Hardiwinoto.com-Yang dianggap logis pun bisa “salah”. Kesalahan logika dipengaruhi oleh pertama, fallacy of composition, yaitu kesalahan penarikan kesimpulan, bahwa apa yang benar untuk sebagian dari sesuatu, lalu membenarkan keseluruhan tersebut. Misal, jika petani bekerja keras menanam padi akan menjadi kaya. Lalu berkesimpulan bahwa bekerja keras menanam padi dapat membuat petani menjadi kaya. Yang terjadi, semua petani menanam padi, penawaran padi melimpah, harga menurun dan pendapatan petani menurun. Dan justru petani tidak menjadi lebih makmur.
Kedua, post hoc ergo proper hoc, yaitu kesalahan penarikan kesimpulan dalam menentukan hubungan sebab akibat, bahwa setelah itu diartikan karena itu. Peristiwa yang terjadi sebelum peristiwa berikutnya disimpulkan sebagai penyebabnya. Contoh, suatu perusahaan setelah mengangkat manajer baru, meningkat volume penjualannya. Padahal jika diteliti sebenarnya meningkatnya volume penjualan disebabkan oleh naiknya pendapatan konsumen.
Ketiga, fallacy of analogies, yaitu kesalahan dalam mengambil analogi. Negara membutuhkan impor gandum untuk memenuhi kebutuhan gandum bagi rakyatnya. Dan ternyata rakyat terpenuhi kebutuhan gandumnya. Suatu ketika rakyat butuh beras maka perlu mengimpor beras. Negara lupa ternyata untuk memenuhi kebutuhan gandum dan beras tidak hanya dengan impor, melainkan perlu melakukan efisiensi di sektor pertanian.
Kebijakan ekonomi tentu harus menghindarkan berbagai kesalahan logika. Contoh, sekarang rame-rame memuji semaraknya pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan akselerasi pembangunan. Namun demikian ternyata tidak berdampak penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi (Stabilitas, Septermber-Oktober, 2017). Mungkin ada logika tersembunyi. Semaraknya pembangunan infrastruktur ternyata untuk melayani kepentingan asing yang berinvestasi di Indonesia. Termasuk logika reklamasi dan pembangunan Meikarta.
Peletakan dasar berfikir pengambilan keputusan sangat terkait logikanya. Logika dibangun atas dasar asumsi dan kepentingan. Logika tidak pernah netral, pasti memiliki pemihakan. Contoh, privatisasi BUMN didasari logika efisiensi dan mampu bersaing di tingkat global. Apa kepentingan tersembunyi dibalik logika privatisasi? Pemerintah pragmatis mencari dana segar untuk pembiayaan. Apa dampaknya? Negara kehilangan otoritas dalam mengatur aset-aset negara. Bahkan, negara bisa menjadi milik swasta asing. Ada kesalahan logika di sana, yaitu jika BUMN tidak efisien kenapa bukan dilakukan efisiensi, kenapa di jual?
Tiba-tiba pemerintah impor garam, karena informasi yang diterima adalah harga garam melonjak naik. Asumsinya jika impor garam dilakukan harga garam bisa menurun. Kepentingannya adalah supaya persediaan garam terpenuhi dengan harga terjangkau. Pengambil kebijakan yakin bahwa dengan mengimpor garam akan menyejahterakan rakyat. Netralkan logika tersebut? Jawabnya, memihak siapakah logika kebijakan tersebut. Tidak berhenti di garam, tetapi bisa beras, tenaga kerja, kontraktor, permodalan, bahkan senjata. Logika impor di atas tentu dibalut oleh kepentingan dan pemihakan.
Penarikan logika dengan menggunakan silogisme selalu benar. Yang salah adalah apakah premis atau asumsi yang dijadikan dasar benar atau tidak? Dengan asumsi bahwa masyarakat miskin karena mereka menganggur. Mereka menganggur karena tidak ada kesempatan kerja. Tidak ada kesempatan kerja karena investasi lesu. Kebijakan diambil, panggil investor asing. Ternyata masyarakat masih menganggur juga. Karena investor membawa expatriat (tenaga kerja asing bawaan investor asing). Yang salah asumsinya atau logikanya.
***
Kembali kepada konsepsi dasar ilmu ekonomi yaitu alat pemenuhan kebutuhan terbatas, untuk memenuhi kebutuhan yang tak terbatas. Konsepsi ekonomi juga tergantung asumsinya. Jika penduduk diasumsikan membawa tangan dan otak (kreatifitas), maka mereka sebagai faktor pengali. Semakin banyak penduduk semakin banyak hasil produksi. Sebaliknya, penduduk tidak kreatif maka mereka sebagai faktor pembagi. Semakin banyak penduduk semakin memperkecil hasil produksi. Jika logika ini digunakan maka pengambilan keputusan ekonomi adalah meningkatkan kreatifitas penduduk untuk menjadi faktor pengali, karena setiap penduduk adalah menciptakan produk.
Bagaimana dengan konsep kebutuhan? Data empiris membuktikan bahwa dalam satuan waktu seseorang berada terbatas satu ruang, duduk terbatas satu kursi, berteduh terbatas satu atap, berkendaraan terbatas satu kendaraan. Jika jumlah penduduk adalah faktor pengali, yaitu mereka mampu menciptakan penemuan baru, perluasan alternatif sumber pemenuhan kebutuhan sehingga melebihi kebutuhannya. Artinya sumber kebutuhan menjadi melimpah atau tak terbatas. Yang terjadi? Sumber pemenuhan kebutuhan menjadi langka, karena penduduk sebagai faktor pembagi, pemakan dan perusak.
Logika di atas terasa sangat ekstrim, karena melihat kenyataan bahwa sebagian penduduk mengonsumsi sumber pemenuhan kebutuhan dengan sangat rakus, sedang di pihak lain tidak kebagian. Populernya, disebut kesenjangan. Bukti bahwa ada pengangguran sumber pemenuhan kebutuhan (unemployment) yang berada di tempat tempat orang-orang super kaya, di lain pihak orak kumanan.
Jika penduduk sebagai faktor pengali, kebijakan yang diambil adalah penghargaan terhadap jumlah penduduk, bukan penggusuran, atau penistaan. Ekosistem alam semesta menjadi lestari. Sumber pemenuhan kebutuhan dapat diperbaharui, tidak keburu habis. Jika jumlah penduduk sebagai faktor pengali sumber pemenuhan kebutuhan mana yang akan habis? Namun kita undang orang asing untuk menjadi faktor pembagi di bumi pertiwi. Mereka ikut mengonsumsi dengan rakus sumber pemenuhan kebutuhan anak cucu ibu pertiwi.
Patut kita bertanya, dengan logika mana kalian memihak, ketika kita membangun logika. Pasti akan terungkap kepentingan apa yang kalian simpan.
Hardiwinoto, Stabilitas, Vol. 136, Okt-Nov 2017