hardiwinoto.com-Di Malaysia, usaha mendirikan bank tanpa instrumen bunga pada tahun 1940-an, di Pakistan 1950-an, kemudian di Mesir 1963, yaitu Mit Ghamr Local Saving Bank mengalami kesuksesan. Kesuksesan Mit Ghamr memberi inspirasi kesadaran bagi umat Muslim di seluruh dunia. Awalnya perbankan syari’ah di Mesir tanpa menggunakan kata “Islam”, karena khawatir bahwa rezim yang berkuasa menganggap sebagai gerakan fundamentalis, sehingga dinamakan bank simpanan berbasis profit sharing atau partnership di kota Mit Ghamr.
Beberapa tahun kemudian berdiri Nasir Social Bank pada tahun 1971, sebagai bank komersial tanpa instrumen bunga (interest free). Disusul berdirinya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam. Tujuan IDB adalah menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggota, sehingga disebut bank antar pemerintah. IDB menyediakan jasa finansial berbasis interest fee atau menggunakan profit sharing untuk negara-negara anggota. IDB secara eksplisit sudah menyatakan sebagai bank berdasar pada syariat Islam.
Islamic Development Bank (IDB) yang berpusat di Jeddah tersebut menyerupai Bank Dunia (World Bank) dan Asia Development Bank (ADB). Pada era 1970-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam menyebar ke banyak negara, yaitu Dubai Islamic Bank (1975), Kuwait Finance House (1977), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Di Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji. Hingga pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1080-an bank syari’ah berkembang di Mesir, Sudan, Negara Negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki. Bank syari’ah juga tumbuh di berbagai negara Barat dan Asia Tenggara, yaitu The Islamic Bank International of Denmark tercatat sebagai bank syari’ah pertama yang beroperasi di Eropa pada tahun 1983. Di Asia Tenggara, pada awal 1980-an, berdiri Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983.
Perkembangan bank bank syari’ah di berbagai negara memberikan pengaruh yang positif bagi Bangsa Indonesia. Di Indonesia, sistem perbankan Islam baru dimulai pada tahun 1990-an. Pendirian Bank Syari’ah diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui pembentukan tim yang bertugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi yang memperkarsai berdirinya PT. BMI (Bank Muamalat Indonesia) pada tahun 1991. Bank syariah pertama lahir tahun 1991 yaitu Bank Muamalat Indonesia yang resmi beroperasi tahun 1992, sejak diberlakukannya Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang mana mulai diakui dengan menggunakan istilah “bank bagi hasil” untuk menyebut bank yang berdasarkan prinsip syariah. Selanjutnya bank syari’ah mendapat persetujuan dengan disahkannya Undang Undang No. 10 tahun 1998 tentang bank syari’ah, yang mengatur dengan rinci tentang landasan hukum serta jenis jenis usaha yang dapat dioperasikan dan di implementasikan oleh Bank Syari’ah. Undang Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank konvensional untuk membuka cabang syari’ah atau bahkan mengkonversikan diri secara total menjadi bank syari’ah.
Sampai pada akhir tahun 1998, jumlah kantor bank syariah secara nasional di Indonesia adalah sebanyak 78 kantor, yang terdiri dari 1 knntor bank umum dan 77 kantor BPR. Dalam kurun waktu 1997 hingga saat ini lembaga perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Jumlah bank tumbuh dengan pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 UUS, dan 81 BPRS pada akhir Tahun 2001. Jumlah Kantor Cabang dari bank umum syariah dan UUS tumbuh dari 26 menjadi 51.
