya buah-buahan, rezeki bagi kamu,…” (tengah Ayat 22).
Maka pandanglah dan renungkanlah itu semuanya, sejak dari buminya sampai kepada langitnya, sampai kepada turunnya air hujan menyuburkan bumi itu.
Teratur turunnya hujan menyebabkan suburnya apa yang ditanam. Kebun subur, sawah menjadi, dan hasil tanaman setiap tahun dapatlah diambil buat dimakan. Pikirkanlah dan renungkanlah itu semuanya, niscaya hati sanubari akan merasa bahwa tidak ada orang lain yang sekasih, sesayang itu kepadamu.
Dan tidak ada pula kekuasaan lain yang sanggup berbuat begitu: menyediakan tempat diam bagimu, menyediakan air dan menumpahkan bahan makanan yang boleh dikatakan tidak membayar. Sehingga jika terlambat hujan turun dari jangka yang terbiasa, tidaklah ada kekuatan lain yang sanggup mencepatkan datangnya.
“…maka janganlah kamu adakan bagi Allah sekutu-sekutu, padahal kamu mengetahui.” (ujung ayat 22).
Tentu kalau telah kamu pakai pikiranmu itu, mengetahuilah kamu bahwa Yang Maha Kuasa hanyalah Dia sendirinya. Yang menyediakan bumi buat kamu hanya Dia sendirinya, yang menurunkan hujan, menumbuhkan dan menghasilkan buah-buahan untuk makananmu hanya Dia sendirinya.
Sebab itu tidaklah pantas kamu buatkan untuk Dia sekutu yang lain. Padahal kamu sendiri merasa bahwa tidak ada yang lain itu berkuasa. Yang lain itu cumalah kamu bikin-bikin saja.
Ayat ini akan diikuti lagi oleh banyak Ayat yang lain, yang nadanya menyeru dan membangkitkan perhatian manusia terhadap alam yang berada sekelilingnya. Ayat ini telah menunjukkan kehidupan kita di atas bumi yang subur ini, menyambung keturunan dari nenek-moyang kita.
Dikatakan di sini bahwa bumi adalah hamparan, artinya disediakan dan dikembangkan laksana mengembangkan permadani, dengan serba-serbi keseluruhannya. Dan di atas kita terbentanglah langit lazuardi, laksana satu bangunan besar. Di atas langit itu terdapat matahari, bulan dan bintang dan awan gumawan dan angin yang berhembus sejuk. Lalu diterangkan pula bahwa kesuburan bumi adalah karena turunnya hujan dari langit, artinya dari atas.
Ayat ini menyuruh kita berpikir dan merenungkan, diikuti dengan merasakan. Bukanlah kemakmuran hidup kita sangat bergantung kepada pertalian langit dengan bumi lantaran hujan? Adanya gunung-gunung dan kayu kayuan, menghambat air hujan itu jangan tumpah percuma saja ke laut, tetapi tertahan-tahan dan menimbulkan sungai-sungai. Setengahnya terpendam ke bawah bumi menjadi persediaan air. Pertalian langit dengan bumi, dengan adanya air hujan itu teratur dengan sangat rapinya, sehingga kehidupan kita di atas bumi menjadi terjamin.
Ayat ini menyuruh renungkan kepada kita, bahwasanya semuanya itu pasti ada yang menciptakan: itulah Allah. Tak mungkin ada kekuasaan lain yang dapat membuat aturan setertib dan seteratur ini. Sebab itu maka datanglah ujung Ayat mengatakan tidaklah patut kita menyembah kepada Tuhan yang lain, selain Allah.
Kamu sudah tahu bahwa yang menghamparkan bumi dan membangun langit, lalu menurunkan hujan itu tidak dicampuri oleh kekuasaan yang lain.
Di sini kita bertemu lagi dengan apa yang telah kita tafsirkan di dalam Surat AL FAATIHAH. Di Ayat 21 kita disuruh menyembah Allah, itulah Tauhid Uluhiyah: penyatuan tempat menyembah. Sebab Dia yang telah menjadikan kita dan nenek-moyang kita: tidak bersekutu dengan yang lain. Itulah Tauhid Rububiyah.
Di Ayat 22 ditegaskan sekali lagi Tauhid Rububiyah, yaitu Dia yang menjadikan bumi sebagai hamparan, menjadikan langit sebagai bangunan dan Dia yang menurunkan hujan, sehingga tumbuhlah tumbuh-tumbuhan untuk rezeki bagi kamu. Ini adalah Tauhid Rububiyah. Oleh sebab itu janganlah disekutukan Allah dengan yang lain: itulah Tauhid Uluhiyah.
Maka pelajaran Tauhid didapat langsung dari melihat alam. (HAMKA)
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika adalah kamu dalam keraguan dari hal apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami,…” (pangkal Ayat 23).
Hamba Kami yang Allah maksudkan ialah Nabi kita Muhammad SAW, satu ucapan kehormatan tertinggi dan pembelaan atas diri beliau. Dan yang Kami turunkan itu adalah AL QUR’AN. Di Ayat kedua permulaan sekali, Tuhan telah menyatakan bahwa al-Kitab itu tidak ada lagi keraguan padanya, petunjuk bagi orang yang bertakwa.
Tetapi sudah terbayang selanjutnya bahwa masih ada manusia yang ragu-ragu, yang menyebabkan mereka menjadi munafik, sehingga ada yang mulanya menyatakan percaya tetapi hatinya tetap ragu. Ditantanglah keraguan mereka itu dengan Ayat ini.
“…maka datangkanlah sebuah Surat yang sebanding dengan dia…” (tengah ayat 23).
Tuhan bersabda begini, karena masih ada di antara yang ragu itu menyatakan bahwa AL QUR’AN itu hanyalah karangan Muhammad SAW saja, sedang hamba Kami Muhammad SAW itu adalah manusia seperti kamu juga. Selama ini tidaklah dia terkenal seorang yang sanggup menyusun kata begitu tinggi mutunya atas kehendaknya sendiri, dan bukan pula terkenal dia sebagai seorang Kahin (tukang tenung) yang sanggup menyusun kata sastra.
Maka kalau kamu ragu bahwa sabda yang disampaikannya itu benar-banar dari Tuhan, kamu cobalah mengarang dan mengemukakan agak satu surat yang sebanding dengan yang dibawakan Muhammad itu! Cobalah. Apa salahnya! Dan kalau kamu tidak sanggup maka:
“…dan panggillah saksi-saksi kamu selain Allah, jika adalah kamu orang-orang yang benar.” (ujung ayat 23).
Panggillah ahli-ahli untuk membuktikan kebenaranmu. Kalau kamu tidak bisa, mungkin ahli-ahli itu bisa. Boleh kamu coba-coba.
Ayat yang begini dalam bahasa Arab namanya tahaddi yaitu Tantangan.
Di jaman Mekkah ataupun di jaman Madinah, bukan sedikit ahli-ahil syair dan ada pula Kahin atau tukang mantra yang dapat mengeluarkan kata tersusup. Namun tidak ada satupun yang dapat menandingi AL QUR’AN. Bahkan sampa kepada jaman kita inipun bangsa Arab tetap mempunyai pujangga-pujangga besar. Merekapun tidak sanggup membanding dan mengadakan tandingan dari AL QUR’AN. Sehingga dipindahkan ke dalam kata lain, meskipun dalam bahasa Arab sendiri untuk menyamai pengaruh ungkapan-ungkapan Wahyu tidaklah bisa, apatah lagi akan mengatasi.
Dr. Thaha Husain, pujangga Arab yang terkenal dan diakui kesarjanaannya dan diberi gelar Doctor Honori’s Causa oleh beberapa Universitas Eropa, sebagal Universitas di Spanyol, Italia, Yunani, yaitu sesudah dicapainya Ph.D. di Sarbonne, mengatakan bahwa bahasa Arab itu mempunyal dua macam sastra, yaitu prosa (manzhum) dan puisi (mantsur) yang ketiga ialah AL QUR’AN. Beliau tegaskan bahwa AL QUR’AN bukan prosa, bukan puisi, AL QUR’AN ialah AL QUR’AN.
Tahaddi atau tantangan itu akan berlaku terus sampai ke akhir jaman. Dan untuk merasai betapa hebatnya tantangan itu dan betapa pula bungkemnya jawaban atas tantangan, seyogianyalah kita mengerti bahasa Arab dan dapat membaca AL QUR’AN itu. Dengan demikianlah kita akan mencapai ainal yakin dan tantangan ini.
Bertambah kita mendalaminya, mempelajari sastra-sastranya dan tingkatan-tingkatan kemajuannya, bahkan bertambah kita dapat menguasai istimewa itu, bertambah yakinlah kita bahwa tidak dapat dikemukakan satu Suratpun untuk menandingi AL QUR’AN.
Surat AL BAQARAH mengandung 286 ayat: telalu panjang. Tetapi ada Surat yang pendek, sebagai Surat AL IKHLAASH (Qul Huallahu Ahad), atau Surat AL KAUTSAR (Inna Athaina):
Surat yang sependek-pendek itupun tidak ada manusia yang kuasa membuat surat tandingan untuk melawan dia. (HAMKA)
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا وَلَن تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Maka jika kamu tidak dapat membuat, dan sekali-kali kamu tidak akan dapat membuat, maka takutlah kamu kepada neraka yang menyalakannya ialah manusia dan batu, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Ayat 24).
Kalau kamu sudah nyata tidak sanggup menandingi AL QUR’AN, dan memang selamanya kamu tidak akan sanggup, baik susun kata atau makna yang terkandung di dalamnya, maka janganlah diteruskan juga lagi penantangan itu, lebih baik tunduk dan patuhlah, dan terimalah dengan tulus-ikhlas. Jangan dilanjutkan juga lagi sikap yang ragu-ragu itu. Karena meneruskan keraguan terhadap perkara yang sudah nyata, akibatnya hanyalah kecelakaan bagi diri sendiri.
Jika kebenaran yang telah diakui oleh hati masih juga ditolak, artinya ialah memilih jalan yang lain yang membawa kesesatan. Kalau dipilih jalan sesat, tentu nerakalah ujungnya yang terakhir. Neraka yang apinya dinyalakan dengan manusia dihukum dimasukkan ke dalamnya bercampur dengan batu-batu.
Perhatikan alun gelombang Wahyu itu baik-baik. Ancaman bukanlah datang dengan serta-merta begitu saja. Lebih dahulu manusia diajak berpikir dan merenung alam, supaya sadar akan hubungan di antara mereka sebagai makhluk dengan Tuhan Allah sebagai Khaliq. Kalau masih ragu dipersilahkan membuat tandingan AL QUR’AN. Dan inipun ternyata tidak sanggup. Kalau tidak sanggup bukanlah lebih baik tunduk dan menyatakan beriman? Tetapi kalau bujukan lunak tidak diterima, tantangan tidak sanggup menjawab, namun kekufuran diteruskan juga: apakah lagi yang pantas buat orang seperti ini, lain dari ancaman neraka?
Manusia yang diancam akan menjadi penyalakan api neraka itu ialah yang keras kepala, sebagal pepatah orang kita, “Kanji tak lalu, airpun tak lalu“. Yang ini tidak, yang itupun tidak. Tetapi menunjukkan yang mana ganti yang lebih baik, pun tidak sanggup.
Ke mana lagi kalau bukan ke neraka! Tetapi yang patuh dan sadar diberi kabar gembira….(HAMKA)