Khomeini De Fakto Menggantikan Shah

bahaya paham syiah

hardiwinoto.com-Redaksi Panji Masyarakat menilai revolusi Islam di Iran yang merupakan suatu peristiwa besar menjelang abad ke 15 Hijriyah sebagaimana revolusi-revolusi lain yang pernah mengubah sejarah dunia seperti revolusi Amerika, Perancis, dan Rusia. Uniknya revolusi Iran ini dipimpin oleh seorang ulama yang diikuti oleh rakyat yang tak bersenjata dan berhasil mengalahkan satu kekuatan yang terkenal memiliki persenjataan modern.

Bertolak dari pendapat ini Panjimas mengutus wartawannya Farid Hadjiri melakukan wawancara dengan  Muhammad Natsir, pemimpin Islam Indonesia yang diketahui banyak berhubungan dengan negara-negara Islam dalam kedudukannya sebagai pemimpin Rabithah Alam Islami  dan  Muktamar Islam.

Natsir menerangkan latar belakang kejadian di Iran yang kelihatan begitu mendadak:

Dari sudut nasional Shah Iran itu mau mempertahankan adanya feodalisme dalam abad 20 ini yang sebenarnya sudah tak ada tempat lagi sesudah Perang Dunia II. Feodalisme Shah dipertahankannya dengan mempergunakan polisi rahasia Savak yang sifatnya semacam KGB Rusia.

Dengan adanya kekuasaan tak terbatas, korupsi merajalela. Ada kata bersayap yang mengatakan: “Power Corrups, absolute power corrups absolutely”. Satu-satunya informasi yang dianggap benar oleh Shah adalah yang datang dari Savak.

Lambat laun dia terasing dari rakyatnya lantaran tidak dapat menjangkau apa yang dirasakan oleh rakyatnya sendiri. Selain daripada itu dia melakukan sesuatu yang tidak perlu. Yaitu memusuhi mayoritas umat Islam. Dianggapnya mereka menghalangi pembangunan. Padahal dia masih punya musuh yaitu Partai Tudeh. Walaupun partai komunis ini sudah dikalahkan, tetapi di bawah tanah masih bergerak.

Bertumpuklah keresahan, frustasi, antipati yang tak dia sadari sudah sampai sebesar itu. Yang bisa membuka suara sekali-sekali mahasiswa yang belajar di luar negeri. Di Eropa, Amerika, dan Australia dia mengalami demontrasi mahasiswa yang memperjuangkan hak azasi, tetapi tidak dipedulikan. Baru saja dia sadar dan memperbaharui politiknya, tetapi sudah terlambat.

Natsir menerangkan komentarnya tentang tokoh Khomeini:

Khomeini pemimpin Islam dari sekte Syiah yang dianggap penghalang pembangunan oleh Shah seperti pemimpinpemimpin yang lain. Mereka lari ke luar Iran. Khomeini  adalah salah satu dari pemimpin itu. Tetapi dia pemimpin Syiah yang terbesar dewasa ini. Dalam keadaan rakyat menghadapi kekuasaan yang mutlak, mereka mencari-cari titik pertemuan.

Seperti diketahui oposisi terhadap Shah terdiri dari: Partai Komunis Tudeh, orang Islam dan kaum intelektual nasionalis. Ketiga golongan ini melihat-lihat siapa yang akan dijadikan pemegang panji-panji walaupun untuk sementara untuk mengatasi krisis. Terlihatlah Khomeini. Khomeini de fakto menggantikan Shah. Memang tidak konstitusional, tak yuridis, tetapi itulahyang dinamakan revolusi. Yang terjadi di Iran adalah Revolusi.

 

Puar, Yusuf Abdullah. 1979. Perjuangan Ayatullah Khomeini. Pustaka Antara. Jakarta.

 

Bagaimana dengan Indonesia? apakah asumsinya telah mirip? Apakah perlu adanya revolusi jika umat Islam diperlakukan sebagaimana di Iran? Lalu siapakah ulama yang mampu menyatukan umat Islam sebagai syarat untuk menempuh jalur revolusi?

Hardiwinoto Muchtar

Hardiwinoto adalah seorang peneliti ekonomi, dosen, kolomnis, dan pegiat sosial. Kegiatan yang dilakukan terkait dengan koleksi buku-buku ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sastra dan sejarah.

Artikel Menarik Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *