Hardiwinoto.com-Perbankan syari’ah sebagai mediator memiliki produk yang berbentuk pembiayaan dan pendanaan. Yaitu menyalurkan dana ke nasabah pembiayaan dan menerima pendanaan dari nasabah. Masyarakat yang kritis akan berkata bahwa perbedaan pembiayaan dan pendanaan pada bank syari’ah dan konvensional hanya sekedar nama produk, bukan substansi dan mekanismenya. Lebih dari 75 persen produk bank syari’ah dalam pembiayaan usaha di salurkan dengan akad murabahah. dan sebagian pendanaan bank syari’ah melalui wadi’ah.
Dana perbankan syari’ah disalurkan pada nasabah penghutang melalui pembiayaan dengan menggunakan akad murabahah, yang mana margin keuntungan yang diperoleh bank ditentukan oleh bank sebagaimana daftar angsuran dengan margin tertentu yang mirip dengan bunga. Hal ini juga sama dengan bank konvensional. Sedangkan dana yang diperoleh bank dari masyarakat penabung yang diakadkan dengan system wadi’ah mendapatkan bonus atau keuntungan yang diperoleh penabung ditentukan oleh pihak bank. Hal yang sama dengan penentuan bunga pada bank konvensional.
Ketika pendanaan bank syari’ah mengutamakan sumber dana dari akad wadi’ah dan ketika melakukan pembiayaan didominasi oleh akad murabahah. Kedua produk tersebut berpotensi untuk riba. Kenapa? Ketika bank syari’ah menghimpun dana lewat akad wadiah kemudian di formulasi dalam bentuk produk bank berupa tabungan, giro dan deposito, maka bank memberi bonus sesuai dengan kehendak bank. Padahal tabungan giro dan deposito tersebut diproduksi untuk pembiayaan. Mestinya produk yang tepat adalah mudharabah.
Dalam penghimpunan dana melalui mekanisme wadi’ah, pihak bank telah menentukan bonus sebagaimana bunga pada bank konvensional. Sedangkan ketika pembiayaan, melalui mekanisme murabahah. Mekanisme ini, bank syari’ah secara sepihak mengmbil margin keuntungan dari dari pembiayaan kepada nasabah. Padahal kedua produk tersebut adalah untuk modal usaha, maka seharusnya bank baik dalam pendanaan maupun pembiayaan menggunakan sistem mudharabah.
Hal tersebut menyebabkan tuduhan bahwa bank syari’ah sama dengan bank syari’ah yang tetap berpotensi melaksanakan transaksi riba. Tuduhan tersebut tidak sepenuhnya benar, namun juga tidak sepenuhnya salah. Bank syari’ah membela diri, bahwa kehalalan suatu peoduk adalah terletak apada akadnya. Bank syari’ah jika melakukan sosialisasi selalu menganalogikan sebagaimana “akad nikah” berbeda dengan zina karena akadnya. Namun, bank syari’ah justru melakukan pelanggaran akad.
Akad wadiah yang dilakukan oleh bank syari’ah dengan nasabah penabung tersebut adalah berupa uang yang dititipkan. Titipan uang tersebut diproduksi oleh bank syari’ah untuk melakukan pembiayaan yang semestinya mendapat keuntungan. Oleh karena itu jika digunakan akad mudharabah akan berbeda proses pembagian keuntungan. Maka wadi’ah sangat berpotensi riba.
Pada taraf tertentu bank syari’ah baru melakukan arabisasi istilah produk dan akadnya. Namun belum melakukan Islamisasi substansi sistem dan mekanisme transaksi, sehingga bank syari’ah tidak terlalu berbeda dengan mekanisme transaksi pada bank konvensional. Para pengelola bank syari’ah sering tadak tahu atau tidak mau tahu tentang nasabahnya yang mengalami kerugian atau menurunya keuntungan, walaupun akad adalah bagi hasil. Bank “mematok” bagi hasil dengan rate tertentu yang menguntungkan pihak bank secara sepihak. Dana nasabah yang dikelola bank syari’ah dapat berupa titipan maupun investasi, tabungan atau deposito yang kemudian diproduksi oleh bank syari’ah maka pemilik dana harus diberi bagian dari keuntungan. Prakteknya adalah sebagaimana bank konvensional yaitu berbasis BI rate.