Hardiwinoto.com-Fiskal dan Sinta dalam Ramayana (Hardiwinoto, 2016) Sejenak kita simak cerita tentang Sinta dalam kisah Ramayana. Rahwana –Raja Alengka, sesumbar jika memiliki anak perempuan maka akan dikawininya sendiri karena tidak rela anaknya diambil satria manapun. Pasalnya dia yakin tak ada yang bisa menandingi kesaktiannya. Ternyata anaknya lahir perempuan. Maka langit geger. Para dewa mengatur siasat supaya Rahwana tidak jadi menikahi anaknya kelak. Akhirnya diputuskan, diambilah jabang bayi itu oleh para dewa, kemudian digantikan bayi laki laki.
Sinta menjadi dewasa yang menjadi idola setiap satria di Alengka maupun di Ayodya. Singkat cerita Sinta diperistri Rama. Suatu ketika Rama pergi berburu ke hutan, Sinta ikut serta. Ketika Rama hendak memanah hewan buruan ke tengah hutan, Sinta dititipkan kepada adiknya, Lesmana. Akhirnya, seperti yang sering diceritakan Sinta diculik Rahwana ke Alengka. Ayodya berkabung. Rama kehilangan Sinta.
***
Fiskal, sebagaimana Sinta, adalah idola bagi semua tanpa kecuali, dari raja sampai rakyat. Fiskal menjadi rebutan. Dalam konteks ini, “Rahwana” adalah siapa saja yang merebut anggaran dengan cara batil. Terutama adalah yang berkuasa dan memiliki kewenangan. “Rama” adalah pemegang amanah yang sangat ceroboh karena tak mampu menempatkan penjaga yang kuat. Dan “Lesmana” adalah penjaga fiskal yang sangat loyo.
Fiskal kini menjadi ladang korupsi dan yang mengkorupsi adalah “Rahwana” masa kini. Rahwana bukan liyan, bukan di luar kita. Korupsi adalah niat awal, sejak ia sesumbar ingin menikahi sendiri anaknya jika perempuan. Jika sejak awal seseorang yang ingin menjadi raja (presiden, gubernur, bupati/walikota) sudah berniat akan menggarong fiskal, sejatinya adalah Rahwana di era demokrasi ini. Korupsi sudah diniatkan sejak awal dengan mencalonkan diri menjadi raja. Masih hangat di telinga kita kisah mega proyek Hambalang. Berapa “Rahwana” yang mencuri “Sinta” dalam proyek itu.
***
Instrumen fiskal sebagai alat kebijakan sudah terasa aus. Ibarat mobil sudah sering ngadat, ibarat pisau sudah tidak tajam, dan ibarat lampu sudah tidak terang. Karena itu perlu operasi total, atau kalau perlu semua komponen diganti, bahkan diganti dengan yang baru. Sejenak kita replay pengetahuan tentang fiscal policy.
Gagasan otak atik anggaran atau kebijakan fiskal diyakini akan mencapai kestabilan ekonomi. Sebelum tahun 1930-an, pengeluaran pemerintah dipahami sebagai instrumen pembiayaan program pemerintah. Belum dipahami untuk meningkatkan pendapatan nasional. Pajak dipandang sebagai sumber pembiayaan negara, tidak dipahami sebagai pengaruh kontraksi pendapatan nasional. Ketika penerimaan negara menurun, maka pengeluaran pemerintah pun harus menurun.
Akibatnya penurunan pengeluaran negara membuat pendapatan nasional menurun juga. Berikutnya hal itu akan menurunkan penerimaan negara. Artinya bahwa meskipun penerimaan negara menurun, pengeluaran negara tidak boleh menurun, sehingga dapat mempertahankan pendapatan nasional.
Dari sini, pemerintah mulai melakukan kebijakan defisit anggaran atau menutup kekurangan anggaran melalui utang. Di samping utang, pemerintah secara pragmatis menutup defisit anggaran melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Pemerintah berkreasi mencari sumber baru penerimaan pajak. Di sana terdapat paradoks yang tak kunjung usai.
Utang dan pajak adalah instrumen penutup defisit. Tapi kita lihat banyak negara bangkrut karena jebakan utang dan lilitan pajak yang harus dibayar rakyatnya. Secara teoritis utang dan pajak akan menyusutkan pendapatan nasional. Utang menyebabkan melemahnya kedaulatan ekonomi dalam negeri dan pajak akan mengurangi gairah investasi.
Kebijakan fiskal dihadirkan untuk memecahkan masalah perekonomian nasional. Kebijakaan fiskal tidak dapat disamakan dengan individu. Individu akan mengurangi pengeluaran ketika penerimaan menurun, namun pemerintah tidak demikian. Apabila pemerintah mengurangi pengeluaran, ekonomi akan terkontraksi. Pengeluaran pemerintah yang menurun akan berakibat pendapatan masyarakat menurun berarti akan menurunkan penerimaan pemerintah. Artinya fiskal harus selalu terjaga.
Peluang Baru Fiskal
Kini ada peluang untuk menjaga fiskal. Pertama, adalah program tax amnesty. Mampukah pemerintah memanfaatkan momentum tax amnesty untuk mendongkrak fiskal kita. Sebuah prestasi yang luar biasa jika tax amnesty benar-benar menjadi intrumen fiskal yang ampuh untuk membiayai infrastruktur.
Kedua, sumber fiskal yang kita peroleh dari pemberantasan korupsi. Dan yang ketiga yaitu dana zakat yang belum dioptimalkan. Selain zakat adalah ghanimah, yaitu jenis barang bergerak yang bisa dipindahkan yang diperoleh dalam hasil peperangan, dalam konteks ini adalah harta rampasan dari koruptor dan para pelanggar hukum. Jika dioptimalkan akan menjadi salah satu dari instrumen penerimaan Negara dalam kebijakan fiskal.
Dan yang ketiga adalah berasal dari harta karun. Berupa apakah harta karun tersebut? Yaitu hasil pertambangan jika dikelola oleh Negara untuk kepentingan masyarakat. Tentu melalui kebijakan fiskal kita. Jika diolah sendiri tentu pendapatan lebih besar dibandingkan oleh asing. Maka hati hati dengan “Rahwana”-nya yaitu bisa oleh pihak asing yang difasilitasi oleh “Rahwana” dalam negeri.
Hardiwinoto, Stabilitas, 16 Okt -15 Nov 2016