Landasan Hukum Transaksi

https://hardiwinoto.com

Transaksi (Akad) dalam perspektif historis telah ada sejak masyarakat manusia itu ada. Menurut Salam Madhkur (1967: 351), akad muncul sesudah adanya ihraz al-mubahat. Ihraz al-Mubahat oleh para ahli fiqh diartikan sebagai: Memiliki sesuatu benda mubah yang belum menjadi milik orang lain, yakni dengan cara usaha sendiri bukan diperoleh dari pewarisan ataupun dari akad. Para fuqaha membuat kesimpulan bahwa tidak seorang pun mengetahui kapan dan bagaimana pertumbuhan akad di dalam kehidupan umat manusia di dunia ini, mulai dari zaman purbakala sampai dengan zaman sekarang (Al-Zarqa’, 1978: 32). Sedangkan pranata kehidupan sosial kemasyarakatan termasuk juga bidang perdagangan (niaga) telah memiliki kemajuan di sekitar bangsa-bangsa Arab pra Islam.
Dalam tatanan hidup bermasyarakat, tentu saja masyarakat Arab pra Islam, sebagaimana masyarakat lainpun memiliki tatanan yang sangat maju terutama di bidang perniagaan. Mekah sebagai tempat kelahiran Nabi saw., adalah kota dagang yang merupakan kota pusat lalu lintas perdagangan dengan Arabia Selatan, Syria, Byzantium dan Irak Sasanian. Thaif adalah pusat lalu lintas perdagangan yang lain dengan hasil kurmanya sebagai produk unggulan di kota itu.
Demikian pula Madinah sebagai pusat perkebunan korma yang diupayakan secara intensif, dengan koloni-koloni Yahudi sebagai bagian penduduknya (Musa, 1978: 64). Istilah-istilah dan cara bermuamalah seperti ‘aqad, ijab- qabul, ba’i, salam, rahn, syirkah, ijarah, mudharabah dan lain-lain telah dikenal dikalangan mereka. Sehingga sistem yang telah berlaku di kalangan masyarakat Arab baik berupa pranata-pranata sosial kemasyarakatan telah diwarisi oleh Islam terutama berupa transaksi niaga yang kemudian dilegitimasi oleh Islam melalui ajaran-ajaran Qur’aninya termasuk bidang akad, hal ini secara khusus dituangkan di dalam ayat-ayat al-Qur’an ataupun hadis yang menjadi sumber insprirasi dalam setiap prilaku umatnya (Musa, 1978: 67).
Didalam al-Qur’an banyak terdapat ayat yang mengatur tentang prilaku akad. Dasar pokok etika bisnis di dalam al-Qur’an memberi isyarat bahwa pelaku bisnis cenderung tarik menarik untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin di pihaknya. Oleh karena itu dalam konteks ini surat al-Baqarah ayat 188 menyatakan :
ولا تاءكلوا اموالكم بينكم بالبطل وتدلوا بها الي الحكمم لتاْكلوا فريقا من امول الناس بالاءثم وانتم تعلمون
Artinya :” Dan janganlah sebagian kamu memakana harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa urusan ( harta ) itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dar pada harta benda orang lain itu, dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui ( Q.S.al- Baqarah. 188 )

Penggunaan kata “bainakum” selain memberi kesan bahwa harta benda adalah milik semua manusia secara bersama-sama dan Allah membagi antara mereka secara adil berdasar kebijaksanaan-Nya, melalui penetapan hukum dan etika sehingga upaya perolehan dan pemanfaatannya tidak menimbulkan perselisihan dan kerusakan. Redaksi diatas juga memberi kesan bahwa hak dan kebenaran harus berada diantara mereka yang tarik menarik dalam bisnis itu. Harta benda yang berada diantara mereka tidak boleh keseluruhannya ditarik oleh pihak pertama, sehingga kesemuanya menjadi miliknya, tidak juga demikian bagi pihak kedua. Untung rugi pada prinsipnya harus diraih bersama atau diderita bersama (Shihab, 2002: 56).
Etika demikian itulah yang dianjurkan oleh Islam untuk dapat mengantarkan terjalinnya hubungan harmonis bebas darin kecurigaan antar pelaku bisnis. Oleh karena itu, apabila melakukan transaksi bisnis berupa utang piutang untuk masa tertentu, perlu dilakukan pencatatan, dan bagi pencatat harus memiliki sifat adil, karena keadilan akan dapat lebih menguatkan dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan kerugian. (Q.S. 2.183).
Ayat- ayat diatas mengandung pesan-pesan moral dalam berbisnis yang perlu ditegakkan, antara lain sebagai berikut :

1. Melakukan administrasi berupa tulis menulis, demi menghindari adanya perselisihan dan melindungi hak individu.

2. Menghindari praktek suap dengan dalih apa pun, karena praktek penyuapan menjadikan salah satu pihak dirugikan atau menjadikan satu pihak menarik pihak lain pada posisinya sehingga dirugikan.

3. Menepati janji dan melaksanakannya sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati. (Q.S.6, 1).
Di dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Umar Ibn al-Khatthab mengatakan :

ان مقاطع الحقوق عند الشروط ولك ما شرطت
Artinya :”Ketetapan atas hak – hak adalah menurut syarat, sedangkan bagi kamu tergantung pada apa yang kamu syaratkan.”

