http://hardiwinoto.com/1436-2/
http://hardiwinoto.com/investasi-dalam-bingkai-teori-ekonomi/
http://hardiwinoto.com/kajian-peraturan-dan-perundangan-undangan-terkait-investasi-daerah
/http://hardiwinoto.com/investasi-sebagai-gaya-hidup-2/
5.1. Retribusi Daerah
Optimalisasi pemanfaatan aset milik daerah dapat meningkatkan pendapatan dan pelayanan masyarakat. Pemanfaatan aset dalam struktur pendapatan daerah termasuk dalam objek hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah. Pemanfaatan aset daerah dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa uang yang harus disetorkan langsung kepada Kas Daerah. PAD tersebut dapat digunakan untuk kegiatan belanja daerah secara berkelanjutan (sustainable) melalui APBD. Pemanfaatan barang milik daerah bisa dikategorikan sebagai bagian dari investasi. Investasi dari pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan.
Pertanyaan yang mendasar terkait pemanfaatan aset daerah adalah:
- Mengapa aset daerah harus dimanfaatkan?
- Aset apa yang bisa dimanfaatkan?
- Apa syaratnya?
- Siapa yang terkait dalam pemanfaatan?
- Bagaimana cara/pola pemanfaatan?
- Siapa yang menjadi mitra dalam pemanfaatan?
Barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan oleh pengguna kepada pengelola dapat digunakan secara optimal sehingga tidak membebani APBD, khususnya biaya pemeliharaan dan kemungkinan adanya penyerobotan dari pihak lain yang tidak bertanggung jawab.
Pemanfaatan barang milik daerah yang optimal dapat membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah.Barang Milik Daerah yang dapat dimanfaatakan yaitu berupa; tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan.Kepmendagri No. 152/2004, Pasal 1 angka 25 menyatakan bahwa pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik daerah oleh instansi dan atau Pihak Ketiga dalam bentuk pinjam pakai, penyewaan dan pengguna-usahaan tanpa merubah status kepemilikan. Definisi tersebut juga dapat di lihat pada Permendagri No. 17/2007 angka 11.
UU No. 1 Tahun 2004 tidak menyebutkan definisi pemanfaatan, tetapi menyebutkan nomenklatur pemanfaatan dalam pasal penjelasan. Pasal 49 Ayat (6) Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan barang milik negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah. Penjelasan pasal 49 Ayat (6) Peraturan Pemerintah (PP) yang dimaksud pada ayat ini meliputi perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian, penghapusan, dan pemindah tanganan.
Pasal 1 PP No. 27 Tahun 2014 mendifinisikan pemanfaatan sebagai pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan. Dalam PP tersebut, pemanfaatan yang dibahas terkait dengan kriteria pemanfaatan dan bentuk-bentuk pemanfaatan. Hal tersebut diperjelas dalam Permendagri No. 17 Tahun 2007.
Pasal 1 angka 18 Permendagri No. 17 Tahun 2007 mendifiniskan pemanfaatan sebagai pendayagunaan Barang Milik Daerah (BMD) yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam bentuk Sewa, Pinjam Pakai, Kerjasama Pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG) dengan tidak mengubah status kepemilikan. Definisi tersebut terdapat tiga point yang perlu diperhatikan:
- BMD yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi OPD.
- Pola pemanfaatan dalam bentuk sewa, pinjam pakai, KSP, BGS-BSG.
- Tidak mengubah status kepemilikan.
Pasal 31 menjelaskan kriteria pemanfaatan bahwa:
- Pemanfaatan BMD berupa tanah dan/atau bangunan,
selain tanah dan/atau bangunan yang dipergunakan untuk menunjang
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi OPD, dilaksanakan oleh pengguna setelah
mendapat persetujuan pengelola.
- Pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak dipergunakan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi OPD, dilaksanakan oleh pengelola setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah.
- Pemanfaatan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang tidak dipergunakan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi OPD, dilaksanakan oleh pengguna setelah mendapat persetujuan pengelola.
- Pemanfaatan barang milik daerah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan kepentingan umum.
Bentuk/pola pemanfaatan barang milik daerah berupa:
- Sewa.
- Pinjam Pakai.
- Kerjasama Pemanfaatan.
- Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna.
Sewa adalah pemanfaatan barang milik daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan menerima imbalan uang tunai. Penyewaan merupakan penyerahan hak penggunaan/pemanfaatan kepada Pihak Ketiga. Hubungan sewa menyewa tersebut pihak penyewa memberikan imbalan berupa uang sewa bulanan atau tahunan untuk jangka waktu tertentu, baik sekaligus maupun secara berkala.
Barang milik daerah baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang belum dimanfaatkan oleh pemerintah daerah, dapat disewakan kepada Pihak Ketiga sepanjang menguntungkan daerah. Barang milik daerah yang disewakan, tidak merubah status kepemilikan barang daerah.
Penyewaan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola setelah mendapat persetujuan dari Kepala Daerah. Penyewaan barang milik daerah atas sebagian tanah dan/atau bangunan, selain tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan oleh pengguna, dilaksanakan oleh pengguna setelah mendapat persetujuan dari pengelola. Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa, yang sekurang-kurangnya memuat:
- pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian.
- jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu.
- tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan.
- persyaratan lain yang dianggap perlu.
Penyewaan dapat dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
- penyewaan BMD hanya dapat dilakukan dengan
pertimbangan untuk mengoptimalkan dayaguna dan hasil
guna barang milik daerah.
- untuk sementara waktu barang milik daerah tersebut belum dimanfaatkan oleh OPD.
- barang milik daerah dapat disewakan kepada pihak lain/Pihak Ketiga.
- jenis-jenis barang milik daerah yang disewakan ditetapkan oleh Kepala Daerah.
- besaran sewa ditetapkan oleh Kepala Daerah berdasarkan hasil perhitungan Tim Penaksir.
Jenis barang milik daerah yang dapat disewakan, antara lain:
- Mess/Wisma/Bioskop dan sejenisnya.
- Gudang/Gedung.
- Toko/Kios,Tanah.
- Kendaraan dan Alat-alat besar.
Jangka waktu penyewaan barang milik daerah maksimal lima tahun dapat diperpanjang dan semua biaya-biaya yang diperlukan untuk persiapan penyewaan barang milik daerah ditanggung oleh Pihak Penyewa. Pemanfaatan barang milik daerah selain disewakan dapat dikenakan retribusi. Retribusi atas pemanfaatan/penggunaan barang milik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Isu terkait dengan sewa yaitu:
- Proses/prosedur sewa terhadap suatu
lokasi/barang, khususnya yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
- Penentuan formula besaran sewa, sehingga tidak menimbulkan adanya indikasi merugikan keuangan daerah, dan terpenuhi asas akuntabilitas.
- Penyewaan dilakukan antar pemerintah dengan pemerintah daerah.
- Pengaturan mengenai teknis pelaksanaan penyewaan BMD.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memberi kewenangan kepada Daerah sehingga dapat berkembang sesuai dengan kemampuan sendiri tanpa tergantung kepada pemerintah pusat. Daerah diharapkan mampu mengatur, mengurus dan memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang dimilikinya. Semua kekayaan yang dimiliki Daerah, dalam batas kewenangannya digunakan untuk membiayai semua kebutuhan dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga Daerah tersebut.
Harapan Pemerintah Daerah bahwa realisasi penerimaan PAD (Pendapatan Asi Daerah) harus selalu melebihi dari target, serta selalu meningkat setiap tahun. Namun, yang terjadi realisasi PAD cenderung fluktuatif sehingga diperlukan upaya oleh Pemerintah Daerah untuk mengelola dan mengembangkan potensi-potensi sumber PAD. Pembangunan Daerah dapat berjalan secara efektif jika didukung kemampuan PAD yang memadai.
Salah satu cara peningkatan pendapatan Pemerintah Daerah yaitu menyewakan aset yang dimiliki oleh pemerintah. Salah satu contoh di Kota Semarang diatur oleh Peraturan Daerah Kota semarang Nomor 3 Tahun 2012. Namun Perda tersebut perlu direvisi atau dilakukan review. Hal hal yang terkait dengan hal tersebut, yaitu struktur dan besarnya tarif sewa lahan.
Sebagai bahan pertimbangan kebijakan pada optimalisasi PAD Pemerintah Daerah Kota Semarang, penyewaan aset milik Pemerintah Daerah menjadi salah satu sumber PAD. Jika dikelola dan dikembangkan secara profesional oleh Pemerintah Kota Semarang, potensi pendapatan sewa aset milik Pemerintah Daerah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan Kota Semarang, antara lain untuk menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat (Public Service), fungsi pembangunan (Development) dan fungsi perlindungan kepada masayrakat (Society Protection) dapat berjalan dengan baik.
Penyewaan aset milik Pemerintah Daerah juga dapat sebagai alat pembangunan daerah yaitu untuk meningkatkan penggairahan investasi baik pemerintah maupun swasta. Dalam hal ini investasi dapat berkembang karena didukung dan dilakukan oleh pemerintah dan swasta. Akselerasi investasi semakin cepat jika terdapat kerjasama antara pemerintah dan swasta. Salah satu modal atau penyertaan pemerintah dalam investasi adalah penyewaan aset yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Beberapa cara yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pembangunan bersama swasta adalah penggunaan aset milik Pemerintah Daerah untuk peningkatan investasi dan atau peningkatan PAD adalah:
- Swasta melakukan pembelian aset yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
- Swasta melakukan penyewaan aset yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
- Swasta melakukan kerjasama penggunaan asetyang dimilikii oleh Pemerintah Daerah dengan cara bagi hasil.
Pemerintah Daerahselama ini telah melakukan kerjasama dengan swasta dalam pemanfaatan aset milik Pemerintah Daerah, yaitu dengan cara pemerintah menyewakan diantaranya lahan baik lahan kosong maupun lahan ada bangunannya kepada pihak swasta. Namun demikian nilai sewa yang ditetapkan melalui formula yang terdapat pada Peraturan daerah Nomor 3 tahun 2012 pasal 9 point o tentang sewa lahan sudah tidak relevan. Ketidakrelevanan tersebut ditunjukkan bahwa hasil hitung melalui formula yang terdapat pada Perda Nomor 3 tahun12 pada lahan tertentu dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai pasar. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang bertujuan untuk mereview struktur dan besarnya tarif sewa lahan pada perda nomor 3 tahun 2012 tentang retribusi jasa usaha di kota semarang (pasal 9 point o sewa lahan) sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan perubahan Perda no 3 tahun 2012.
Dalam hal ini perlu dilakukan penelitian yang bertujuan berikut.
- Penentuan besaran sewa aset milik Pemerintah Kota Semarang sebagai bahan pertimbangan kebijakan pada optimalisasi PAD Pemerintah Daerah Kota Semarang.
- Penentuan besaran sewa aset milik Pemerintah Kota Semarang untuk meningkatkan gairah investasi di Kota Semarang.
