HAWALAH
I. PENGERTIAN
Pengertian Hawalah secara etimologi, berarti pengalihan, pemindahan, perubahan warna kulit, memikul sesuatu di atas pundak.
II. PENDAPAT ULAMA
Sedangkan secara terminologi menurut Hanafiyah, yang dimaksud dengan hawalah adalah pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (al-muhal’alaih). Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, hawalah adalah pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa hawalah adalah akad pengalihan hutang atau piutang dari pihak yang berhutang atau berpiutang kepada pihak lain yang wajib menanggung atau menerimanya.
III. DASAR HUKUM HAWALAH
a. Al Hadist.
Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah (HR. Bukhari).
b. Ijma Ulama
Para ulama sepakat (ijma) atas kebolehan akad hawalah/ hiwalah. Menurut pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az-Zahiriyah, hukumnya wajib bagi muhal menerima hiwalah berdasarkan perintah pada hadits tersebut. Sedangkan menurut jumhur ulama perintah pada hadist tersebut untuk menerima hiwalah hukumnya sunnah, bukan wajib, sebab mungkin saja muhal’alaih sulit ekonomi atau sulit membayar hutang, maka dalam hal ini ia tidak wajib menerima hawalah, bahkan hukumnya bukan sunnah.
c. Kaidah Fiqih
Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Artinya: Bahaya (beban berat) harus dihilangkan
d. Fatwa DSN – MUI
Sebagai dasar akad Hawalah Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa sebagai berikut :
a. Fatwa DSN-MUI No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah
b. Fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah
c. Fatwa DSN-MUI No. 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah
IV. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT DALAM HAWALAH
Menurut mazhab Hanafi, rukun hawalah hanya ijab (pernyataan melakukan hawalah) dari pihak pertama dan kabul (pernyataan menerima hawalah) dari pihak kedua dan ketiga. Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari mazhab Maliki, Hanbali, dan Syari’i, rukun hawalah ada enam, yaitu:
1) Pihak pertama adalah pihak yang berhutang dan berpiutang (muhil)
2) Pihak kedua adalah pihak yang berpiutang disebut sebagai (muhal)
3) Pihak ketiga adalah pihak yang berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada muhil disebut sebagai (muhal‘alaih)
4) Hutang muhil kepada muhal (muhal bih 1)
5) Hutang muhal’alaih kepada muhil (muhal bih 2)
6) Ijab qabul (sighat)
Syarat bagi pihak pertama (muhil):
1) Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal. Hawalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak meskipun aia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang yang gila.
2) Ada pernyataan persetujuan (ridha).
Syarat bagi pihak kedua (muhal):
1) Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal, sebagaimana pihak pertama (muhil)
2) Mazhab Hanafi, sebagian besar mazhab Maliki dan Syafi’i mensyaratkan ada persetujuan pihak kedua (muhal) terhadap pihak pertama (muhil) yang melakukan hawalah. Mazhab Hambali tidak menetapkan persyaratan itu kepada pihak kedua (muhal) karena mereka berpendapat bahwa kalimat perintah pada hadis tersebut menunjukkan bahwa hawalah itu wajib, sehingga tidak diperlukan persetujuan dari pihak kedua (muhal) dan pihak ketiga (muhal ‘alaih).
V. JENIS HAWALAH
Hawalah dapat di bagi menjadi beberapa jenis yang diantaranya yaitu:
1) Hawalah haq (pemindahan hak) terjadi apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut uang atau dengan kata lain pemindahan piutang.
2) Hawalah dayn (pemindahan hutang) terjadi jika yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang.
3) Hawalah muqayyadah (pemindahan bersyarat) adalah pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal).
4) Hawalah mutlaqah (pemindahan mutlak) adalah pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti pembayaran hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal).
VI. BERAKHIRNYA HAWALAH
Akan hawalah akan berakhir apabila terdapat hal-hal sebagai berikut :
a) Salah satu pihak yang melakukan akan itu memfasakh (membatalkan) akad hawalah
b) Pihak ketiga (muhal ‘alaih) melunasi hutang yang dialihkan itu pada pihak kedua (muhal).
c) Apabila pihak kedua (muhal) wafat, sedangkan pihak ketiga (muhal ‘alaih) merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua (muhal).
d) Pihak kedua (muhal) menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hawalah itu kepada pihak ketiga (muhal ‘alaih).
e) Pihak kedua (muhal) membebaskan pihak ketiga (muhal ‘alaih) dari kewajibannya untuk membayar hutang yang dialihkan itu.
f) Hak pihak kedua (muhal) menurut mazhab Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena attawa yaitu pihak ketiga (muhal ‘alaih) mengalami muflis (bangkrut) atau wafat dalam keadaan muflis atau dalam keadaan tidak ada bukti otentik tentang akad hawalah, pihak ketiga (muhal ‘alaih) mengingkari itu.
g) mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, selama akad hawalah sudah berlaku tetap, karena syarat yang ditetapkan sudah dipenuhi maka akad hawalah tidak dapat berakhir karena at-tawa.
VII. PENERAPAN HAWALAH
Pada praktiknya akad hawalah umum diterapkan pada lembaga-lembaga keuangan yang diantaranya adalah pembiayaan pembiayaan factoring dan pembiayaan Letter of Credit untuk keperluan impor barang.
a) Penerapan hawalah pada pembiayaan Factoring
Pembiayaan factoring atau anjak piutang merupakan transaksi pembiayaan oleh suatu lembaga keuangan yang bertindak sebagai (Muhal Alaih) dengan cara mengambil alih piutang dari penjual/ pemberi jasa (Muhal) atas hutang pembeli / penerima jasa (Muhil).
1) Kontraktor (Muhil) berhutang kepada supplier material (Muhal) atas pembelian bahan-bahan bangunan.
2) Muhal mengalihkan piutangnya (atas hutang muhil) kepada lembaga pembiayaan syariah (Muhal Alaih) atas pengetahuan kontraktor (muhil)
3) Atas pengalihan ini lembaga keuangan syariah membayar sejumlah uang sebesar hutang muhil setelah dikurangi Ujrah.
4) Pada sa’at jatuh tempo hutang kontraktor (muhil) melakukan pembayaran kepada lembaga keuangan syariah (Muhal)
b) Penerapan hawalah pada pembiayaan L/C dalam rangka Impor
Pembiayaan dengan akad hawalah pada transaksi L/C dalam rangka impor, diawali dengan penerbitan L/C dengan akad wakalah atau kafalah dengan skema sebagai berikut: Akad hawalah dilakukan antara importer (muhil) dan bank syariah (muha ‘alaihl) untuk mengalihkan hutang importer kepada eksportir (muhal) menjadi hutang importer kepada bank syariah.