Hardiwinoto.com- Muchtar Luthfi menyitir hadist berikut, “Tsamarotul aqli luzuumul haqqi”; Hasil (mengikuti) akal adalah komitmen pada kebenaran. (Ali bin Abi Thalib AS). Ia juga menyitir kata-kata Einstein sebagai berikut, “Science without religion is lame, raligion without science is blind”; Ilmu pengetahuan tanpa agama niscaya lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta. (Albert Einstein). Salah satu isu penting dalam diskursus Filsafat Agama adalah relasi agama dan rasio. Jika kita mengurut kronologi isu ini, akan didapati betapa para rohaniawan Kristen pada Abad Pertengahan dalam mempertahankan dogma-dogma agama yang banyak tidak sesuai dengan interpretasi akal dan ilmu pengetahuan[1]. Sehingga beberapa pemikiran para intelektual yang ingin mengkritisi dogma-dogma tersebut, ataupun usaha-usaha meng-islah-kan ajaran agama dengan rasio. Tersusunlah apa yang disebut dengan “Teologi Baru” (new theology) sebagai satu usaha dalam rangka niatan tersebut.
Relasi agama dan rasio menyebabkan seorang kristian, Fulton J. Sheen, dalam karyanya “God and Intelligence in Modern Philosophy”, mengatakan: “Pengingkaran terhadap akal adalah pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas, sebagaimana pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas adalah pengingkaran terhadap akal; kedua hal tersebut tak mungkin terpisahkan”. Reaksi para teolog dan pemuka rohaniawan Kristen -dalam mempertahankan keyakinan mereka menghadapi tantangan tersebut- cukup beragam. Saat itu muncullah tiga bentuk reaksi[2]: Strong Rasionalism, yang meyakini bahwa rasio dan argumentasi pasti mampu menjelaskan segala ajaran agama secara benar. Willian K Clifford, Thomas Aquinas dan John Looke seringkali tampil sebagai tokoh-tokoh utama pemikiran ini.
Fideism, yang meyakini bahwa ajaran agama adalah doktrin yang tidak bisa disentuh oleh rasio manusia. Hal itu mengingat ajaran agama berada di luar daya dan kapasitas rasio. Paul Tillich, Martin Luther dan Sir. Anselm termasuk yang meyakini hal tersebut.
Critical Rasionalism, yang meyakini bahwa rasio mampu menjelaskan ajaran-ajaran agama, hanya saja kebenarannya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Thomas Morris, George Mavrodes dan penulis buku itu sendiri cenderung kepada pendapat ketiga ini.
Dari sini kita tahu, bahwa dalam tradisi Kristen seakan argumen rasional lebih ditekankan dalam rangka pembelaan atas ajaran agama (apologetic). Dengan kata lain, rasio dipergunakan untuk mencari pembenaran, bukan untuk mencari kebenaran. Pada kalangan umat Islam pun sudah ada tantangan dalam upaya mengkompromikan agama dan rasio, yang terkadang digelindingkan oleh beberapa pemikir yang selalu kritis dalam memperlakukan teks-teks agama yang dianggap tidak sesuai dengan alam pikiran mereka.
Islam sebagai agama pamungkas dan syariat terakhir yang diturunkan oleh Allah swt, serta Al-Quran sebagai kitab suci terakhir dituntut mampu dalam menjawab semua tantangan yang ada. Adakah ajaran Islam selaras dengan apa yang diserukan oleh akal budi manusia? Apakah Islam dengan berbagai teks agama yang dimilikinya mampu menjawab semua tantangan rasionalitas pemikiran? Jika jawabannya negatif, niscaya Islam akan kehilangan predikatnya sebagai agama terakhir yang idealnya mampu menjawab tantangan segala zaman. Akan tetapi jika jawabannya positif, maka akan banyak sekali bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut sebagai konsekuensi dari jawaban positif tadi.
