Perdebatan Tentang Ke-Riba-an Bunga Bank

mendeteksi riba

Hardiwinoto.com-Bagi bank konvensional, bunga menjadi instrumen untuk mengoperasionalkan produk dan jasa bank, baik simpanan maupun kredit. diantaranya; giro, deposito berjangka, tabungan, obligasi, dan lain-lain. Produk-produk perbankan tersebut semua menggunakan instrumen bunga. Mencermati hal di atas, bunga dipandang sebagai sewa atau harga dari uang. Bunga diasumsikan sebagai imbalan atas pemakaian uang.
Jika meminjam uang sebesar Rp. 10.000.000,- dari Bank Arta, di akhir tahun, uang tersebut dikembalikan sebesar Rp. 10.100.000,-. Kelebihan Rp. 100.000,- disebut bunga, apakah riba? Sebagian masyarakat menyebutnya sebagai riba nasi’ah, yaitu tambahan yang dipersyaratkan yang diambil oleh pemberi piutang dari orang yang berutang sebagai ganti penundaan (pembayaran).
Adapun riba jahiliyyah, dijelaskan bahwa ketika seseorang berutang pada orang lain dan waktu pelunasan telah jatuh tempo, pemberi piutang berkata: engkau lunasi sekarang atau engkau menambah (waktu pelunasan)? Jika ia memberi tambahan waktu, mewajibkan tambahan atas uang pokok. Dengan kata lain, riba jahiliyyah adalah kredit yang dibayar melebihi dari pokoknya karena kreditur tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Dua rumusan riba di atas nampak bahwa inti dari riba dalam transaksi keuangan adalah berasal dari transaksi utang-piutang. Artinya bahwa penambahan atas utang disebut riba. Masyarakat menyebutnya sama dengan pengertian bunga, sehingga dikatakan bahwa bunga dianggap terjemahan dari kata riba.
Namun demikian, riba tidak bisa didefinisikan seccara sempit tanpa melibatkan analisis tentang jenis uang, alat tukar, dan alat bayar. Jika berpatokan dengan menggunkan fiat money (uang kertas), nilai mata uang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dengan bertambahnya waktu, nilai uang mengalami penurunan nilai, maka bunga bank yang dianggap sebagai tambahan atas pokok atau menambah nilai nominal belum tentu menambah nilai riil uang tersebut. Wajar jika riba diyakini haram tetapi bunga bunga bank belum tentu, karena tergantung oleh alat tukar, alat bayar dan alat hitung yang digunakan. Hal ini dapat diperhatikan kasus berikut.
Si A meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000,- setara dengan beras 1 kwintal beras. Dalam jangka waktu satu tahun Si A mengembalikan hutangnya sebesar Rp. 1.300.000,-. Di pasaran beras dengan tipe yang sama seharga Rp. 13.000 per kilogram. Oleh karena itu Si A sebenarnya tidak memberi tambahan atas pinjamannya. Karena uang Rp. 1.300.000,- sama dengan 1 kwintal beras. Artinya masih memeiliki nilai riil yang sama.

Ada tiga kelompok masyarakat dalam merespon bunga bank dengan berbagai argumentasinya, yaitu:
1. Bunga bank adalah riba sehingga hukumnya haram.
2. Bunga bank tidak sama dengan riba sehingga hukumnya halal.
3. Bunga bank bisa halal bisa haram. Selama bunga bank tidak memberatkan salah satu pihak dalam transaksi hukumnya halal.
Sambutan sebagian masyarakat terhadap kehadiran bank syari’ah, dimana pada bank tersebut tidak menggunakan instrumen bunga juga berbeda-beda, yaitu:
1. Menyambut dengan sangat senang bergabung dengan bank syarai’ah, karena dianggap yang mendekati halal, yaitu ditunjukkan bahwa bank syari’ah tidak menggunakan instrumen bunga. Kelompok ini termasuk kelompok fanatik terhadap bank syari’ah.
2. Menyambut biasa biasa saja, sambil menunggu dan melihat bagaimana operasionalnya lebih menguntungkan atau tidak. Kelompok ini termasuk kelompok rasional. Bank syari’ah hanya dianggap sebagai alternatif terhadap bank konvensional.
3. Menyambut dengan skeptis, sebagian justru menganggap bank kurang syari’ah. Karena beberapa produknya dianggap hanya sekedar mengubah nama. Kelompok ini termasuk kelompok kritis. Yang mampu membedakan antara prinsip dengan produk keuangan syari’ah.
Masyarakat merespon keberadaan bank syari’ah tidak sekedar karena bank tersebut diberi nama syari’ah. Tentu, mereka merespon karena religiusitas, bisnis, atau sikap kritis akademik. Mereka mengkritisi mekanisme antara bagi hasil dan bunga apakah dapat menjadi faktor pembeda. Mereka mengkritisi apakah perbedaan tersebut dapat menjustifikasi dalam pengambilan keputusan untuk bermitra dengan bank syari’ah dalam pembiayaan, jika mereka menganggap bahwa antara bank syari’ah dan konvensional terdapat perbedaan yang signifikan.
Harapan masyarakat kepada bank syariah tidak hanya pada bank yang diberi nama bank syari’ah melainkan sikap kritisnya yaitu bagaimana teknis operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan syari’ah atau belum. Pertanyaan yang menggelayuti sebagian masyarakat yaitu kenapa bank syari’ah belum mampu melaksanakan operasi keuangan sesuai dengan syari’ah yang sesunggunhnya?
Masyarakat masih menggunakan uang kertas (fiat money) dalam bertransaksi. Sedangkan uang kertas memiliki nilai yang berfluktuasi. Hal demikian, menunjukkan bahwa uang yang bertambah secara nominal belum tentu bertambah nilainya. Jika penggunaan uang digantikan oleh sistem uang emas, atau paling tidak adalah uang berstandar emas, meski alat transaksinya adalah uang kertas, sehingga nilai mata uang relatif stabil.

Hardiwinoto Muchtar

Hardiwinoto adalah seorang peneliti ekonomi, dosen, kolomnis, dan pegiat sosial. Kegiatan yang dilakukan terkait dengan koleksi buku-buku ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sastra dan sejarah.

Artikel Menarik Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *