Hardiwinoto.com-Orang-orang Yahudi dan Nasrani juga mengenal istilah Riba. Jadi Riba bukan hanya persoalan Umat Islam. Berikut adalah penjelasannya.
1. Riba Menurut Kaum Yahudi
Orang Yahudi yang terkenal dalam sejarah sebagai bangsa yang tidak amanah, penuh dengan penipuan dan penyelewengan. Tidak heran jika mereka membuat tafsiran yang menurut hawa nafsu mereka terhadap kitab Taurat bahawa Pengharaman riba itu ialah antara orang-orang Yahudi saja dan tidak haram terhadap umat-umat yang lain.
Kaum Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Hal ini terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan. ”Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan: “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Dalam Taurat ayat 25 fasal 22 (Sakarul Huruj):
“Apabila kamu memberi hutang kepada anak bangsamu maka jangan engkau menganggap engkau sebagai orang yang memberi hutang. Jangan engkau meminta keuntungan daripada hata engkau.”
Dalam Taurat ayat 35 fasal 25 (Sakarul Awbin)
“Apabila saudara engkau berhajatkan atau berkehendakkan sesuatu, hendaklah engkau beri jangan meminta keuntungan dan mengambil apa-apa manfaat daripadanya.”
2. Riba Menurut Kaum Nasrani:
Manakala orang Nasrani pula tidak dapat mempertahankan pengharaman riba selepas kurun pertengahan. Hanya berpuncak dari tindak tanduk raja-raja dan pembesar agama mereka. Tahun 1662, Raja Lois kc IV telah berhutang secara riba untuk menjelaskan pinjamannya. Tahun 1860, Agama Kristian mula bermuamalat secara riba. Ini adalah ekoran selepas pemberontakan Peranchis pada 12 Oktober 1789. Ketua-ketua agama Kristian mengadakan satu perhimpunan agung dan mengambil keputusan mengharuskan perbuatan riba.
Riba mula dikembangkan ke seluruh dunia. Dengan sumber keuangan yang kukuh dan tipu daya Yahudi, mereka telah dapat memaksa pembesar negara asing untuk menerima sistem riba. Hanya dipelopori oleh Ruthsolet yang mempunyai 5 orang anak, yang giat rnenjalankan kegiatan yang berunsurkan riba ke seluruh dunia. Seorang anaknya diarah ke Jerman, seorang di England, seorang di Perancis, seorang di Itali dan seorang lagi mengelilingi dunia. Mereka membuka bank-bank yang berasaskan riba.
Konsep Bunga di Kalangan Kristen Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan: “Dan jika kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan muncul berbagai tafsir dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mengambil bunga bank. Berbagai pandangan pemuka agama Kristen dikelompokkan menjadi tiga periode.
a. Periode pertama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I – XII) Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga bank kepada Kitab Perjanjian Lama. St. Basil (329 – 379) menganggap mereka yang memakan bunga bank sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan. Mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Diibaratkan seperti orang yang mengumpulkan emas dan kekayaan dari kesusahan orang miskin. St. Gregory dari Nyssa (335 – 395) mengutuk praktek bunga. Menurutnya pertolongan melalui pinjaman denga mengambil bunga adalah pertolongan palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 – 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury (1033 – 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga adalah perbuatan yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad). Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut: Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung. Dalam Injil ayat 24 dan 25 fasal 6 (lnjil Luqa) menyebutkan bahwa “Hendaklah kamu membuat kebajikan, berilah hutang, jangan mengharap pulangan yang lebih, itu adalah pahala yang banyak.” Para Paderi dan Ketua Gereja sependapat bahawa ia merupakan satu pengharaman yang total terhadap perbuatan riba. Ketua Gereja Kristian bermahzab Yaswi (fahama liberal) tetap tegas dalam masalah riba.
b. Periode kedua, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang menghendaki bunga bank diperbolehkan. Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok. Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut: Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.
c. Periode ketiga, pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menghendaki agama Kristen menghalalkan bunga bank.
Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI – Tahun 1836) telah mengubah pandangan baru tentang bunga bank. Para reformis tersebut antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 – 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531). Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga bank antara lain: Dosa apabila bunga memberatkan. Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga bank diperbolehkan asal digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Dan, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.