Logika dan Alquran

berfikir sesat

hardiwinoto.com-Esensi logika adalah berpikir lurus, cermat, tepat dan akurat. Bagi Islam, berlogika dapat dikatakan wajib hukumnya, karena dalam Alquran, banyak memberikan peringatan keras agar setiap umat Islam berpikir untuk memanfaatkan realitas sebesar-besar bagi fasilitas kehidupannya. Demikian Allah berfirman:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artinya

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.[1]

 

Dalam ayat ini, objek yang harus dipikirkan oleh manusia adalah alam semesta (universum) secara total. Disebutkan bahwa setiap aspek dalam alam semesta tidak ada yang tidak bermanfaat bagi kehidupannya. Ayat itu dipungkasi pemujian kepada Allah dan permohonan terhindar dari azab neraka yang menyengsarakan. Jadi, berlogika adalah sarana taktis mencari kehidupan bahagia baik di dunia maupun di akhirat.

Sebagai bukti bahwa berlogika adalah usaha penyelamatan diri dari kesalahan berkata-kata, bersikap, dan berbuat ayat berikut menjelaskannya demikian:

 

 

 

 

 

Artinya:

Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?[2]

 

Ayat ini secara clear menjelaskan peringatan keras dari cara berpikir seseorang dengan cara menduga-duga bahwa nabi Muhammad mengetahui perbendaharaan Allah, bahwa nabi Muhammad mengetahui yang ghaib-ghaib, bahwa nabi Muhammad itu Malaikat yang mengejawantah. Alquran menepis praduga tak beralasan itu. Alquran menjelaskan bahwa nabi Muhammad hanya mengikuti wahyu yang ia terima. Ketika orang itu tidak menerima penjelasan wahyu lantaran lisan nabi Muhammad dikategorikan orang yang buta, buta mata dan buta pengetahuan. Itulah sebabnya, ayat itu ditutup dengan kata-kata “afala tatafakkarun” apakah kau tidak berpikir? Maksud ungkapan terakhir ini justru perintah “berpikirlah kamu” supaya tidak buta pengetahuan. Berpikir dengan cermat, lurus, tepat, dan akurat adalah berpikir logis.[3]

Dalam Alquran disebutkan kata yang secara praktis senada dengan afala tatafakkarun, adalah afala ta’qilun, umpama terdapat dalam ayat berikut:

 

 

 

Artinya:

dan di waktu malam. Maka apakah kamu tidak memikirkan?[4]

 

Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan tentang kisah pembangkangan kaum nabi Luth dari aturan Allah untuk kebahagiaan mereka sendiri. Kisah ini diperuntukkan kepada umat nabi Muhammad agar mengambil pelajaran di balik kisah itu, bahwa kalau melanggar aturan-aturan Allah pasti akan memperoleh akibat fatal. Sementara itu disebutkan wanita-wanita tua yang lemah tetapi taat aturan Allah, justru selamat dari kehancuran. Selanjutnya, umat manusia disuruh berpikir dengan benar agar mereka tidak terkena akibat yang menghancurkan sebagaimana pernah dialami oleh kaum Luth itu. Jadi berpikir benar di sini secara praktis adalah menghindarkan akibat yang menghancurkan. Tidak mau berpikir untuk ini, pasti benar-benar hancur.[5]  Jadi, praksisme ayat ini, dalam kaitannya berpikir secara benar adalah supaya setiap umat Islam menggunakan akal untuk berpikir secara rasional, dengan kata lain berlogika.

Wallahu a’lamu bi ash-shawab.

[1] QS. Ali Imran/3:191.

[2] QS. al-An’am/6:50.

[3] Dalam Alquran disebutkan kata yang berakar dari kata  ‘fakara’, seperti: fakkara  tatafakkarun, tafakkaru, dan yatafakkarun terulang sebanyak 18 kali (.Abd al-Baqi, [t.th.]:668.

[4] QS. ash-Shaffat/37:138.

[5] Dalam Alquran disebutkan kata yang berakar dari kata ‘aqala’ seperti: ‘aqaluh, ta’qilun, na’qilu, ya’qilu, dan ya’qilun terulang hingga 50 kali. (‘Abd al-Baqi’, [t.th], 594-595). Baik kata yang berakar dari kata ‘fakara’ maupun ‘aqala’ berjumlah 68. Ini menunjukkan betapa kitab suci ini menyadarkan kepada manusia yang beriman kepadanya bahwa berlogika itu sangat penting bagi kesejahteraan hidup mereka sendiri, khususnya kebenaran dalam beragama.

Danusiri. 2015. Logika Dalam Naungan Al Qur’an dan As-sunnah. Karya Abadi Jaya. Semarang.

Hardiwinoto Muchtar

Hardiwinoto adalah seorang peneliti ekonomi, dosen, kolomnis, dan pegiat sosial. Kegiatan yang dilakukan terkait dengan koleksi buku-buku ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sastra dan sejarah.

Artikel Menarik Lainnya

2 Comments

  1. I see your site needs some fresh & unique content. Writing manually is time consuming, but there is solution for this hard task.
    Just search for – Miftolo’s tools rewriter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *