Pada tahun 1645, Sultan Agung digantikan oleh putranya yang lahir dari Ratu Wetan, yakni Raden Mas Syayidin (Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau Amangkurat I). Amangkurat I memiliki dua permaisuri, yakni Ratu Kulon (putri pangeran Pekik) dan Ratu Wetan (putri Kajoran). Ratu Kulon melahirkan Raden Mas Rahmat atau Pangeran Adipati Anom atau Sunan Amangkurat II, dan Ratu Wetan melahirkan Raden Mas Drajat, Pangeran Puger atau Sunan Pakubuana I.
Amangkurat II bernafsu untuk menggantikan Amangkurat I. Karena tidak berani, maka Ia meminta bantuan (memperalat) Panembahan Rama (mertua Trunajaya) yang tergolong ulama dan kerabat istana Mataram. Lalu Trunajaya membentuk pasukan orang-orang Madura dan bekerjasama dengan Karaeng Galengsong, pemimpin orang-orang Makasar pendukung Sultan Hasanudin yang dikalahkan VOC. Karaeng Galengsong setuju mendukung Trunajaya untuk memberontak Sunan Amangkurat I yang bekerjasama dengan VOC. Trunajaya juga mendapatkan dukungan dari Panembahan Ageng Giri dari Giri Kedaton yang didirikan oleh Prabu Satmata, Raden Paku, atau Sunan Giri. Amangkurat I dianggap tidak memiliki hubungan baik dengan ulama.
Dibawah komando Trunajaya, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makasar, Giri Kedaton berhasil mengalahkan pasukan Amangkurat I. Pada tahun 1674 Trunajaya memproklamasikan sebagai raja merdeka di Madura dan mensejajarkan dirinya dengan penguasa Mataram dan Amangkurat II menobatkan diri sebagai raja yang berkedudukan di Tegal.
Babak berikutnya, perselisihan antara Trunajaya Amangkurat II tak bisa terhindarkan. Amangkurat II berbalik arah kepada Amangkurat I pada bulan Oktober 1676. Amangkurat II justru melakukan penumpasan terhadap Panembahan Ageng Giri dari Giri Kedaton pada bulan April 1680 berkat bantuan VOC. Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Anggota keluarganya dimusnahkan. Sejak peristiwa tersebut berakhir riwayat Giri Kedaton. Artinya Amangkurat II berkianat. Lalu Trunajaya melakukan perlawanan kepada Mataram yang berada di Plered. Amangkurat I tidak kuasa menghalau Trunajaya, sehingga menyingkir ke arah barat dan akhirnya meninggal di Wanayasa dan dimakamkan di Tegal Arum.
Sepeninggal Amangkurat I, Amangkurat II menobatkan diri sebagai raja dan menandatangani perjanjian persekutuan dengan VOC untuk menumpas pemberontakan Trunajaya. Perjanjian tersebut dikenal dengan perjanjian Jepara pada bulan September 1677, yang berisi Sunan Amangkurat II harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC berhasil mengalahkan pemberontakan Trunajaya. VOC dipimpin oleh Gubernur Jendral Cornelis Spelman mengerahkan pasukan Bugis di laut dipimpin oleh Aru Palakka dari Bone dan pasukan Maluku dipimpin oleh Kapiten Jonker di darat untuk melawan pasukan Karaeng Galengsong bersama pasukan Amangkurat II.
Sementara itu Gubernur Jendral Cornelis Speelman bersama 1.500 pasukan VOC menyerang Surabaya yaitu Giri Kedaton dan berhasil mengalahkan Trunajaya. Trunajaya menyerah di lereng gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Trunajaya diserahkan kepada Amangkurat II oleh Kapiten Jonker. Pada tanggal 2 Januari 1680, Trunajaya dijatuhi hukuman mati. Kemudian Amangkurat II memindahkan istana dari Plered ke Kartasura. Karena berhutang biaya peperangan yang besar kepada VOC, Amangkurat II menyerahkan kota-kota di pesisir utara Jawa (Achmad, Sri Wintala, 2017, Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa, Araska Publiher, Yogyakarta).
***
Narasi sejarah di atas nampak jelas terdapat dua sekutu, yaitu penguasa yang bersekutu VOC dan sekutu penentang VOC. Bagaimana Indonesia kini? Dapatkah diibaratkan dengan masa Amangkurat? Mudah-mudahan tidak. Tetapi secara indikasi, mengkhawatirkan. Indikasi elit politik sangat nampak bersekutu dengan kepentingan asing. Isu Bali dijual murah, Morowali sebagai pintu masuk tenaga kerja asing yang sepaket dengan industrinya, pulau-pulau reklamasi, wilayah-wilayah yang dibangun properti, ranah-ranah industri jasa, dan lain-lain dikuasai asing. Apakah dapat dianalogikan sebagaimana Amangkurat hutang budi dalam proses pemenangan kekuasaan? Modus MNC/TNC mirip dengan VOC yang meminta Amangkurat untuk menyerahkan wilayah pesisir utara Jawa.
Sila ketiga Pancasila berbunyi Persatuan Indonesia. Dalam konteks ekonomi bisa dimaknai dengan kalimat persatuan ekonomi Indonesia. Apakah implementasi sila Persatuan Indonesia ini sudah otomatis untuk perekonomian bangsa Indonesia? Faktanya adalah justru terjadi persekutuan dengan asing untuk menguasai perekonomian Indonesia. Hipotesis ini mendesak untuk dijawab untuk membuktikan bahwa Persatuan Indonesia adalah untuk menegakkan kedaulatan ekonomi bangsa Indonesia.
Pernah dikabarkan oleh sebagian elit politik bahwa Indonesia tahun 2030 akan hancur. Sebuah bentuk pesimistis yang tidak pantas diucapkan oleh elit bangsa. Namun demikian dilihat dari asumsi-asumsi yang terjadi adalah benar, yaitu trend atau kecenderungan penguasaan asing atas perekonomian dalam negeri semakin besar. Penguasaan sumber-sumber ekonomi, alat produksi dan distribusi oleh asing, da sementara itu bangsa Indonesia hanya menjadi subordinat perekonomian bahkan semakin kehilangan peran ekonomi. Kini asing dibolehkan menguasai proses perekonomian dari hulu sampai ke hilir.
Emha Ainun Najib tidak membenarkan bahwa tahun 2030 negara Indonesia akan hancur. Bisa jadi Indonesia justru semakin maju dan besar. Tapi, siapakah yang memiliki Indonesia? Kalau hanya menjadi satpam, cleaning servise atau sekedar jongos. Persatuan Indonesia menjadi syarat mutlak untuk menguasai ekonomi Indonesia. Semoga tidak ada elit yang berkuasa justru bersekutu dengan asing dan dalam waktu yang sama mengkriminalisasi sekutu lain yang berusaha untuk menegakkan kedaulatan ekonomi bangsa. Semoga menjadi spirit di tahun pemilu.
Hardiwinoto, 2018, Stabilitas Edisi Januari 2019