Shendy (19), Korban Begal yang sempat dibacok dan lalu disekap di sebuah rumah kosong di Pondok Gede. Suatu malam, Shendy membawa motor hendak keluar dari kampus Unisma untuk beli makanan. Setelah mendapat makanan yang dikehendaki, balik lagi ke kampus. Dalam perjalanan balik ke kampus, tiba-tiba suara motor di belakangnya, motor warna merah dinaiki tiga orang mengatakan kepada Shendy, ‘woi anjing lo, anjing lo, mati lo’, lalu membacok dan memukul Shendy.
Seketika Shendy terjatuh. Anehnya, tiga orang tersebut tidak menggasak motor korban, melainkan menunggu di persimpangan jalan. Shandy naiki motor lagi, putar balik dan dikejar lagi oleh pembegal tersebut. Shendy mencoba berteriak minta tolong. Shendy mendengar suara orang lain berteriak ‘begal-begal’. Dikira bantuan datang, ternyata Shandy yang dituduh sebagai begal oleh dua orang yang menaiki motor warna hitam. Saat berhenti karena sedang lampu merah di traffic light Unisma, Ia dipepet oleh mobil bewarna putih berisi 4 orang yang mengaku sebagai polisi.
Shandy dimasukkan ke dalam mobil setengah sujud, kepala didengkul, mulut dilakban. Di dalam mobil, Shendy sempat mendengar salah satu diantara mereka berkata “kerja malam ini mendapatkan hasil”. Orang yang mengaku polisi tersebut lapor kepada atasan tentang perolehan begal di Unisma. Shendy diintrogasi. Saya mengatakan, “saya korban begal”. “Oke kamu saya bawa ke Polres Bekasi”, jawabnya.
Ternyata Shendy dibawa ke sebuah rumah kosong di Pondok Gede, Bekasi. Orang yang mengaku polisi berkata mau balik ke Unisma mau ambil HP Shendy dan menemui teman-temannya untuk membuktikan kebenaran sebagai mahasiswa Unisma, ternyata tidak ada kabar. Shendy meminta bantuan kepada warga sekitar dan menceritakan kronologisnya, bahwa ia kehilangan motor, dompet, SIM, dan STNK. Baru tiba anggota Polsek Pondok Gede di TKP dan membawa Shendy ke Polsek Bekasi Timur untuk dimintai keterangan.
***
Cerita Shendy korban begal namun tertuduh sebagai pembegal mungkin bisa berskala nasional. Narasi tentang Shendy yang kehilangan motor, dompet, SIM, dan STNK karena dibegal tersebut, bisa berskala rakyat yang kehilangan NKRI. Sedangkan orang yang teriak “begal-begal” adalah korban berita hoaks. Ada pula orang mengaku polisi atau aparat hukum yang mengamankan Shendy, tapi tidak memproses hukum melainkan dimasukkan ke rumah kosong.
Di dalam Pembukaan UUD`45 alinea 3 yang berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Makna kemerdekaan antara lain adalah mencapai kedaulatan ekonomi. Nyatanya NKRI dipersilahkan dikuasai asing dan dibuatkan perlindungan undang-undang. Kita mewajarkan hutang, privatisasi, impor industri, impor tenaga kerja, impor makanan dan lain-lain yang di dalam NKRI tersedia. Sampai-sampai celana NKRI sudah dipelorotkan oleh tangannya sendiri untuk diserahkan kepada asing. Kemudian NKRI membungkuk-bungkuk mengemis-ngemis.
Para pahlawan berperang dan berunding menentukan batas-batas wilayah Indonesia, tentu tidak sekedar wilayah teritori belaka, namun termasuk kekayaan di dalamnya. Penduduk, tumbuh-tumbuhan, hewan, serta kekayaan mineral seperti minyak bumi, emas, batu bara, dan lain-lain, tidak kita relakan dirampas bangsa asing.
Kemerdekaan dapat diraih kembali melalu pemahaman tentang NKRI yang benar. Selama pemahaman NKRI harga mati masih salah maka selamanya belum sadar jika kini terjajah kembali. Kesadaran tentang NKRI harga mati yang benar dipahami sebagaimana para pahlawan yang berjuang untuk memerdekakan atau mendirikan NKRI.
Menjaga NKRI harga mati adalah menafsir ulang tentang VOC masa kini yang diibaratkan begal di atas, yang datang dengan baju baru yang dilindungi undang undang. Rakyat kecil bilang NKRI harga mati tetapi mengemis money politic, dan rakyat besar bilang NKRI harga mati tetapi mengais rente ekonomi. Sebagaimana begal dan orang yang mengaku sebagai polisi, tetapi rakyat disekap dalam “rumah kosong”. Inilah yang dikhawatirkan sebagian masyarakat jika NKRI dikuasai asing, maka rakyat hanya berada dalam NKRI yang kosong karena di dalamnya sudah milik asing.
Kosa kata “wani piro” sering kita dengar dalam wacana politik dan ekonomi. NKRI harga mati berada pasar bebas. Titik pijak bukan pada “jiwa NKRI harga mati”, justru digunakan untuk “mengakali” atau “meliciki”, “mencurangi”, bahkan “mendustai”. Sebagaimana dalam kitab suci dikatakan “Ketika Tuhan berkata janganlah kalian membuat kerusakan di atas bumi. Mereka menjawab kami sedang melaksanakan perbaikan. Padahal mereka membuat kerusakan, sedang mereka tidak menyadari”. Bisa jadi orang yang mengaku melakukan perbaikan, sejatinya adalah merusak, tetapi tidak menyadari.
NKRI yang diletakkan dalam pasar bebas dengan dalih mengundang investasi asing, namun sejatinya adalah mengundang predator, pemangsa, dalam bahasa lain adalah kompeni masa kini. Tata nilai dan budaya berubah diarahkan pada sikap acuh tak acuh terhadap nasionalisme. Gerakan Separatisme muncul bukan dalam arti memisahkan dari induk negara atau membentuk negara baru, melemahkan peran negara, sehingga sejatinya sudah terbentuk negara swasta di dalam negara. Secara empiris kontradiktif terhadap pembentukan kedaulatan ekonomi negara, kekayaan alam dan sumber daya lainnya justru negara tidak memiliki kekuatan untuk mengolahnya.
Sama halnya NKRI harga mati sudah roboh secara substansi. Meski masih bernama NKRI, bisa jadi tata nilai kebangsaan sudah runtuh. Rakyat adalah rakyat korporat, bukat rakyat negara. Kesadaran menjadi rakyat terjajah justru akan diredam karena akan menciptakaan keadaan chaos horizontal. Kondisi demikian akan merugikan agen-agen kompeni masa kini, juga kaki tangan atau centeng gerakan sparatis dari NKRI harga mati secara substansi ekonomi.
Hardiwinoto, 30 Oktober 2018