4. Kejujuran (Al-Suyuti, 1960: 34)
Dalam konteks ini Nabi saw., antara lain bersabda: Muslim adalah saudara muslim, tidak dibenarkan sorang muslim menjual kepada saudaranya yang muslim, satu jualan yang mempunyai cacat kecuali dia menerangkan cacatnya.
Di dalam hadis yang lain disebutkan juga bahwa ketika Nabi sedang melewati pasar bertemu dengan penjual seonggok makanan. Beliau masukkan tangan beliau keonggokan itu, dan jari-jarinya menemukan(nya) basah. Beliau bertanya: “Apakah ini hai penjual?. Dia berkata: Itu cara (saya) meletakkannya diatas, agar orang melihatnya. Barang siapa menipu kami, dia bukan termasuk golongan kami.(Al-San’ani, 1960: Juz III, 29).

5. Keramah tamahan (Al-San’ani, 1960: Juz III, 42)
Dengan sikap ramah tamah, niscaya penjual akan memperoleh rahmat (kebaikan serta keberkahan) dari Allah, sebagaimana tersebut di dalam sebuah riwayat :
“Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam menjual, membeli dan menagih”.

6. Penawaran yang jujur (fix price) (Shihab, 2002: 231)
Rasulullah melarang al-najsy, yaitu mengajak orang lain untuk menawar padahal yang bersangkutan tidak bermaksud membeli, hanya agar orang lain mengikuti ia dalam tawarannya. Kasus lain tentang fix price adalah sebagaimana dilaporkan Ummu Qilat yang melaporkan kepada Nabi:
” Hai Rasul Allah, aku seorang wanita yang menjual dan membeli, kalau aku ingin membeli, aku tawar kurang dari apa yang aku inginkan, kemudian aku tambah hingga sampai (ke harta) yang ku inginkan, sedang bila aku menjual sesuatu, kutawarkan dengan harga yang lebih tinggi dari yang kuinginkan, lalu kuturunkan sampai batas yang kukehendaki. Nabi menjawab : ” Wahai Ummu Qilat, jangan lakukan itu. Jika engkau ingin membeli sesuatu, maka tawarlah dengan harga yang engkau inginkan diberi atau tidak, dan bila engkau ingin menjual, tawarkanlah dengan harga yang engkau inginkan, diterima atau ditolak.” (Al-San’ani, 1960: Juz III, 37).

7. Penjual hendaknya tidak memaksa pembeli dan tidak bersumpah dalam menjual.
Dalam era tehnologi seperti sekarang ini, penawaran produk dapat dilihat disetiap tempat baik melalui, iklan-iklan di majalah, koran, radio, TV dan internet sekalipun sering membuat konsumen terkecoh. Bahkan dengan cara paksaan halus (secara psichis), dengan berkunjung ke rumah-rumah, kantor dan dimanapun konsumen dapat dijumpai, meskipun kemungkinan hal ini dapat meningkatkan pemasaran, akan tetapi dari sisi lain menimbulkan sikap apatis terhadap konsumen. Hanya dengan kerelaan dan kesepakatan bersama penjualan menjadi sah. Itupun dapat mengandung tenggang waktu untuk membatalkan atau mengembalikan barang. (Madhkur, 1967: 567).

8. Tegas dan adil dalam timbangan (Q.S. 83, 1-4). Kecelakaan besar bagi orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka meminta dipenuhi, dan bila menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (Q.S. Al-Muthaffifin 1-4).

9. Tidak dibenarkan adanya monopoli dan manipulasi harga. (Al-Qardawi, 1986: 11).
Monopoli barang dan memanipulasi harga merupakan suatu sistem dan praktek bisnis yang mengacau sistem pasar bebas, sedangkan di dalam Islam mengajarkan akan adanya sistem pasar bebas dan juga memperbolehkan adanya pengendalian harga (price control) dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat serta mencegah praktek keserakahan. Sebagaimana pernyataan hadis nabi saw:
“Siapa yang memonopoli makanan selama empat puluh hari dengan maksud menaikkan harga maka dia telah berlepas diri dari Allah dan Allah pun melepas diri darinya.” (Abu Daud, 1965,32).

10. Tidak dibenarkan adanya harga komoditi yang boleh dibatasi
Dikatakan kepada Nabi: “Harga telah naik, maka tetapkanlah harga.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah yang menetapkan harga. Dia yang mempersempit, Dia pula yang memperlonggar. Aku berharap semoga aku menemui Allah dan tidak seorangpun diantara kamu yang menuntut aku dengan tuntutan dalam hal darah ( kehormatan) dan harta benda”.(Ahmad, 1965: 132).

11. Kesukarelaan (Al-Suyuti>, 1960: 21).
Di dalam transaksi bisnis harus didasarkan pada suka sama suka (taradhin).

12. Pelanggan yang tidak sanggup membayar diberi waktu ( tangguh ). (Q.S. 2.180).
Jika pembeli berhutang dan dalam keadaan sulit, maka harus diberi tangguh sampai ia kelapangan.
Etika Islam mendorong bertindak berdasarkan nilai kebaikan, termasuk bersikap lembut terhadap orang yang mengalami kesulitan keuangan. Namun demikian Islam juga bersikap tegas kepada orang yang berhutang untuk menepati janji dalam pembayaran hutang dan tidak boleh menangguhkannya, karena membayar hutang merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi tidak mau menyalati terhadap mayit yang masih memiliki tanggungan hutang sebelum dibayar sedangkan si mayit tersebut dalam keadaan mampu (H.R. Muslim).

Sumber: Mujibatun. 2013. Himpunan Hadis-Hadis Transaksi Perspektif Etik. Rafi Sarana Perkasa. Semarang

WA penulis : 0817229135

Hardiwinoto Muchtar

Hardiwinoto adalah seorang peneliti ekonomi, dosen, kolomnis, dan pegiat sosial. Kegiatan yang dilakukan terkait dengan koleksi buku-buku ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sastra dan sejarah.

Artikel Menarik Lainnya

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *