Hardiwinoto.com-Pandawa melakukan perjalanan menuju Mahameru, melakukan “Bhrasta Yoga” untuk melepaskan diri dari badan kasar menuju alam “Sunia”. Dalam perjalanan tersebut yang mati pertama adalah Sadewa karena ia merasa dirinya paling cerdas diantara Pandawa. Menyusul Nakula, karena merasa dirinya yang paling tampan. Berikutnya lagi Arjuna, karena merasa paling sakti, dapat membunuh musuh-musuhnya dalam satu hari. Yang terakhir meninggal adalah Bimasena, karena kasar dalam bicara, tidak memiliki unggah ungguh atau kesopanan. Yudistira tetap hidup. Ia dipersilahkan langsung masuk ke surga menikmati kebahagiaan. Namun Yudistira tidak mau masuk surga jika tidak bersama anjingnya. Sementara itu Dewa Indra tidak menginjinkan anjing tersebut ikut masuk ke dalam surga bersama Yudistira.
Yudistira yakin bahwa meremehkan kesetiaan, dosanya sama dengan membunuh Brahmana. Yudistira berkata kepada Dewa Indra.
“Paduka Bhatara Indra, hamba tidak akan meninggalkan anjing ini hanya karena mementingkan surga untuk diri sendiri. Hamba telah bersumpah bahwa hamba tidak akan meninggalkan ia dalam ketakutan, sedangkan ia sangat setia, yang sedang mencari perlindungan karena musibah atau ingin selalu bersama dengan hamba. Ia sangat lemah yang memerlukan perlindungan atau minta ampun agar tidak nistakan. Hamba tidak akan meninggalkannya”.
Dewa Indra tetap tidak mengijinkan Yudistira membawa anjing ke surga. Dewa Indra menjelaskan bahwa dengan meninggalkan anjing itu, anda akan menikmati kesenangan bersama Dewa-Dewi di surga. Mengapa anda masih mengikatkan diri pada anjing tersebut? Yudistira menjawab.
“Diajarkan kepada kami bahwa orang yang telah mati tidak mengenal rasa persahabatan dan permusuhan. Ketika saudara-saudara hamba telah menghembuskan nafas yang terakhir, hamba pun tidak mampu menghidupkan mereka kembali. Itu sebabnya hamba telah meninggalkan mereka. Hamba pun meninggalkan mereka jika mereka membuat ketakutan kepada orang yang sedang memerlukan perlindungan, menyakiti atau membunuh orang, dan mencuri barang-barang milik Brahmana. Keempat perbuatan tersebut sama dosanya dengan perbuatan meninggalkan kesetiaan, mencintai, dan mengabdi”.
Setelah Yudistira mengucapkan hal tersebut, tiba-tiba anjing itu lenyap dan berubah menjadi Sang Hyang Dharma, Dewa yang menguasai nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta mengemban Dharma. Sang Hyang Dharma berkata.
“Ananda Yudistira, engkau memiliki kecerdasan dan tingkah laku yang sempurna. Engkau memiliki laku pengasih dan penyayang kepada sesama makhluk. Dahulu aku menguji keyakinanmu ketika engkau bersama saudaramu dalam perjalanan, ketika saudara-saudaramu nampak bagaikan mati, ananda telah manunjukan arti keadilan dengan cara yang luar biasa, yaitu dengan mengabaikan Bimasena dan Arjuna, Ananda telah meminta kepada Dewata agar menghidupkan Nakula. Dengan demikian ibu tirimu tidak kehilangan putra dan sekarang anda telah mengajak anjing untuk ikut masuk ke syurga karena kesetiaannya”.
Kemudian Yudistira langsung diajak naik ke surga dengan tidak usah meninggalkan badan kasarnya.
***
Anjing bisa diartikan sekelompok rakyat miskin yang tercampakkan, dianggap kotor, najis dan dianggap tidak pantas ikut menikmati kesejahtraan strata masyarakat agung para dewa dan ksatria. Namun Yudistira kekeh mengajak anjingnya menuju syurga. Bahkan sebagai prasyarat masuk surga. Dalam Islam, di Al Qur’an surat Alma’un sangat jelas menjelaskan siapa pendusta agama? Mereka adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Bahkan orang yang telah sholat akan masuk neraka karena mereka lalai. Melupakan apa? Melupakan tentang pesan sholat yaitu membesarkan nama Allah (awal sholat adalah takbiratul ihram) dan memberi salam atau menimbulkan kesejahteraan bagi masyarakat kiri kanan (akhir sholat adalah salam)
Anjing adalah pesuruh, pembantu, jongos, yang dalam strata sosial adalah rendah dan direndahkan. Bahkan, meskipun anjing adalah setia, siap disuruh apa saja oleh majikannya, dalam sekujur tubuhnya adalah najis mugholadhoh. Tapi anjing tidak boleh terabaikan untuk mendapat kesejahteraan sosial. Memang, anjing hanya bisa nyadong pekerjaan atau kedermawanan kepada sang tuan. Dalam kisah kecintaan Robiah Al Adawiyah kepada Allah, anjing juga dijadikan sebagai simbul kedapatan masuk surga. Memberi minum kepada anjing yang kehausan, dapat mengantarkannya masuk syurga.
Itulah gambaran anjing yang selalu setia mengikuti Yudistira. Anjing menjadikan prasyarat ia bisa masuk surga. Dan anjing dijadikan lambang ujian oleh Bathara Indra tentang kelayakan Yusdistira dapat masuk syurga atau tidak.
***
Puasa memberikan pesan “yoga” mencapai alam “sunia”. Dalam Islam digambarkan bahwa para syetan diikat dan pintu pintu syurga dibuka, dibakar semua dosa dan diampuni semua kesalahan. Tentu pencapaian syurga tidak gratisan melainkan derma sebagai prasyaratnya. Derma kepada para “anjing”, yaitu sekelompok masyarakat yang dinistakan, dianggap kotor dan tidak mendapatkan status sosial yang layak. Bahkan kita kadang “menajiskannya”.
Syurga dalam konteks realitas ekonomi, tidak ghaib melainkan nyata, empiris dan tidak harus menunggu nanti yang jauh di akherat. Kedermawanan adalah memunculkan kesejahteraan. Dan kesejahteraan adalah bukan ilusi atau mimpi, namun harus kini. Hal ini bisa diukur berapa kedermawanan akan berdampak berapa kesejateraan yang kini bisa terjadi. Berapa derma yang bisa kita berikan, berapa para “anjing” yang terangkat kesejahteraannya.
Idul fitri adalah perlambang kelulusan puasa. Dalam jawa disebut bakda atau selesai menjalankan puasa. Dirayakan dengan memakai baju baru dan makan enak, kumpul keluarga dan mengungkapkan kebahagiaan dengan halal-bihalal yaitu memaafkan segala salah orang lain. Itulah disebut dengan melepaskan kotoran dengan memberi derma berupa zakat. Jika syurga adalah realitas ekonomi, maka kesejahteraan dapat terjadi akibat kenaikan spiritual dan prilaku derma.
Hardiwinoto, 2017, Surga Sebagai Realitas Ekonomi, Stabilitas, Juni -Juli 2017 Th.XII.