Peran partai politik (Parpol) adalah sangat mulia. Dimana kemuliaan Parpol berada? Yaitu bagaimana menentukan cara memilih pemimpin bangsa dan sekaligus menciptakan kebijaksanaan. Jika demikian Parpol adalah wahana para bijak menyusun “ayat-ayat” kebijaksanaan. Namun biaya politik sangat tinggi. Inilah konsekuensi dari sistem yang diadopsi, yaitu bernama demokrasi. Proses politik membutuhkan dana sangat besar. Dana untuk membangun citra, mengenalkan calon, sewa kendaraan partai, membujuk pemilih, memperkenalkan “ayat-ayat”nya, hingga menggerakkan mesin partai.
Masuk dalam sistem politik membutuhkan modal besar, tidak cukup ketokohan saja. Akal rakyat pun sudah terlanjur terformat menjadi pragmatis. Menyukai money politic. Pusaran sistem politik berada pada pemilik kapital. Dari sinilah sistem politik mulai dikelola seperti halnya perusahaan dalam industri.
Apa itu industri? Industri adalah kegiatan mengolah bahan baku menjadi barang setengah jadi atau jadi (UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian). Dalam arti luas, industri adalah kegiatan yang bersifat produktif dan komersial. Kata industri berasal dari bahasa Francis yaitu “industrie” dan dalam bahasa latin yaitu “industria” yang berarti aktivitas. Sedangkan industrialisasi adalah semua aktivitas yang menghasilkan atau komersialisasi produk bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Dalam istilah ekonomi diartikan sebagai himpunan perusahaan sejenis. Kata industri dirangkai dengan kata yang menerangkan jenis industrinya (industri obat-obatan, industri garmen, industri perkayuan, industri perbankan, bahkan industri pendidikan, dan industri jasa umrah dan haji.
Industrialisasi Partai Politik
Kini, istilah industri Parpol masih aneh. Deideologisasi partai, itulah awal mulanya. Parpol sudah hampir tidak memiliki muatan ideologi. Hal demikian sangat nampak terlihat dari proses rekrutmen dan koalisi pragmatis yang dilakukan. Partai seperti industri atau perusahaan yang memproduksi jasa di tengah pasar demokrasi. Industri politik memproduksi kata-kata, janji-janji dan opini-opini, dengan harapan memperoleh keuntungan material. Bukan arena perjuangan ideologi. Kalau toh menyinggung soal ideologi, sekedar cara marketing pada segmen pasar tertentu. Terkesan lamis.
Investor Parpol sebagaimana makna kata industri pada umumnya, Parpol melakukan kapitalisasi. Ada “owner” atau “investor” atau “pemegang saham”. Pertautan antara investor dan operator sebagaimana perusahaan, Parpol juga menciptakan “produk” yang kemudian dijual untuk mendapatkan “laba”. Parpol memproduksi jasa rekrumen, kata-kata, opini, dan mungkin jasa koneksitas proyek. Maka muncul istilah pekerja partai.
Jika politisi tidak memiliki kapital, mereka membutuhkan cukong atau pemodal. Lahirlah kolaborasi kapitalisme atau industrialisasi antara pemodal dengan politisi. Cukong sebagai pemodal atau investor menanamkan modalnya dengan harapan “laba”. “Tidak ada makan siang yang gratis”, itulah dalilnya. Investasi politik membuka “jalan” kapitalisasi Parpol.
Jika demikian maka money politic bukan sebuah pengorbanan atau infak atau kedermawanan, melainkan investasi. Atau transaksi kulakan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Wajar jika biaya politik yang tinggi dapat diduga menjadi salah satu penyebab korupsi oleh politisi politisi atau menjadikan Parpol sebagai mediasi proyek. Biaya investasi yang dikeluarkan harus kembali dengan segala cara ditempuh, selain korupsi oleh para politisi, Parpol adalah kumpulan para makelar jabatan atau proposal pencairan dana pembangunan dari APBN. Terutama politisi yang memiliki pengaruh terhadap penentuan jabatan dan anggaran.
Kolaborasi antara investor dan politisi dalam industrialisasi di pasar demokrasi berakibat terabaikan kepentingan rakyat. Rakyat sekedar menjadi pangsa pasar jualan komoditi politik. Istilah muncul adalah “mahar politik”. Parpol sebagaimana perusahan, cerobong asapnya terlihat mengepul hitam berita berita negatif. Parpol memproduksi kata-kata, opini, asumsi, harapan-harapan, sebagaimana perusahaan, dapat dijual di pasar rakyat bernama demokrasi. Jika partai ada yang terkesan agamis, nasionalis, populis, atau merakyat, itu sekedar segmentasi penjualan produk-produk Parpol. Di pasar demokrasi, Parpol akan mendapatkan rente atau mahar atau administration fee atau biaya ngojek di setiap pencalonan.
Parpol dikelola secara pragmatis tanpa ideologi dan militansi. Parpol tak pernah intervensi pasar, tetapi terhanyut oleh pasar. Koalisi hanyalah segmentasi hendak oligopoli karena tidak mungkin memonopoli pasar. Industrialisasi Parpol menggendong prinsip ekonomi dan bertindak rasional. Kata rasional mengandung arti bahwa melakukan kegiatan selalu bersifat ekonomis berbasis cost and benefit, yaitu selalu memperhitungkan prediksi biaya dan keuntungan. Pengklasifikasisn industrisasi parpol tidak berdasar ideologi namun berdasar pada permodalan, produk, cara berproduksi, pangsa pasar, dan model bertransaksi. Parpol menjadi bagian dari khasanah atau keanekaragaman industri untuk memenuhi kebutuhan pasar demokrasi yang harus dipenuhi.
Kapan Muncul Partai Berbasis Ideologi?
Pertanyaan muncul ketika masyarakat sudah jengah dengan prilaku partai yang terkesan sebagai industri pencetak uang. Wajar jika ada kerinduan lagi partai mengusung ideologi kemanusiaan, nasionalisme atau religi. Jika demikian maka partai akan cenderung melakukan pengkaderan untuk menjadi manusia pemimpin bangsa yang bersih menjadi taruhan. Partai adalah alat perjuangan bukan perusahaan yang akan menghasilkan uang. Tempat orang mencari kerja. Kerinduan akan munculnya partai sebagai alat perjuangan akan muncul. Pertanyaan menggelayut “kapan muncul partai berbasis ideologi?”
Kerinduan lahirnya partai bebasis ideologi memerlukan bukti, bukan sekedar mantra. Yaitu Parpol kembali kepada pekerjaan mulia. Kemuliaan Parpol yaitu bagaimana menentukan cara memilih pemimpin bangsa dan sekaligus menyusun “ayat-ayat” kebijaksanaan. Dan para politisi adalah menjalankan “ayat-ayat” kebijaksanaan tersebut. Melekat prilaku dengat “ayat-ayat” yang disusunnya. Produk Parpol adalah perbuatan mulia.
Hardiwinoto. 2018. Industrialisasi Partai Politik. Stabiitas. Edisi 146. Agustus-September.
2 Comments