Kenichi Omahe (1995) dalam buku The End of Nation-State, dirujuk oleh Wibowo (2018) dalam buku Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, mengungkapkan bahwa nation-state (negara-bangsa) telah berakhir. Nation-state menjadi “fosil” abad 18. Peran negara menghilang bersamaan dengan serangan ekonomi global. Wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu ketika ingin menolong rakyatnya, dapat menghancurkan ekonomi negara. Ketika rakyat perlu subsidi, negara tidak mampu memberikan. Namun demikian, kematian negara-bangsa justru disambut gembira oleh korporate global. Negara dan korporat terbalut menuju arah globalisasi. Di era globalisasi korporat dapat menghilangkan eksistensi negara. Negara terkesan menjadi centeng bayaran oleh korporat global (Wibowo, 2018).
Peran negara mulai digeser oleh aktor global diantaranya, IMF, World Bank, WTO, atau Multy Nasional Corporate. Negara dan korporat terkesan saling menjalin simbiosis mutualistis, namun sejatinya posisi negara semakin dilemahkan oleh korporat. Paradoks, meskipun negara terkesan dilemahkan, namun ia justru melindungi korporat global daripada kepada rakyatnya. Negara menyediakan keamanan untuk korporate karena membayar untuk negara atau oknum negara. Negara sekedar menjadi satpam atau centeng yang berpihak pada korporate, mirip dengan executive committee (Karl Marx, 1943). Negara melupakan tugas utamanya yaitu menjaga kedaulatan nasional.
John Naisbit, dalam buku Global Paradox (1994), menulis bahwa “to a global power, the company must give more role to the smallest pant”. Kenichi Omahe (1990 dan 1995), dalam dua bukunya Borderless World and The End of Nation State menyatakan bahwa dalam masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam arti geografi dan politik relatif masih tetap, namun tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang berupa informasi, investasi, dan konsumen. Negara-negara kapitalis, selalu berusaha mempertahankan eksistensi ekonomi dengan memperdaya negara-negara berkembang melalui isu globalisasi. Anehnya, kapitalisme itu tumbuh dari dalam yang menggerogoti negaranya sendiri.
Tahun 1970, Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi, yang disebut Komite Empat. Salah satu anggota adalah Wilopo (Perdana Menteri Indonesia ke-7 dengan nama Kabinet Wilopo, Ketua Dewan Konstituante 1955-1959) memperingatkan dengan mengatakan, “Awas ada bahaya, Indonesia sedang terancam oleh Trio Persekongkolan, yaitu antara cukong, pejabat korup dan petualang politik”. Peringatan tentang kondisi Indonesia yang sedang terbelit oleh persekongkolan antara cukong, pejabat korup dan petulang politik. Kemudian, gerakan reformasi yang melengserkan Presiden Soeharto tahun 1998, memiliki peran ikut memperlemah peran negara. Sistem dan tatanan bernegara menjadi hancur. Melemahnya peran negara terbentuk sistem dan bangunan sosial yang baru, lahirnya kekuatan civil society. Reformasi bergerak tanpa pedoman nilai-nilai, sistem dan kepemimpinan yang kuat. kondisi yang diangankan oleh para reformer keluar dari proyeksi teoritis mereka. Bangunan dan susunan sosial yang terbentuk menjadi “oligarki parasit” masuk ke dalam sel-sel kehidupan sosial dan politik, juga terbentuk oleh persekongkolan cukong, pejabat korup dan petualang politik (Haris Rusly, Petisi 28, 2016).
Yoshira Kunio (1990) dalam bukunya Kapitalisme Semu Asia Tenggara, menjelaskan bahwa telah tumbuh kapitalisme semu di Asia Tenggara, yaitu Bisnis sekedar mengerjakan proyek-proyek pemerintah dengan cara korupsi dan merusak sumberdaya alam. Berbisnis sangat bergantung dari proyek pemerintah. Bekerja sebagai cukong, terus membina para pejabat pemerintah dan penegak hukum menjadi centeng untuk mengamankan proyek-proyek penguasaan tanah dan sumber daya alam. Kapitalisme semu boleh juga disebut “kapitalis cukong”. Di era demokrasi liberal yang berbiaya mahal, para cukong berkuasa menentukan pemenang setiap Pilpres, Pileg, dan Pilkada. Mereka mampu membangun opini, karena mampu membiayai media pemberitaan. Bahkan mereka mampu menjadi faktor penentu siapa yang akan menjadi menteri, kepala badan, Dirjend dan bahkan kapolri.
***
Siapakah Cukong? Istilah cukong diserap dari bahasa Hokkian atau Mandarin, zhugong artinya pemilik atau bos. Di zaman Samkok, para Jenderal dan menteri memanggil dan menyebut kaisar atau pemimpin mereka dengan kata zhugong (pemilik jiwa). Dalam bahasa Indonesia menjadi Cukong, artinya bos besar. Tidak ada konotasi negatif, namun karena cukong sering digunakan untuk melambangkan para bos-bos besar Tionghoa yang biasanya melakukan KKN dengan aparat berwenang, maka istilah cukong kemudian diliputi dengan makna negatif.
Reformasi terus mengalir, negara-negara maju antara lain, AS dan China melalui funding atau nyukongi disetiap pencalonan bakal pemegang kekuasaan baik daerah maupun pusat. Mereka membeli para pejabat dan petualang politik untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 serta perubahan terhadap sejumlah UU untuk mendukung pasar bebas. Para developer, pengembang wilayah dan kota sebagai cukong mampu mengubah-ubah RTRW dan menjadi blandar di setiap ada pemilu baik daerah maupun pusat berusaha mremenangkan bakal penguasa. Patut diwaspadai, bahwa peringatan Wilopo adalah benar.
***
Sikap dan pemahaman atas wawasan nusantara sebagai pola pikir, sikap dan tindak tidak sebatas pemahaman teritory. Jika dikatakan tahun 2030 negara kita bisa hancur, jangan dipahami sebagai sikap pesimis, tetapi warning kehati-hatian. Maka dari itu asumsi-asumsi yang diramalkan akan menghancurkan negara kita oleh begundal, pengkianat bangsa perlu ditiadakan. Artinya realitas buruk yang menjadi asumsi kehancuran negara perlu dilenyapkan. Negara kita adalah milik kita bukan milik mereka. Negara bisa hancur beneran atau digantikan kepemilikannya jika pemerintah tidak mampu menjaga kedaulatan ekonomi tetapi justru menjadi agen corporate atau centeng cukong asing.
Hardiwinoto, 2018, Stabilitas, Edisi Mei-Juni
1 Comment