Jaringan kantor perbankan syariah tahun 1998 baru ada satu bank umum dengan 10 kantor cabang; 1 kantor cabang pembantu; serta 19 kantor kas, menjadi 2 bank umum syariah dengan 123 kantor; 7 unit usaha syariah pada bank umum konvensional yang tersebar dengan 39 kantor; serta 85 BPRS. Diakhir tahun 2003 jumlah bank syariah telah genap sepuluh buah. Hingga tahun 2000 terdapat dua bank dengan konsep full islamic banking (Bank Muamalat dan bank Syariah Mandiri) dan dua bank konvensional yang membuka cabang syariah (Bank IFI dan BNI Syariah). Sepanjang tahun 2001 – 2003 terdapat enam bank konvensional lainnya yang membuka cabang syariah. Tahun 2005 tercatat ada 4 bank umum syariah dengan sistem dual banking, dimana sistem perbankan terdapat dua sistem yaitu sistem berdampingan antara perbankan konvensional dan syariah.
Aset perbankan syariah tumbuh pesat dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi Rp. 2.781 milyar pada tahun 2001. Meskipun kontribusi terhadap total asset perbankan nasional masih relatif kecil (penetrasi asset 0,26%), asset perbankan syariah mampu mencapai pertumbuhan 74 % pertahun selama periode 1998 – 2001. Dana pihak ketiga meningkat dengan cepat dari Rp. 392 milyar menjadi Rp. 1.806 milyar dan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga hanya turun sedikit 117 % pada tahun 1998 menjadi 113 % tahun 2001. Sampai tahun 2002, industri perbankan syariah memiliki 88 institusi, yaitu 2 bank umum syariah, 5 bank umu konvensional yang memiliki cabang syariah, dan 81 BPRS. Jumlah jaringan kantor sebanyak 136 yang tersebar di 20 propinsi. Hingga akhir tahun 2005, terdapat 3 bank umum syariah dan 16 unit usaha syariah.
Berdasarkan data Statistik, Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia, mencapai 31 unit yang terdiri atas 6 Bank Umum Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 139 unit pada periode yang sama. Total aset perbankan syariah per Oktober 2010 mencapai Rp 86 trilyun. Kemudian secara kelembagaan, jumlah bank syariah juga mengalami peningkatan. Saat ini, sudah ada 11 Bank Umum Syariah, 23 Unit Usaha Syariah, 146 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dengan jaringan kantor mencapai 1.625 unit. Jaringan perbankan syariah saat ini juga telah menjangkau lebih dari 89 kabupaten atau kota di 33 provinsi.
Perkembangan perbankan syari’ah yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan minat masyarakat mengenai ekonomi syari’ah semakin bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan layanan keuangan syari’ah, maka berdasarkan akta Akuisisi No. 72 tanggal 12 Juni 2009 yang dibuat dihadapan Notaris Dr. Irawan Soerodjo, S.H., M.Si. PT.Bank Central Asia, Tbk (BCA) mengakuisisi PT Bank Utama Internasional Bank (Bank UIB) yang nantinya menjadi PT. Bank BCA Syari’ah. Selanjutnya berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan di Luar Rapat Perseroan Terbatas PT Bank UIB No. 49 yang dibuat dihadapan Notaris Pudji Rezeki Irawati, S.H., tanggal 16 Desember 2009, tentang perubahan kegiatan usaha dan perubahan nama dari PT Bank UIB menjadi PT Bank BCA Syari’ah. Akta perubahan tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusannya No. AHU-01929. AH.01.02 tanggal 14 Januari 2010. Pada tanggal yang sama telah dilakukan penjualan 1 lembar saham ke BCA Finance, sehingga kepemilikan saham sebesar 99,9997% dimiliki oleh PT Bank Central Asia Tbk, dan 0,00003% dimiliki oleh PT BCA Finance.
Perubahan kegiatan usaha Bank dari bank konvensional menjadi bank umum syariah dikukuhkan oleh Gubernur Bank Indonesia melalui Keputusan Gubernur BI No. 12/13/KEP.GBI/DpG/2010 tanggal 2 Maret 2010. Dengan memperoleh izin tersebut, pada tanggal 5 April 2010, BCA Syariah resmi beroperasi sebagai bank umum syariah