5.2. Pajak Daerah
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang ditindaklanjuti dengan UU No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004 mengisyaratkan adanya empat pilar yang mendukung otonomi daerah yaitu:
Empat pilar keuangan daerah tersebut merupakan hal yang sangat krusial bagi tiap daerah. Kedua undang-undang tersebut mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah dengan mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi kewenangan maupun keuangan. Penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan daerah Kabupaten/Kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah. Pemberian otonomi yang lebih luas kepada pemerintah daerah bertujuan untuk mempercepat pembangunan daerah, dan peningkatan peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan serta terpeliharanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, antara lain (Kaho, 1997):
Paparan di atas menunjukkan bahwa faktor kemampuan untuk mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu ciri daerah otonom terletak pada kemampuan self supporting dalam bidang keuangan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan daerah untuk menggali sumber-sumber keuangan dengan baik dan digunakan dengan benar. Kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan daerahnya ditentukan oleh kemampuan dalam mengatur berbagai program-program pembangunan, juga melaksanakan berbagai fungsinya secara benar, seperti fungsi pelayanan kepada masyarakat (public services), fungsi pembangunan (development), dan fungsi perlindungan kepada masyarakat (society protection). Sumber-sumber pembiayaan yang memadai, yaitu:
Pasal 79 Undang-Undang No 25 tahun 1999 telah menyatakan bahwa sumber pendapatan daerah dalam APBD terdiri atas beberapa pos yaitu:
Beberapa masalah yang seringkali dihadapi oleh pemerintah daerah dalam usaha meningkatkan kemampuan keuangan daerah antara lain:
- asih tingginya tingkat ketergantungan daerah pada bantuan/subsidi dari pusat baik dalam bentuk DAU maupun DAK. Padahal DAU lebih banyak terserap untuk membiayai pos belanja rutin antara lain membayar gaji pegawai.
- elum efisiennya pengelolaan BUMD; Ketiga, belum optimalnya penggalian sumber PAD yang selama ini sudah ada; Keempat, belum adanya sumber PAD baru yang dapat digali, dan semakin terbatasnya sumber pendapatan akibat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997.
Pajak adalah pungutan negara/pemda yang merupakan kewajiban bagi warga negara yang memiliki penghasilan sebagai sumber penerimaan negara/daerah dan memiliki sarana retribusi pendapatan; pajak bukan hanya sekedar pungutan wajib bagi warga negara tetapi juga sebagai sumber untuk pembiayaan kesejahteraan masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan pemerataan.Pajak Daerah menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dengan demikian pajak daerah merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah.
Menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 Pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan didalamnya sekurang-kurangnya mengatur tentang: Nama, objek dan subjek pajak; dasar pengenaan, tarif dan cara penghitungan pajak; wilayah pemungutan; masa pajak; penetapan; tata cara pembayaran dan penagihan; kadaluarsa; sanksi administratif; dan tanggal mulai berlakunya peraturan daerah tersebut.
Retribusi Daerah menurut Undang-Undang No 34 Tahun 2000 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Hal tersebut merupakan salah satu Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dipungut secara langsung, namun demikian tidak semua terkena pungutan retribusi; kecuali mereka yang menikmati barang dan jasa secara langsung yang terkena kewajiban membayar retribusi daerah.
Seperti halnya pajak daerah, pemungutan retribusi daerah juga ditetapkan dengan peraturan daerah menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 dan tidak dapat berlaku surut. Yang termasuk dalam obyek retribusi daerah adalah:
- adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang
menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati
oleh orang pribadi atau badan;
- adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan; diantaranya pelayanan kesehatan (PUSKESMAS, RSUD) dan pelayanan persampahan.
Pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-undang, penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jenis dan besarnya tarif pemungutan Pajak daerah (pajak yang dipungut untuk pendapatan daerah/APBD) dan retribusi daerah, ditetapkan melalui Peraturan Daerah (PERDA); DPRD bersama Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk peraturan daerah serta menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Devas (1989) mengemukakanbahwa dasar untuk menilai pajak daerah, yaitu yield, equity, economic efficiency, ability to implement, dan suitability as a local source. Kelima tolok ukur tersebut adalah suatu hal yang diperlukan untuk menilai suatu pajak daerah. Sebab yang dimaksud dengan pajak daerah adalah pungutan yang dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah regional sendiri (Davey, 1980 dan Kaho (1997).
Arti penting kelima dasar tersebut terdapat pada penilaian apakah suatu jenis pajak akan bertahan lama dan berkelanjutan (sustainable) atau tidak. Otonomi daerah saat ini diwujudkan oleh daerah dalam bentuk berbagai pungutan guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Ada kekhawatiran, pungutan baru tersebut tidak bisa bertahan lama, sebab belum dilandaskan pada kajian ekonomi dan keuangan yang mendalam. Pungutan baru yang diberlakukan daerah sekadar ekspresi sebagai respons terhadap otonomi daerah, sehingga dalam perspektif kelima tolok ukur tersebut diperlukan. Artinya suatu jenis pungutan yang tidak memenuhi tolok ukur tersebut berlaku dalam jangka pendek dan sebaliknya suatu pungutan yang memenuhi kelima tolok ukur tersebut akan bertahan dalam jangka panjang.
Sitglitz (1986) mengemukakan tentang five desirable characteristics of any tax system, bahwa suatu pajak dapat dipungut/dikenakan pada masyarakatharus memenuhi beberapa kriteria berikut:
- .
- .
- .
- .
- .
Hal demikian sejalan dengan Musgrave and Musgrave (1989) yang mengemukakan tujuh persyaratan struktur pajak yang baik yaitu:
Dalam perspektif tujuan perpajakan daerah, baik yang dikemukakan oleh Devas, Stiglitz dan Musgrave & Musgrave tidak jauh berbeda. Tiebouts (1956) mengemukakan kaidah love it or leave it. Artinya, jika suatu daerah menerapkan perpajakan daerah dengan baik maka akan menyebabkan perilaku masyarakat suka bertempat tinggal di tempat tersebut. Sebaliknya, jika perpajakan yang diterapkan tidak benar, maka masyarakat tidak suka bertempat tinggal di tempat tersebut, sehingga mereka berpindah ke daerah lain.
5.3. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan investasi dapat dilihat dari bentuk investasinya. Investasi sektor publik dibiayai oleh pemerintah. Sedangkan investasi sektor privat pembiayaannya oleh swasta. Namun demikian ada investasi yang pembiayaannya oleh pemerintah dan swasta.
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah menjadi sumber pendapatan daerah, untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Hasil studi LPEM-UI bekerjasama dengan Clean Urban Project, menjelaskan bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, yaitu disebabkan oleh:
- .
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah kabupaten/kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan pajak pusat dan pajak propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
- , sebagian besar penerimaan daerah masih berasal
dari bantuan pusat. Dari segi upaya pemungutan pajak,
banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan
PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat
untuk memperoleh tambahan bantuan.
- . Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem target dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.
- perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah Provinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%
Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil), sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu. Demikian pula, distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD) tertinggi dengan terendah mencapai 600 %. Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
5.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Bryson (1995) dan Blakely (1989) berpendapat bahwa kebijakan perpajakan selalu menjadi komponen utama dalam pembangunan ekonomi, namun demikian perlu dikembangkan PAD selain pajak. Berdasar pendapat di atas, DPKAD (Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) sebagai pengelolaan keuangan daerah dapat melakukan langkah strategi meningkatkan PAD Kota Semarang. Strategi tersebut dapat diidentifikasi sebagai faktor-faktor internal maupun eksternal yang dimiliki oleh institusi DPKAD digunakan untuk meningkatkan pendapatan daerah khususnya dari sewa asetmilik Pemerintah Kota Semarang.
Isu-isu strategis yang dihadapi oleh dinas pengelola keakayaan dan aset daerah, terutama sewa lahan di Kota Semarang, diharapkan mampu memformulasikan strategi sesuai dengan situasi dan kondisi yang dimiliki oleh pemerintah dalam hal ini adalah DPKAD, sehingga peningkatan pendapatan daerah dapat terwujud.
Mamesah (1995) menjelaskan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dimulai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain snesuai ketentuan/peraturan. Sedangkan Davey (1988) menambahkan bahwa masalah keuangan daerah menyangkut upaya mendapatkan uang maupun membelanjakannya. Uraian di atas menyiratkan kata kunci bahwa keuangan daerah adalah hak dan kewajiban. Hak mengarah kepada hak daerah untuk mencari sumber pendapatan daerah, seperti pungutan pajak daerah, retribusi daerah, atau sumber-sumber penerimaan lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kewajiban mengarah kepada kewajiban daerah dalam mengeluarkan/ memanfaatkan uang dalam rangka melaksanakan semua urusan pemerintahan di daerah. Terlebih lagi di era otonomi daerah sebagaimana sekarang ini beban pembelanjaan bagi pelayanan publik menjadi titik sentral atau tolok ukur keberhasilan pembangunan daerah, sehingga memacu daerah untuk memperkuat pemusatan perhatiannya terhadap perbaikan sistem perpajakan dan retribusi sebagai masalah pokoknya.
Reformasi keuangan daerah dapat dapat disebut sebagai peluang sekaligus sebagai ancaman/tantangan yang harus dibenahi oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. Hal tersebut untuk menunjukkan bahwa kemampuan menggali dan mengelola anggaran daerah tanpa terlalu banyak campur tangan dari Pemerintah Pusat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan keuangan daerah adalah kemampuan daerah dalam membiayai urusan-urusan rumah tangganya, khususnya yang berasal dari pendapatan asli daerah. Pendapatan asli daerah yang sebagian besar menggantungkan pada pajak dan retribusi daerah sampai saat ini merupakan sektor yang sangat diharapkan dan masih diandalkan oleh Pemerintah Daerah.
Ruang lingkup keuangan daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 meliputi:
- Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan
pinjaman.
- Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga.
- Penerimaan daerah.
- Pengeluaran daerah.
- Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah.
- Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
Pengelolaan keuangan daerah meliputi kewenangan pengelolaan keuangan daerah, struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD, penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntasi keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan keuangan BLUD. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
- Pendapatan daerah.
- Belanja daerah.
- Pembiayaan daerah.
Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud di atas dikelompokkan menjadi:
- Pendapatan asli daerah.
- Dana perimbangan.
- Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Kaho (1997) menjelaskan bahwa sumber pendapatan asli daerah sampai saat ini memegang peranan yang dominan yaitu sektor pajak dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah diatur dalam Pasal 157 Bab VIII Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas:
- Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
- Hasil pajak daerah.
- Hasil retribusi daerah.
- Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
- Lain-lain PAD yang sah.
- Dana perimbangan.
- Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan dana perimbangan terdiri atas:
- Dana bagi hasil.
- Dana alokasi umum.
- Dana alokasi khusus.
Untuk jenis dana bagi hasil mencakup:
- Bagi hasi pajak.
- Bagi hasil bukan pajak.
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup:
- Hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/ lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/ perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat.
- Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam.
- Dana bagi hasi pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota.
- Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.
- Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.
Belanja daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung.
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung meliputi: belanja pegawai (gaji dan tunjangan serta penghasilan lainnya), bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan bantuan tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung meliputi belanja pegawai (honorarium/upah dalam melaksanakan program/kegiatan), belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Pembiayaan Daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup:
- Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA).
- Pencairan dana cadangan.
- Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
- Penerimaan pinjaman daerah.
- Penerimaan kembali pemberian pinjaman.
- Penerimaan piutang daerah.
Pengeluaran pembiayaan mencakup:
- Pembentukan dana cadangan.
- Penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah.
- Pembayaran pokok utang.
- Pemberian pinjaman daerah.
si dan
Pendapatan Asli Daerah
5.1. Retribusi Daerah
Optimalisasi pemanfaatan aset milik daerah dapat meningkatkan pendapatan dan pelayanan masyarakat. Pemanfaatan aset dalam struktur pendapatan daerah termasuk dalam objek hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah. Pemanfaatan aset daerah dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa uang yang harus disetorkan langsung kepada Kas Daerah. PAD tersebut dapat digunakan untuk kegiatan belanja daerah secara berkelanjutan (sustainable) melalui APBD. Pemanfaatan barang milik daerah bisa dikategorikan sebagai bagian dari investasi. Investasi dari pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan.
Pertanyaan yang mendasar terkait pemanfaatan aset daerah adalah:
- Mengapa aset daerah harus dimanfaatkan?
- Aset apa yang bisa dimanfaatkan?
- Apa syaratnya?
- Siapa yang terkait dalam pemanfaatan?
- Bagaimana cara/pola pemanfaatan?
- Siapa yang menjadi mitra dalam pemanfaatan?
Barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan oleh pengguna kepada pengelola dapat digunakan secara optimal sehingga tidak membebani APBD, khususnya biaya pemeliharaan dan kemungkinan adanya penyerobotan dari pihak lain yang tidak bertanggung jawab.
Pemanfaatan barang milik daerah yang optimal dapat membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah.Barang Milik Daerah yang dapat dimanfaatakan yaitu berupa; tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan.Kepmendagri No. 152/2004, Pasal 1 angka 25 menyatakan bahwa pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik daerah oleh instansi dan atau Pihak Ketiga dalam bentuk pinjam pakai, penyewaan dan pengguna-usahaan tanpa merubah status kepemilikan. Definisi tersebut juga dapat di lihat pada Permendagri No. 17/2007 angka 11.
UU No. 1 Tahun 2004 tidak menyebutkan definisi pemanfaatan, tetapi menyebutkan nomenklatur pemanfaatan dalam pasal penjelasan. Pasal 49 Ayat (6) Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan barang milik negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah. Penjelasan pasal 49 Ayat (6) Peraturan Pemerintah (PP) yang dimaksud pada ayat ini meliputi perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian, penghapusan, dan pemindah tanganan.
Pasal 1 PP No. 27 Tahun 2014 mendifinisikan pemanfaatan sebagai pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan. Dalam PP tersebut, pemanfaatan yang dibahas terkait dengan kriteria pemanfaatan dan bentuk-bentuk pemanfaatan. Hal tersebut diperjelas dalam Permendagri No. 17 Tahun 2007.
Pasal 1 angka 18 Permendagri No. 17 Tahun 2007 mendifiniskan pemanfaatan sebagai pendayagunaan Barang Milik Daerah (BMD) yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam bentuk Sewa, Pinjam Pakai, Kerjasama Pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG) dengan tidak mengubah status kepemilikan. Definisi tersebut terdapat tiga point yang perlu diperhatikan:
- BMD yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi OPD.
- Pola pemanfaatan dalam bentuk sewa, pinjam pakai, KSP, BGS-BSG.
- Tidak mengubah status kepemilikan.
Pasal 31 menjelaskan kriteria pemanfaatan bahwa:
- Pemanfaatan BMD berupa tanah dan/atau bangunan,
selain tanah dan/atau bangunan yang dipergunakan untuk menunjang
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi OPD, dilaksanakan oleh pengguna setelah
mendapat persetujuan pengelola.
- Pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak dipergunakan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi OPD, dilaksanakan oleh pengelola setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah.
- Pemanfaatan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang tidak dipergunakan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi OPD, dilaksanakan oleh pengguna setelah mendapat persetujuan pengelola.
- Pemanfaatan barang milik daerah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan kepentingan umum.
Bentuk/pola pemanfaatan barang milik daerah berupa:
- Sewa.
- Pinjam Pakai.
- Kerjasama Pemanfaatan.
- Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna.
Sewa adalah pemanfaatan barang milik daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan menerima imbalan uang tunai. Penyewaan merupakan penyerahan hak penggunaan/pemanfaatan kepada Pihak Ketiga. Hubungan sewa menyewa tersebut pihak penyewa memberikan imbalan berupa uang sewa bulanan atau tahunan untuk jangka waktu tertentu, baik sekaligus maupun secara berkala.
Barang milik daerah baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang belum dimanfaatkan oleh pemerintah daerah, dapat disewakan kepada Pihak Ketiga sepanjang menguntungkan daerah. Barang milik daerah yang disewakan, tidak merubah status kepemilikan barang daerah.
Penyewaan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola setelah mendapat persetujuan dari Kepala Daerah. Penyewaan barang milik daerah atas sebagian tanah dan/atau bangunan, selain tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan oleh pengguna, dilaksanakan oleh pengguna setelah mendapat persetujuan dari pengelola. Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa, yang sekurang-kurangnya memuat:
- pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian.
- jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu.
- tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan.
- persyaratan lain yang dianggap perlu.
Penyewaan dapat dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
- penyewaan BMD hanya dapat dilakukan dengan
pertimbangan untuk mengoptimalkan dayaguna dan hasil
guna barang milik daerah.
- untuk sementara waktu barang milik daerah tersebut belum dimanfaatkan oleh OPD.
- barang milik daerah dapat disewakan kepada pihak lain/Pihak Ketiga.
- jenis-jenis barang milik daerah yang disewakan ditetapkan oleh Kepala Daerah.
- besaran sewa ditetapkan oleh Kepala Daerah berdasarkan hasil perhitungan Tim Penaksir.
Jenis barang milik daerah yang dapat disewakan, antara lain:
- Mess/Wisma/Bioskop dan sejenisnya.
- Gudang/Gedung.
- Toko/Kios,Tanah.
- Kendaraan dan Alat-alat besar.
Jangka waktu penyewaan barang milik daerah maksimal lima tahun dapat diperpanjang dan semua biaya-biaya yang diperlukan untuk persiapan penyewaan barang milik daerah ditanggung oleh Pihak Penyewa. Pemanfaatan barang milik daerah selain disewakan dapat dikenakan retribusi. Retribusi atas pemanfaatan/penggunaan barang milik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Isu terkait dengan sewa yaitu:
- Proses/prosedur sewa terhadap suatu
lokasi/barang, khususnya yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
- Penentuan formula besaran sewa, sehingga tidak menimbulkan adanya indikasi merugikan keuangan daerah, dan terpenuhi asas akuntabilitas.
- Penyewaan dilakukan antar pemerintah dengan pemerintah daerah.
- Pengaturan mengenai teknis pelaksanaan penyewaan BMD.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memberi kewenangan kepada Daerah sehingga dapat berkembang sesuai dengan kemampuan sendiri tanpa tergantung kepada pemerintah pusat. Daerah diharapkan mampu mengatur, mengurus dan memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang dimilikinya. Semua kekayaan yang dimiliki Daerah, dalam batas kewenangannya digunakan untuk membiayai semua kebutuhan dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga Daerah tersebut.
Harapan Pemerintah Daerah bahwa realisasi penerimaan PAD (Pendapatan Asi Daerah) harus selalu melebihi dari target, serta selalu meningkat setiap tahun. Namun, yang terjadi realisasi PAD cenderung fluktuatif sehingga diperlukan upaya oleh Pemerintah Daerah untuk mengelola dan mengembangkan potensi-potensi sumber PAD. Pembangunan Daerah dapat berjalan secara efektif jika didukung kemampuan PAD yang memadai.
Salah satu cara peningkatan pendapatan Pemerintah Daerah yaitu menyewakan aset yang dimiliki oleh pemerintah. Salah satu contoh di Kota Semarang diatur oleh Peraturan Daerah Kota semarang Nomor 3 Tahun 2012. Namun Perda tersebut perlu direvisi atau dilakukan review. Hal hal yang terkait dengan hal tersebut, yaitu struktur dan besarnya tarif sewa lahan.
Sebagai bahan pertimbangan kebijakan pada optimalisasi PAD Pemerintah Daerah Kota Semarang, penyewaan aset milik Pemerintah Daerah menjadi salah satu sumber PAD. Jika dikelola dan dikembangkan secara profesional oleh Pemerintah Kota Semarang, potensi pendapatan sewa aset milik Pemerintah Daerah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan Kota Semarang, antara lain untuk menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat (Public Service), fungsi pembangunan (Development) dan fungsi perlindungan kepada masayrakat (Society Protection) dapat berjalan dengan baik.
Penyewaan aset milik Pemerintah Daerah juga dapat sebagai alat pembangunan daerah yaitu untuk meningkatkan penggairahan investasi baik pemerintah maupun swasta. Dalam hal ini investasi dapat berkembang karena didukung dan dilakukan oleh pemerintah dan swasta. Akselerasi investasi semakin cepat jika terdapat kerjasama antara pemerintah dan swasta. Salah satu modal atau penyertaan pemerintah dalam investasi adalah penyewaan aset yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Beberapa cara yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pembangunan bersama swasta adalah penggunaan aset milik Pemerintah Daerah untuk peningkatan investasi dan atau peningkatan PAD adalah:
- Swasta melakukan pembelian aset yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
- Swasta melakukan penyewaan aset yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
- Swasta melakukan kerjasama penggunaan asetyang dimilikii oleh Pemerintah Daerah dengan cara bagi hasil.
Pemerintah Daerahselama ini telah melakukan kerjasama dengan swasta dalam pemanfaatan aset milik Pemerintah Daerah, yaitu dengan cara pemerintah menyewakan diantaranya lahan baik lahan kosong maupun lahan ada bangunannya kepada pihak swasta. Namun demikian nilai sewa yang ditetapkan melalui formula yang terdapat pada Peraturan daerah Nomor 3 tahun 2012 pasal 9 point o tentang sewa lahan sudah tidak relevan. Ketidakrelevanan tersebut ditunjukkan bahwa hasil hitung melalui formula yang terdapat pada Perda Nomor 3 tahun12 pada lahan tertentu dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai pasar. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang bertujuan untuk mereview struktur dan besarnya tarif sewa lahan pada perda nomor 3 tahun 2012 tentang retribusi jasa usaha di kota semarang (pasal 9 point o sewa lahan) sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan perubahan Perda no 3 tahun 2012.
Dalam hal ini perlu dilakukan penelitian yang bertujuan berikut.
- Penentuan besaran sewa aset milik Pemerintah Kota Semarang sebagai bahan pertimbangan kebijakan pada optimalisasi PAD Pemerintah Daerah Kota Semarang.
- Penentuan besaran sewa aset milik Pemerintah Kota Semarang untuk meningkatkan gairah investasi di Kota Semarang.
5.2. Pajak Daerah
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang ditindaklanjuti dengan UU No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004 mengisyaratkan adanya empat pilar yang mendukung otonomi daerah yaitu:
Empat pilar keuangan daerah tersebut merupakan hal yang sangat krusial bagi tiap daerah. Kedua undang-undang tersebut mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah dengan mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi kewenangan maupun keuangan. Penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan daerah Kabupaten/Kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah. Pemberian otonomi yang lebih luas kepada pemerintah daerah bertujuan untuk mempercepat pembangunan daerah, dan peningkatan peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan serta terpeliharanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, antara lain (Kaho, 1997):
Paparan di atas menunjukkan bahwa faktor kemampuan untuk mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu ciri daerah otonom terletak pada kemampuan self supporting dalam bidang keuangan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan daerah untuk menggali sumber-sumber keuangan dengan baik dan digunakan dengan benar. Kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan daerahnya ditentukan oleh kemampuan dalam mengatur berbagai program-program pembangunan, juga melaksanakan berbagai fungsinya secara benar, seperti fungsi pelayanan kepada masyarakat (public services), fungsi pembangunan (development), dan fungsi perlindungan kepada masyarakat (society protection). Sumber-sumber pembiayaan yang memadai, yaitu:
Pasal 79 Undang-Undang No 25 tahun 1999 telah menyatakan bahwa sumber pendapatan daerah dalam APBD terdiri atas beberapa pos yaitu:
Beberapa masalah yang seringkali dihadapi oleh pemerintah daerah dalam usaha meningkatkan kemampuan keuangan daerah antara lain:
- asih tingginya tingkat ketergantungan daerah pada bantuan/subsidi dari pusat baik dalam bentuk DAU maupun DAK. Padahal DAU lebih banyak terserap untuk membiayai pos belanja rutin antara lain membayar gaji pegawai.
- elum efisiennya pengelolaan BUMD; Ketiga, belum optimalnya penggalian sumber PAD yang selama ini sudah ada; Keempat, belum adanya sumber PAD baru yang dapat digali, dan semakin terbatasnya sumber pendapatan akibat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997.
Pajak adalah pungutan negara/pemda yang merupakan kewajiban bagi warga negara yang memiliki penghasilan sebagai sumber penerimaan negara/daerah dan memiliki sarana retribusi pendapatan; pajak bukan hanya sekedar pungutan wajib bagi warga negara tetapi juga sebagai sumber untuk pembiayaan kesejahteraan masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan pemerataan.Pajak Daerah menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dengan demikian pajak daerah merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah.
Menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 Pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan didalamnya sekurang-kurangnya mengatur tentang: Nama, objek dan subjek pajak; dasar pengenaan, tarif dan cara penghitungan pajak; wilayah pemungutan; masa pajak; penetapan; tata cara pembayaran dan penagihan; kadaluarsa; sanksi administratif; dan tanggal mulai berlakunya peraturan daerah tersebut.
Retribusi Daerah menurut Undang-Undang No 34 Tahun 2000 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Hal tersebut merupakan salah satu Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dipungut secara langsung, namun demikian tidak semua terkena pungutan retribusi; kecuali mereka yang menikmati barang dan jasa secara langsung yang terkena kewajiban membayar retribusi daerah.
Seperti halnya pajak daerah, pemungutan retribusi daerah juga ditetapkan dengan peraturan daerah menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 dan tidak dapat berlaku surut. Yang termasuk dalam obyek retribusi daerah adalah:
- adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang
menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati
oleh orang pribadi atau badan;
- adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan; diantaranya pelayanan kesehatan (PUSKESMAS, RSUD) dan pelayanan persampahan.
Pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-undang, penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jenis dan besarnya tarif pemungutan Pajak daerah (pajak yang dipungut untuk pendapatan daerah/APBD) dan retribusi daerah, ditetapkan melalui Peraturan Daerah (PERDA); DPRD bersama Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk peraturan daerah serta menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Devas (1989) mengemukakanbahwa dasar untuk menilai pajak daerah, yaitu yield, equity, economic efficiency, ability to implement, dan suitability as a local source. Kelima tolok ukur tersebut adalah suatu hal yang diperlukan untuk menilai suatu pajak daerah. Sebab yang dimaksud dengan pajak daerah adalah pungutan yang dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah regional sendiri (Davey, 1980 dan Kaho (1997).
Arti penting kelima dasar tersebut terdapat pada penilaian apakah suatu jenis pajak akan bertahan lama dan berkelanjutan (sustainable) atau tidak. Otonomi daerah saat ini diwujudkan oleh daerah dalam bentuk berbagai pungutan guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Ada kekhawatiran, pungutan baru tersebut tidak bisa bertahan lama, sebab belum dilandaskan pada kajian ekonomi dan keuangan yang mendalam. Pungutan baru yang diberlakukan daerah sekadar ekspresi sebagai respons terhadap otonomi daerah, sehingga dalam perspektif kelima tolok ukur tersebut diperlukan. Artinya suatu jenis pungutan yang tidak memenuhi tolok ukur tersebut berlaku dalam jangka pendek dan sebaliknya suatu pungutan yang memenuhi kelima tolok ukur tersebut akan bertahan dalam jangka panjang.
Sitglitz (1986) mengemukakan tentang five desirable characteristics of any tax system, bahwa suatu pajak dapat dipungut/dikenakan pada masyarakatharus memenuhi beberapa kriteria berikut:
- .
- .
- .
- .
- .
Hal demikian sejalan dengan Musgrave and Musgrave (1989) yang mengemukakan tujuh persyaratan struktur pajak yang baik yaitu:
Dalam perspektif tujuan perpajakan daerah, baik yang dikemukakan oleh Devas, Stiglitz dan Musgrave & Musgrave tidak jauh berbeda. Tiebouts (1956) mengemukakan kaidah love it or leave it. Artinya, jika suatu daerah menerapkan perpajakan daerah dengan baik maka akan menyebabkan perilaku masyarakat suka bertempat tinggal di tempat tersebut. Sebaliknya, jika perpajakan yang diterapkan tidak benar, maka masyarakat tidak suka bertempat tinggal di tempat tersebut, sehingga mereka berpindah ke daerah lain.
5.3. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan investasi dapat dilihat dari bentuk investasinya. Investasi sektor publik dibiayai oleh pemerintah. Sedangkan investasi sektor privat pembiayaannya oleh swasta. Namun demikian ada investasi yang pembiayaannya oleh pemerintah dan swasta.
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah menjadi sumber pendapatan daerah, untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Hasil studi LPEM-UI bekerjasama dengan Clean Urban Project, menjelaskan bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, yaitu disebabkan oleh:
- .
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah kabupaten/kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan pajak pusat dan pajak propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
- , sebagian besar penerimaan daerah masih berasal
dari bantuan pusat. Dari segi upaya pemungutan pajak,
banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan
PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat
untuk memperoleh tambahan bantuan.
- . Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem target dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.
- perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah Provinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%
Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil), sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu. Demikian pula, distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD) tertinggi dengan terendah mencapai 600 %. Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
5.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Bryson (1995) dan Blakely (1989) berpendapat bahwa kebijakan perpajakan selalu menjadi komponen utama dalam pembangunan ekonomi, namun demikian perlu dikembangkan PAD selain pajak. Berdasar pendapat di atas, DPKAD (Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) sebagai pengelolaan keuangan daerah dapat melakukan langkah strategi meningkatkan PAD Kota Semarang. Strategi tersebut dapat diidentifikasi sebagai faktor-faktor internal maupun eksternal yang dimiliki oleh institusi DPKAD digunakan untuk meningkatkan pendapatan daerah khususnya dari sewa asetmilik Pemerintah Kota Semarang.
Isu-isu strategis yang dihadapi oleh dinas pengelola keakayaan dan aset daerah, terutama sewa lahan di Kota Semarang, diharapkan mampu memformulasikan strategi sesuai dengan situasi dan kondisi yang dimiliki oleh pemerintah dalam hal ini adalah DPKAD, sehingga peningkatan pendapatan daerah dapat terwujud.
Mamesah (1995) menjelaskan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dimulai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain snesuai ketentuan/peraturan. Sedangkan Davey (1988) menambahkan bahwa masalah keuangan daerah menyangkut upaya mendapatkan uang maupun membelanjakannya. Uraian di atas menyiratkan kata kunci bahwa keuangan daerah adalah hak dan kewajiban. Hak mengarah kepada hak daerah untuk mencari sumber pendapatan daerah, seperti pungutan pajak daerah, retribusi daerah, atau sumber-sumber penerimaan lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kewajiban mengarah kepada kewajiban daerah dalam mengeluarkan/ memanfaatkan uang dalam rangka melaksanakan semua urusan pemerintahan di daerah. Terlebih lagi di era otonomi daerah sebagaimana sekarang ini beban pembelanjaan bagi pelayanan publik menjadi titik sentral atau tolok ukur keberhasilan pembangunan daerah, sehingga memacu daerah untuk memperkuat pemusatan perhatiannya terhadap perbaikan sistem perpajakan dan retribusi sebagai masalah pokoknya.
Reformasi keuangan daerah dapat dapat disebut sebagai peluang sekaligus sebagai ancaman/tantangan yang harus dibenahi oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. Hal tersebut untuk menunjukkan bahwa kemampuan menggali dan mengelola anggaran daerah tanpa terlalu banyak campur tangan dari Pemerintah Pusat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan keuangan daerah adalah kemampuan daerah dalam membiayai urusan-urusan rumah tangganya, khususnya yang berasal dari pendapatan asli daerah. Pendapatan asli daerah yang sebagian besar menggantungkan pada pajak dan retribusi daerah sampai saat ini merupakan sektor yang sangat diharapkan dan masih diandalkan oleh Pemerintah Daerah.
Ruang lingkup keuangan daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 meliputi:
- Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan
pinjaman.
- Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga.
- Penerimaan daerah.
- Pengeluaran daerah.
- Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah.
- Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
Pengelolaan keuangan daerah meliputi kewenangan pengelolaan keuangan daerah, struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD, penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntasi keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan keuangan BLUD. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
- Pendapatan daerah.
- Belanja daerah.
- Pembiayaan daerah.
Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud di atas dikelompokkan menjadi:
- Pendapatan asli daerah.
- Dana perimbangan.
- Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Kaho (1997) menjelaskan bahwa sumber pendapatan asli daerah sampai saat ini memegang peranan yang dominan yaitu sektor pajak dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah diatur dalam Pasal 157 Bab VIII Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas:
- Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
- Hasil pajak daerah.
- Hasil retribusi daerah.
- Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
- Lain-lain PAD yang sah.
- Dana perimbangan.
- Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan dana perimbangan terdiri atas:
- Dana bagi hasil.
- Dana alokasi umum.
- Dana alokasi khusus.
Untuk jenis dana bagi hasil mencakup:
- Bagi hasi pajak.
- Bagi hasil bukan pajak.
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup:
- Hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/ lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/ perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat.
- Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam.
- Dana bagi hasi pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota.
- Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.
- Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.
Belanja daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung.
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung meliputi: belanja pegawai (gaji dan tunjangan serta penghasilan lainnya), bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan bantuan tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung meliputi belanja pegawai (honorarium/upah dalam melaksanakan program/kegiatan), belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Pembiayaan Daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup:
- Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA).
- Pencairan dana cadangan.
- Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
- Penerimaan pinjaman daerah.
- Penerimaan kembali pemberian pinjaman.
- Penerimaan piutang daerah.
Pengeluaran pembiayaan mencakup:
- Pembentukan dana cadangan.
- Penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah.
- Pembayaran pokok utang.
- Pemberian pinjaman daerah.