Hardiwinoto.com-Dalam suatu upacara penerimaan mahasiswa baru di Fakultas Usuludin UIN Sunan Ampel Surabaya, sekelompok mahasiswa membentangkan spanduk bertuluskan “Tuhan Telah Membusuk”. Sontak temen-temen sosmed menghujad mahasiswa yang membentangkan spanduk tersebut. Saya katakan, mahasiswa tersebut benar. Mereka menyatakan sikap tentang realitas masyarakat yang beragama namun sejatinya tidak. Dalam benak mereka tuhan telah membusuk. Tuhan bukan dalam konteks eksistensi tuhan tetapi tuhan dalam konteks transendensi.
Nietzsche memunculkan filsafat post-modern yang radikal dan kontroversial. Cara pandang yang kontroversial adalah “tuhan sudah mati”. Pemikiran tersebut mendobrak konsep lama yang didominasi oleh cara berpikir Kristen. Para ahli menyebut Nietzsche sebagai penganut nihilisme, yaitu paham yang berporos pada “tiada apa-apa pun” dan berpandangan bahwa “diperlukan suatu kehancuran untuk suatu perbaikan”.
Pemikiran Nietzsche mengenai kematian tuhan terdapat pada sebagian tulisannya yang terkenal, yaitu “the gay science”. Diceritakan bahwa, seseorang yang gila datang ke sebuah kerumunan dan berteriak-teriak mengenai kematian tuhan.
Tidakkah kamu telah mendengar seorang gila yang menyalakan lentera di pagi yang cerah, berlari menuju tempat kerumunan, dan terus-menerus berteriak: “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” – Ketika banyak orang yang berdiri di sekelilingnya kemudian, dia mengundang gelak tawa. Apakah dia orang yang hilang? Tanya seseorang. Apakah dia telah tersesat seperti anak kecil? Tanya yang lainnya. Mereka saling bertanya sinis dan tertawa.
Orang gila itu melompat ke tengah kerumunan dan menatap mereka dengan mata tajam. “Ke mana Tuhan?” dia berteriak: “Aku akan menceritakan pada kalian, Kita telah MembunhNya — Kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya… Tuhan sudah mati.
***
Amat penting untuk disampaikan tentang tuhan sudah mati, demikian ungkapan Nietzsche yang terkenal. Nietzsche ingin mengatakan bahwa keberadaan Tuhan tergantung pada sintetis. Tuhan menjadi argumen yang dapat dipertanggungjawabkan hanya terkait dengan sejarah dan manusia. Nietzsche memberikan konsep kematian tuhan, kemudian mengajukan konsep kelahiran tuhan. Jika tuhan mati, maka manusia yang menjadi tuhan.
Jika tuhan adalah manusia, tentu tuhan akan hidup dan kemudian mati, kemudian ada tuhan baru lagi. Hal demikian pernah menyejarah dalam kehidupan manusia yaitu masa Fir’aun dan Namrud. Mereka memproklamirkan menjadi tuhan. Karena mereka merasa bahwa semua dalam kekuasaannya. Manifestasinya juga banyak dideklarasikan oleh manusia sekarang, karena mereka kebetulan berkuasa. Mereka menuhankan diri.
Filsafat Nietzsche tidak lepas dari keadaan zamannya. Kebencian Nietszsche akan agama (otoritas gereja) karena melihat kenyataan bahwa agama waktu itu hanya sebagai pelarian. Tuhan yang “dibunuh” Nietzsche sama sekali tidak menyentuh eksistensi Tuhan, tetapi tuhan dalam konteks transendensi. Kita saksikan, tuhan sering ditinggalkan sendirian di tempat ibadah, yaitu menjadi patung, gambar atau identitas. Tidak menjadi ruh dalam setiap perbuatan. Perbuatan yang paling berpengaruh terhadap manusia adalah pasar.
***
Pasar, kenapa menjadi tempat dimana oleh Nietzsche tuhan mati terbunuh. Penulis mengartikan karena pasar adalah tempat transaksi. Disitulah kadang tuhan tidak dilibatkan dalam bertransaksi. Banyak orang beragama yang mengaku adanya tuhan dan mereka juga beribadah kepada tuhannya tetapi substansinya adalah atheis. Ateisme di sini bukan ateisme secara definitif melainkan ateis praktis. Hal demikian dapat dilihat bahwa masyarakat mengalami degradasi moral. Pembunuhan, aborsi, dan korupsi, menjadi tema utama pemberitaan media massa. Persaingan bukan lagi antar orang beragama dengan yang tidak beragama melainkan perang melawan dirinya bagaimana menghidupkan tuhan atau membunuhnya di kerumunan manusia di dalam pasar.
Apa yang dimaksud pasar? Kenapa tuhan mati di tengah pasar? Tuhan yang mana, tuhan yang bisa mati dan membusuk. Pasar boleh diartikan tempat dimana terdapat transaksi dan menyepakati berapa jumlah barang atau jasa yang diperjual belikan? Berapa keuntungan yang diterima? Pasar, barang dan jasa, serta uang adalah terkait dengan tempat kerumunan manusia, entah di kantor, di lembaga tinggi negara, setiap pasal regulasi, atau keputusan keputusan politik.
Kita pernah mendengarkan kalimat dagang sapi di senayan, transaksional di arena pemilu, makelar perkara di pengadilan. Jual beli jabatan di birokrasi. Bukankan tempat-tempat tersebut adalah pasar? Bukankah di tempat-tempat tersebut terdapat kerumunan manusia? Maka tidak salah mahasiswa UIN Sunan Ampel membentangkan spanduk bertuliskan Tuhan telah membusuk. Bahkan jauh sebelumnya Nietzsche telah mengumumkan bahwa tuhan telah dibunuh di tengah kerumunan manusia di pasar.
Kesalehan dalam beragama dapat dibuktikan bilamana ketika tuhan di bawa ke pasar atau tidak. Bukti tuhan telah mati ditunjukkan adanya perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia yang mengaku beriman untuk kepentingan tertentu. Paham yang salah tentang iman tanpa sikap iksan, yaitu keyakinan bahwa tuhan selalu hidup dan tidak pernah mengantuk mengawasi kita. Manusia seharusnya senantiasa berjuang demi suatu nilai yang terintegrasi di dalam dirinya baik di tempat ibadah atau di pasar. Dengan demikian kita bisa menghidupkan nilai-nilai kebaikan dan tidak terjebak pada sikap munafik. “Mari kita hidupkan Tuhan kembali, Tuhan yang menuntun, Tuhan yang menyinari, Tuhan yang transenden”
Hardiwinoto, 2017, Stabilitas, April-Mei