Dari sekian banyak pertanyaan yang muncul dari isu tersebut ialah; apakah yang dimaksud dengan rasio? Adakah rasio bisa menjadi tolok ukur kebenaran ajaran agama? Bagaimana Islam menerima argumentasi rasional? Adakah ia sebatas sebagai apologetic sebagaimana yang digunakan dalam tradisi Kristen, atau memang sudah menjadi keseutuhan Islam? Sampai batas manakah rasio bisa menjadi dalil kebenaran? Bagaimanakah rasio manusia yang relatif ini bisa menjadi tolok ukur kebenaran? Bagaimana metode islah dan penyelarasan antara rasio dan agama? Bagaimana jika ternyata ketimpangan antara rasio dan teks agama? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul dari isu itu.
Kita di sini akan mencoba menjawab secara ringkas pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar pemikiran Rasionalitas Agama. Sebelum kita masuk pada intinya, terlebih dahulu kita telaah secara singkat beberapa hal di bawah ini yang sekaligus sebagai prolog pembahasan kita kali ini:
Pertama, dalam kehidupan kita sehari-hari bisa dipastikan, bahwa apapun yang biasa dicerna oleh pikiran kita –lepas dari benar salahnya hal-hal tersebut- tidak akan keluar dari tiga kemungkinan berikut ini:
1. Rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita –dengan arti umum- dan sesuai dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.[3]
2. Irasional; segala sesuatu yang tidak sesuai dengan realita dan tidak sesuai pula dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.
3. Supra-rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita akan tetapi penerapan logika manusia dalam menetapkannya masih belum didapat. Dengan kata lain bahwa hal tersebut bukan berarti masuk kategori tidak masuk akal (irrasional) akan tetapi dikarenakan keterbatasan akal maka ia belum mampu –atau bahkan tidak mampu karena hal-hal yang akan kita jelaskan nanti- untuk menjangkaunya secara argumentatif dan tidak menutup kemungkinan suatu saat kelak akal mampu menganalisanya dengan argumen yang logis sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ilmu logika.
Kedua, sudah menjadi kesepakatan semua kelompok kaum muslimin bahwa ajaran syariat Islam[4] bertumpu pada dua[5] pilar:
1. Ushuluddin; dari segi bahasa ushul kata jamak dari asl yang berarti asas, sedang din berarti agama, oleh karenanya ushuluddin berarti asas-asas agama. Ajaran agama-agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) sepakat bahwa ada tiga asas pokok yang dimiliki oleh agama Allah yang mencakup Ketuhanan, Kenabian dan Hari Kebangkitan.
2. Furu’uddin; dari sisi bahasa furu’ kata jamak dari far’ yang berarti cabang, oleh karenanya furu’uddin berarti cabang-cabang agama. Cabang-cabang agama ini mencakup urutan tata cara ibadah yang biasa disebut dengan syariat.[6] Syariat dalam makna ini mencakup ritualitas (ibadat), transaksi (muamalat) dan hukum jinayat.
Ketiga, Ajaran-ajaran agama Islam yang tercantum dalam al-Qur’an maupun hadis-hadis saheh tidak lepas dari dua bentuk penyampaian:
a- Deskriptif; ajaran yang disampaikan dengan bentuk ini berpotensi untuk dilakukan pembuktian akan benar-salahnya suatu ajaran. Dikarenakan ajaran melalui proses penyampaian deskriptif (jumlah-ikhbariah) merupakan usaha untuk membangun kerangka pengetahuan sehingga dalam pembuktiannya bisa melalui argumen-argumen logika.
b- Normatif; ajaran yang disampaikan melalui bentuk normatif (jumlah-insya’iah) ini tidak memiliki potensi untuk diadakannya suatu pembuktian salah-benar suatu ajaran. Dikarenakan ajaran melalui proses tersebut tidak berfungsi untuk membangun suatu kerangka pengetahuan maka argumen dalam menetapkan benar-salah tidak berfungsi disini, kalaulah akan diadakan suatu penelitian maka hanya berkisar tentang sebab (baca:Hikmah[1]) dibalik perintah atau larangan tersebut.
Setelah kita mengetahui sekilas hal-hal diatas marilah kita tengok pendapat kelompok-kelompok Islam dalam menghukumi peranan argumen rasional pada ajaran agama.