Pemberontakan Trunajaya

pemberontakan trunajaya

Hardiwinoto.com-Ketidakpuasan terhadap Sunan Amangkurat I dirasakan oleh Raden Mas Rahmat. Namun, Raden Mas Rahmat tidak berana memberontak secara terang terangan. Diam-diam Raden Mas Rahmat meminta bantuan Panembahan Rama yang merupakan ulama dan termasuk kerabat istana Mataram. Panembahan Rama kemudian memperkenalkan putra mantunya, yakni Trunajaya (putra Raden demang Melayakusuma) sebagai alat pemberontakan Raden Mas Rahmat.

Trunajaya membentuk pasukan orang-orang Madura yang tidak menyukai kekuasaan Mataram dengan cepat. Pemberontakan Trunajaya diawali dengan penculikan Cakraningrat II yang kemudian diasingkan ke Lodaya, Kediri. Pada tahun 1674, Trunajaya yang berhasil merebut kekuasaan di Madura itu kemudian memproklamasikan diri sebagai raja merdeka di Madura Barat dan mensejajarkan dirinya dengan penguasa Mataram. Pemberontakan tersebut diperkirakan mendapat dukungan dari rakyat Madura, karena Cakraningrat II dianggap telah mengabaikan pemerintah.

Pasukan Madura dibawah komando Trunajaya kemudian bekerja sama dengan Karaeng Galengsong, pemimpin kelompok pelarian warga Makasar pendukung Sultan Hasanudin yang dikalahkan VOC. Karaeng Galengsong setuju mendukung Trunajaya untuk memberontak kekuasaan Sunan Amangkurat I yang bekerjasama dengan VOC. Bahkan Trunajaya menikahkan putrinya dengan putra Karaeng Galengsong untuk mempererat hubungan mereka. Selain itu, Trunajaya juga mendapatkan dukungan dari Panembahan Ageng Giri dari Giri Kedaton yang juga tidak menyukai Sunan Amangkurat I karena tindakannya terhadap para ulama kurang baik.

Dibawah komando Trunajaya, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makasar, Giri Kedaton berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunajaya dan Raden Mas Rahmat. Perselisihan muncul dikarenakan Trunajaya tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Raden Mas Rahmat. Sehingga Raden Mas Rahmat berbalik pihak kepada Amangkurat I pada bulan Oktober 1676.

Meskipun Raden Mas Rahmat telah berpihak kepada Sunan Amangkurat I, namun Trunajaya berhasil menyerbu ibu kota Mataram yang berada di Plered. Karena tidak kuasa menghadapi pasukan Trunajaya, Amangkurat I melarikan diri dari keraton dan menyingkir ke arah barat. Sunan Amangkurat I akhirnya meninggal di Wanayasa dan dimakamkan di Tegal Arum.

Sepeninggal Amangkurat I, Raden Mas Rahmat menobatkan diri sebagai raja bergeral Amangkurat II dan menandatangani perjanjian persekutuan dengan VOC untuk menumpas pemberontakan Trunajaya. Perjanjian tersebut dikenal dengan perjanjian Jepara pada bulan September 1677, yang isinya Sunan Amangkurat II harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC berhasil ikut memadamkamkan pemberontakan Trunajaya.

Trunajaya yang bergelar Panembahan Maderetna sesudah menaklukan Mataram tersebut menolak tawaran perdamaian dengan VOC. Karena perdamaian itu ditolak, maka VOC dibawah komando Gubernur Jendral Cornelis Spelman memusatkan kekuatannya untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya. VOC mengerahkan pasukan Bugis di laut dan di bawah komando Aru Palakka dari Bone untuk melawan pasukan Karaeng Galengsong dan mengerahkan pasukan Maluku dibawah komando Kapiten Jonker untuk melakukan serangan darat bersama pasukan Amangkurat II.

Pada bulan April 1677, Gubernur Jendral Cornelis Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya yaitu Giri Kedaton dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan yang berkekuatan sekitar 1.500 orang itu berhasil mendesak Trunajaya, sehingga dapat dikalahkan VOC. Trunajaya berhasil dikepung dan menyerah di lereng gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Trunajaya diserahkan kepada Amangkurat II oleh Kapiten Jonker. Pada tanggal 2 Januari 1680, Trunajaya dijatuhi hukuman mati.

Dengan padamnya pemberontakan Trunajaya, Amangkurat II memindahkan istana dari Plered ke Kartasura. Karena berhutang biaya peperangan yang besar kepada VOC, Amangkurat II menyerahkan kota-kota di pesisir utara Jawa.

sumber:

Achmad, Sri Wintala, 2017, Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa, Araska Publiher, Yogyakarta.

Hardiwinoto Muchtar

Hardiwinoto adalah seorang peneliti ekonomi, dosen, kolomnis, dan pegiat sosial. Kegiatan yang dilakukan terkait dengan koleksi buku-buku ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sastra dan sejarah.

Artikel Menarik Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *