http://hardiwinoto.com-Polemik persoalan tanah ramai lagi. Bahkan sampai terjadi ancam mengancam. Para elit wadanan (saling membuka aib). Hal pokok yang dipersoalkan adalah sertifikat tanah. Tanah sebagai faktor produksi utama dikuasai secara tidak merata. AR ingin mengingatkan pemerintah tentang kesenjangan yang terjadi dalam penguasaan tanah. Sementara itu LBP ingin membersihkan opini tentang kesenjangan penguasaan tanah.
Detik.com dan CNN Indonesia merilis bahwa pemerintah membiarkan jutaan hektar tanah milik negara dikuasai oleh pengusaha. ada perusahaan yang memiliki tanah lima juta hektar. Pemerintah seharusnya dapat mengembalikan tanah-tanah milik negara yang dikuasai para pengusaha. Lima juta hektar tanah yang dimiliki satu orang tersebut, boleh diambil kembali sebagian oleh negara, dan dibagi kepada kelompok miskin (kata Hafid Abas saat diskusi mengenai kasus penggusuran DKI Jakarta, di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2016).
Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, Hafid Abas menyebutkan bahwa sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk. Termasuk penguasaan lahan lima juta hektar oleh taipan yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya pertama di Indonesia. Idealnya distribusi tanah mengikuti formula satu juta untuk orang kaya, dua juta untuk kelas menengah, dan tiga juta untuk masyarakat miskin.
Kasus demikian menunjukkan bahwa negara telah dimiliki sekelompok kecil penduduk. Pengalaman di Afrika Selatan, 5 persen penduduk kulit putih menguasai 50 persen tanah, negara bisa bubar. Kini, di kita 0,2 persen penduduk menguasai 74 persen tanah. Kesenjanagan kepemilikan lahan terjadi paling ekstrim di dunia. Luas pulau Jawa 13 juta Ha, jika 5 juta Ha artinya hampir separuh pulau Jawa dikuasai oleh 0,2 % penduduk bukan pribumi.
Kesenjangan penguasaan lahan terjadi sejak orde, ketika pemerintah memberi kesempatan kepada mitra bisnis atau kroninya. Istilah ekstrimnya republik ini sudah bukan milik pribumi. Pancasila dan UUD 1945 sebagai payung NKRI sekarang sekedar menjadi retorika pembicaraan. Kesenjangan penguasaan lahan antara pribumi dan non yang sangat dapat menjadi pemicu terjadi konflik horinzontal dan vertikal.
The World Bank, Justice for The Poor Project, Keadilan Tak bisa Menunggu, Studi Kasus Masyarakat Desa Mendorong Tegaknya Keadilan, 2006) mengisahkan bahwa di Lampung, era 80-an, kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi melalui program transmigrasi dan maraknya perusahaan masuk dengan mendapat prvilese mengenai lahan usaha, tidak memberi kesempatan yang selayaknya bagi masyarakat pribumi (penduduk asli lampung). Akibatnya terjadi beberapa kasus sengketa tanah antar kelompok masyarakat, antara masyarakat dengan perusahaan, dan antara masyarakat dan pemerintah khususnya dengan Dinas Kehutanan.
Data statistik dari tim asistensi Gubernur memperlihatkan bahwa selama 2000-2002, di Lampung sebanyak 333 kasus tanah. 261 kasus telah diselesaikan, dan 72 belum terselesaikan. Kasus sengketa tanah menyedot perhatian akibat adanya tindak kekerasan, baik dilakukan oleh aparat pemerintah/militer maupun oleh kelompok masyarakat sendiri. Sengeketa tanah tersebut jarang tampak karena pemerintah dan perusahaan kerap menggunakan aparat militer dan kepolisian memakai pendekatan kekerasan seperti penangkapan ilegal, pembakaran dan penjarahan rumah penduduk serta penggusuran wilayah.
Pernah terjadi kasus bahwa lahan perkebunan dirampas di depan mata terjadi pada warga Hanau Berak, Lampung oleh PT. MMF (Masari Multi Fruity). Pemilik lahan sampai mengalami depresi dan gila. Sejak tahun 1980-an telah ditinggalkan oleh PT. Cargo yang habis Hak Guna Usahanya, dikelola oleh warga sekitar dengan tanaman kebun seperti kopi, cengkeh, pisang dan durian. Menjelang panen pertama “bunga kopi sangat bagusdan harga saat itupun tinggi sekitar 17.000,- per kg, kenang seorang warga Hanau Berak, pembebasan lahan oleh PT MMF sekitar 1997 dilakukan. Terjadilah konflik dengan warga.
Terjadilah selisih pengakuan, PT. MMF mengaku memperoleh surat ijin dan melakukan pembebasan lahan secara langsung tanpa perantara dan dengan harga pantas. Namun warga mengaku bahwa perusahaan meminjam tangan aparat kepolisian dan kecamatan setempat untuk melakukan berbagai manipulasi dan intimidasi. Terungkap bahwa proses pembayaran gantirugi seringkali dengan memalsukan tandatangan warga penggarap serta dengan harga yang sangat murah.
Dorongan warga untuk kembali ke lahan yang dulu dibebaskan secara paksa kembali muncul sejak akhir tahun 1999. Menyusul ditelantarkannya lahan oleh PT MMF akibat gempuran krisis ekonomi, hampir 100 warga kembali mengolah tanaman yang pernah mereka tanam. Sengekta antar perusahaan dengan warga masih sering terjadi. April 1998 dapat disaksikan penggalan tiang kayu hitam karena hangus terbakar sebagai bukti terjadi kekerasan. Dinas kehutanan Propinsi Lampung melakukan “operasi senyum”, yaitu ingin mengembalikan fungsi lahan di register 19 menjadi wilayah hutang lindung dengan melakukan pembersihan pemukiman warga yang menempati lahan tersebut. Meski bernama Operasi senyum, namun tidak seorangpun polisi hutan dan aparat militer tersenyum. Yang terjadi justru kedatangan mereka secara mendadak meminta warga angkat kaki meninggalkan wilayah tersebut. Tidak ada negosiasi.
Pengusiran diikuti dengan tindakan pembakaran rumah tinggal penduduk. Hanya tempat ibadah sederhana yang berhasil selamat dari pembakaran. Sementara warga segera lari mengungsi ke rumah-rumah penduduk sekitarnya, dan sebagian yang lain bermalam di hutan. Sengketa lahan register 19 Dinas Kehutanan berjalan panjang.
***
Kini era reformasi, tercium sangat nyata masih aroma orde baru. Meminjam aparat penguasa seakan menjadi agen kapitalis. Bisa jadi jika tidak diperjuangkan kembali, pribumi justru mengais diluar pagar tanah milik asing. Tanah, dulu atau kini dianggap sangat berharga yang patut untuk diperjuangkan, sadumuk bathuk sa nayri bumi, toh nyawa dilakoni.
Hardiwinoto. Stabilitas. Edisi 141. Maret-April 2018.