Pajak dan Retribusi Daerah sebagai Penopang PAD

pajak dan retribusi daerah

hardiwinoto.com-Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang ditindaklanjuti dengan UU No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004 mengisyaratkan adanya empat pilar yang mendukung otonomi daerah yaitu:

  1. Kapasitas aparat daerah.
  2. Kapasitas kelembagaan daerah.
  3. Kapasitas keuangan daerah.
  4. Kapasitas lembaga non pemerintah di daerah.

Empat pilar keuangan daerah tersebut merupakan hal yang sangat krusial bagi tiap daerah. Kedua undang-undang tersebut pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi, baik berkaitan dengan masalah desentralisasi kewenangan maupun desentralisasi keuangan. Penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan daerah Kabupaten/Kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah.

Maksud pemberian otonomi yang lebih luas dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah untuk mempercepat pembangunan daerah agar dapat tercipta peningkatan layanan dan kesejahteraan seluruh masyarakat di daerah; yaitu berkembangnya kehidupan yang disertai dengan peningkatan peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan di daerah; dan terpeliharanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Faktor-faktor yang akan menentukan dan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, antara lain (Kaho, 1997):

  1. Faktor manusia sebagai subjek penggerak (faktor dinamis) dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
  2. Faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah.
  3. Faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah.
  4. Faktor organisasi dan manajemen yang merupakan sarana untuk melakukan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara baik, efisien, dan efektif.

Paparan di atas menunjukkan bahwa faktor kemampuan untuk mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.  Salah satu ciri daerah otonom terletak pada kemampuan self supporting dalam bidang keuangan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan daerah untuk menggali sumber-sumber keuangan dengan baik dan menggunakannya secara tepat dan benar. Daerah harus mempunyai sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaran pembangunan. Kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan daerahnya sangat ditentukan oleh kemampuan dalam mengatur berbagai program-program pembangunan dan melaksanakan berbagai fungsinya secara baik dan benar, seperti fungsi pelayanan kepada masyarakat (public services), fungsi pembangunan (development), dan fungsi perlindungan kepada masyarakat (society protection). Dalam upaya merealisasikan tujuan pembangunan daerah, diperlukan sumber-sumber pembiayaan yang memadai, yaitu:

  1. Investasi pemerintah pusat melalui kegiatan sektoral;
  2. Investasi pemerintah daerah, baik dari provinsi maupun dari kabupaten/kota;
  3. Investasi dari sektor swasta, baik oleh masyarakat maupun oleh dunia usaha.

Pasal 79 Undang-Undang No 25 tahun 1999 telah menggariskan bahwa sumber pendapatan daerah dalam APBD terdiri atas beberapa pos yaitu:

  1. Pendapatan asli daerah terdiri dari:
    • Hasil pajak daerah.
    • Hasil retribusi daerah.
    • Hasil laba perusahaan milik daerah; dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
  2. Dana perimbangan.
  3. Pinjamana Daerah.
  4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Beberapa masalah yang seringkali dihadapi oleh pemerintah daerah dalam usaha meningkatkan kemampuan keuangan daerah antara lain:

  1. Masih tingginya tingkat ketergantungan daerah pada bantuan/subsidi dari pusat baik dalam bentuk DAU maupun DAK. Padahal DAU lebih banyak terserap untuk membiayai pos belanja rutin antara lain membayar gaji pegawai.
  2. Belum efisiennya pengelolaan BUMD; Ketiga, belum optimalnya penggalian sumber PAD yang selama ini sudah ada; Keempat, belum adanya sumber PAD baru yang dapat digali, dan semakin terbatasnya sumber pendapatan akibat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997.

Pajak adalah pungutan negara/pemda yang merupakan kewajiban bagi warga negara yang memiliki penghasilan sebagai sumber penerimaan negara/daerah dan memiliki sarana retribusi pendapatan; pajak bukan hanya sekedar pungutan wajib bagi warga negara tetapi juga sebagai sumber untuk pembiayaan kesejahteraan masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan pemerataan. Pajak Daerah menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dengan demikian pajak daerah merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah.

Menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 Pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan didalamnya sekurang-kurangnya mengatur tentang : Nama, objek dan subjek pajak; dasar pengenaan, tarif dan cara penghitungan pajak; wilayah pemungutan; masa pajak; penetapan; tata cara pembayaran dan penagihan; kadaluarsa; sanksi administratif; dan tanggal mulai berlakunya peraturan daerah tersebut.

Retribusi Daerah menurut Undang-Undang No 34 Tahun 2000 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Hal tersebut merupakan salah satu Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dipungut secara langsung, namun demikian tidak semua terkena pungutan retribusi; kecuali mereka yang menikmati barang dan jasa secara langsung yang terkena kewajiban membayar retribusi daerah.

Seperti halnya pajak daerah, pemungutan retribusi daerah juga ditetapkan dengan peraturan daerah menurut Undang-Undang No 34 tahun 2000 dan tidak dapat berlaku surut. Yang termasuk dalam obyek retribusi daerah adalah:

  1. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan;
  2. Jasa Umum, adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan; diantaranya pelayanan kesehatan (PUSKESMAS, RSUD) dan pelayanan persampahan.
  3. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta; antara lain penyewaan aset yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah Daerah, penyediaan tempat penginapan, usaha bengkel kendaraan, parkir, tempat cuci mobil, penjualan bibit.
  4. Pemberian Ijin Tertentu, adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksud untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan; antara lain: Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah, termasuk pengajuan ijin tertentu oleh BUMN dan BUMD tetap dikenakan retribusi.

Pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-undang, penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jenis dan besarnya tarif pemungutan Pajak daerah (pajak yang dipungut untuk pendapatan daerah/APBD) dan retribusi daerah, ditetapkan melalui Peraturan Daerah (PERDA); DPRD bersama Gubernur, Bupati atau Walikota membentuk peraturan daerah serta menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Devas (1989) mengemukakan tentang  lima tolok ukur untuk menilai pajak daerah, yaitu yield, equity, economic efficiency, ability to implement, dan suitability as a local source.  Kelima tolok ukur tersebut adalah suatu hal yang diperlukan untuk menilai suatu pajak daerah.  Sebab yang dimaksud dengan pajak daerah adalah pungutan yang dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah regional sendiri (Davey, 19880 dan Kaho (1997).

Arti penting kelima tolok ukur tersebut terdapat pada penilaian apakah suatu jenis pajak akan bertahan lama dan berkelanjutan (sustainable) atau tidak. Otonomi daerah saat ini diwujudkan oleh daerah dalam bentuk berbagai pungutan guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Ada kekhawatiran, pungutan baru tersebut tidak bisa bertahan lama, sebab belum dilandaskan pada kajian ekonomi dan keuangan yang mendalam. Pungutan baru yang diberlakukan daerah sekadar ekspresi sebagai respons terhadap otonomi daerah, sehingga dalam perspektif kelima tolok ukur tersebut diperlukan. Artinya suatu jenis pungutan yang tidak memenuhi tolok ukur tersebut berlaku dalam jangka pendek dan sebaliknya suatu pungutan yang memenuhi kelima tolok ukur tersebut akan bertahan dalam jangka panjang.

Sitglitz (1986) mengemukakan tentang five desirable characteristics of any tax system, bahwa suatu pajak dapat dipungut/dikenakan pada masyarakat harus memenuhi  beberapa kriteria berikut:

  1. Economic Efficiency.
  2. Administrative Simplicity.
  3. Flexibility.
  4. Political Responsive.
  5. Fairness.

Hal demikian sejalan dengan Musgrave and Musgrave (1989) yang mengemukakan tujuh persyaratan struktur pajak yang baik yaitu:

  1. Penentuan penerimaan dengan tepat.
  2. Jelas siapa yang harus menanggung.
  3. Tidak mengganggu pasar dan efisiensi.
  4. Tidak menyebabkan kontraksi perekonomian.
  5. Adminstrasi yang baik.
  6. Biayanya cukup rendah.

Apabila diperhatikan dengan seksama dalam perspektif tujuan perpajakan daerah, baik yang dikemukakan oleh Devas, maupun Stiglitz dan Musgrave & Musgrave tidak jauh berbeda. Tiebouts (1956) memperhatikan kaidah love it or leave it. Artinya, suatu daerah apabila menerapkan perpajakan daerah dengan baik maka akan menyebabkan perilaku masyarakat yang suka bertempat tinggal di tempat tersebut. Sebaliknya, apabila perpajakan yang diterapkan tidak mengikuti prinsip-prinsip perpajakan, akan ada perilaku dari masyarakat tidak suka bertempat tinggal di tempat tersebut sehingga mereka lebih suka berpindah ke daerah lain.

Hardiwinoto Muchtar

Hardiwinoto adalah seorang peneliti ekonomi, dosen, kolomnis, dan pegiat sosial. Kegiatan yang dilakukan terkait dengan koleksi buku-buku ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sastra dan sejarah.

Artikel Menarik Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *