Hardiwinoto.com-Riba tidak bisa didefinisikan hanya berdasar teks dalil tanpa melibatkan analisis tentang jenis uang yang digunakan untuk transaksi, alat tukar, dan alat bayar. Nilai mata uang mengalami perubahan waktu dari waktu ke waktu. Jika nilai uang dalam rentang waktu mengalami penurunan nilai, maka bunga bank yang dianggap sebagai tambahan atas pokok nilai nominal yang bertambah belum tentu menambah nilai riil uang tersebut. Riba memang diyakini haram tetapi bunga bunga bank belum tentu, karena alat tukar atau alat bayar mengalami penurunan nilai.
Hal demikian dapat diperhatikan ilustrasi hitungan berikut. Si A meminjam uang sebesar Rp. 1.000.000,- setara dengan beras 1 kwintal. Dalam jangka waktu satu tahun Si A mengembalikan hutangnya sebesar Rp. 1.300.000,-. Di pasaran beras sejenis seharga Rp. 13.000 per kilogram. Oleh karena itu Si A sama sekali tidak memberi tambahan atas pinjamannya. Karena uang Rp. 1.300.000,- sama dengan 1 kwintal beras. Artinya masih memeiliki nilai riil yang sama.
Secara umum masyarakat merespon bunga bank dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Bunga bank adalah riba sehingga hukumnya haram.
2. Bunga bank tidak sama dengan riba sehingga hukumnya halal dengan berbagai argumennya.
3. Bunga bank bisa halal bisa haram. Selama bunga bank tidak memberatkan salah satu pihak dalam transaksi hukumnya halal.
Sedangkan respon masyarakat merespon bank syariah juga berbagai berpendapat, yaitu:
1. Menyambut dengan sangat senang dan langsung bergabung dengan bank syarai’ah, karena dianggap yang mendekati kehalalan, yaitu ditunjukkan bahwa bank syari’ah tanpa menggunakan instrumen bunga. Kelompok ini termasuk kelompok fanatik terhadap bank syari’ah.
2. Menyambut biasa biasa saja, sambil menunggu dan melihat bagaimana operasionalnya lebih menguntungkan atau tidak. Kelompok ini termasuk kelompok rasional. Bank syari’ah hanya dianggap sebagai alternatif terhadap bank konvensional.
3. Menyambut dengan skeptis, sebagian justru menganggap bank kurang syari’ah. Karena beberapa produknya dianggap hanya sekedar mengubah nama. Kelompok ini termasuk kelompok kritis. Yang mampu membedakan antara prinsip keuangan syari’ah dengan produk keuangan syari’ah.
Masyarakat merespon bank syari’ah tidak sekedar karena respon terhadap bank yang diberi nama syari’ah melainkan respon karena religiusitas, bisnis, bisnis dan sikap kritis. Mereka mengkritisi bagaimana mekanisme antara bagi hasil dan bunga apakah dapat menjadi faktor pembeda, baik karena religiusitas, bisnis atau sikap kritisnya. Mereka mengkritisi apakah perbedaan tersebut dapat menjustifikasi dalam pengambilan keputusan untuk bergabung dengan bank syari’ah dalam pembiayaan. Hal ini jika mereka menganggap bahwa perbedaan antar keduanya antara ciri bank syari’ah dan konvensional signifikan.
Harapan masyarakat kepada bank syariah tidak hanya pada bank yang diberi nama bank syari’ah melainkan sikap kritisnya yaitu bagaimana teknis operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan syari’ah atau belum. Pertanyaan yang menggelayuti sebagian masyarakat yaitu kenapa bank syari’ah belum mampu melaksanakan operasi keuangan sesuai dengan syari’ah yang sesunggunhnya?
1. Perkembangan bank syariah di Indonesia selama kurang lebih 21 tahun dirasakan masih ada beberapa hal yang perlu dibangun atau diperbaiki. Bank syariah di Indonesia masih dalam proses membangun sistem perbankan sesuai dengan prinsip prinsip keuangan syari’ah. Sebagai industri, perbankan syari’ah baru dalam tahap infant industry. Bahkan boleh dikatakan belum sepenuhnya syari’ah.
2. Masyarakat masih menggunakan uang kertas (fiat money) dalam bertransaksi. Sedangkan uang kertas memiliki nilai yang berfluktuasi. Hal demikian, menunjukkan bahwa uang yang bertambah belum tentu nilainya bertambah, tetapi hanya nominalnya saja yang bertambah. Jika penggunaan uang digantikan oleh sistem uang emas, atau paling tidak adalah uang berstandar emas, meski alat transaksinya adalah uang kertas, sehingga nilai mata uang relatif stabil.
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam, beliau bersabda, “Riba itu ada tujuh puluh tiga pintu. Yang paling ringan seperti seseorang menzinai ibunya. Dan yang paling berat (seperti) merusak kehormatan seorang muslim” Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Hakim. Hadis itu benar karena alat transaksi waktu itu adalah uang emas. Hal ini bukan berarti menabung di bank konvensional haram mengambil bunganya. Kebolehan tersebut didasari oleh menurunnya nilai uang, dan uang tersebut diproduksi oleh bank tempat menabung.
Oleh karena itu respon terhadap bank konvensional dan syari’ah dianggap masih sama jika riba yang dimaksud adalah bunga bank dan di bank syari’ah juga mendapatkan tambahan meski berbunyi bagi hasil namun secara ziadah juga berarti tambahan. Oleh karena itu respon terhadap bank syari’ah sama dengan bank konvensional.