Wahai para koruptor, memang untuk bisa sakti menjadi koruptor harus memiliki partai. Karena dengan partai masuk dalam pusaran kekuasaan. Dan tidak ada korupsi besar tanpa kekuasaan. Dengan kekuasaan menciptakan dan memiliki tafisr atas UU. Namun kini, partai kalian telah dikendalikan oleh para cukong melalui sumbangan yang kalian terima, sehingga mereka menyandera. Dalam pikiran cukong, mereka sumbangan supaya dapat intervensi kalian. Jika demikian rezim bukan terletak pada pemerintah melainkan pada cukong. Bahkan dalam mengalokasikan APBN diatur oleh cukong. Parpol tak mungkin bisa membiayai kegiatan operasional kampanye untuk memenangkan pemilu, rekrutmen kader dan sebagainya. Faktanya dana disuplai oleh cukong. Ayat yang digunakan “tidak ada makan siang gratis”. Lupakan ayat leluhur kalian “kerja tanpa pamrih”.
Wahai para koruptor, lupakan tentang ideologi sebagai acuan dalam proses rekrutmen kader. Rekrutmen dijalankan besaran mahar yang disumbangkan kepada partai. Kalian sebenarnya sudah paham bahwa dukungan finansial cukong tentu bukan hibah melainkan investasi. Artinya harus memberikan keuntungan di kemudian hari. Berarti kalian bersiaplah kalian disetir atau dikendalikan oleh cukong. Kalian sesungguhnya hanya “kuda tunggangan”, agak keren joki, atau boneka, bahkan budak politik.
Wahai para koruptor, coba perhatikan, akhir-akhir ini banyak partai yang kehilangan idiologi, sehingga pragmatis hanya ingin berkuasa belaka. Tetapi kekuasaanya hanya sekedar formal, karena sesungguhnya kalian hanya sekear kuda tunggangan, atau kalian menunggang kuda tetapi kalian hanya joki belaka. Itu hanya kuda pacuan milik tuan kalian. Idiologi partai hanya sekedar dokumen partai sebagai syarat pendirian partai. Hal demikian bisa disederhanakan bahwa negara menjadi milik cukong. Berbagai data menunjukkan, angka yang disebut terbilang mutlak, 92 persen keterpilihan mayoritas calon kepala daerah melibatkan peran cukong. Penyampai pesan tersebut bukan sembarang orang, melainkan Menko Polhukam Mahfud MD. Pasti bukan sekadar main-main, tentu ada dasar argumentasi yang sahih. Sejatinya, proses kontestasi politik telah jamak diketahui sebagai ruang transaksi. Proses tukar tambah dan barter terjadi, untuk dan atas nama kekuasaan.
Tidak ada yang bisa memastikan seberapa dominan itu terjadi, karena praktiknya berlangsung di ruang gelap bursa politik. Maka pernyataan tentang angka yang hampir mutlak itu jelas sangat mengkhawatirkan bagi masa depan demokrasi. Sebagai sebuah istilah, cukong bertindak sebagai penyedia modal yang mempersiapkan dana. Berlaku sebagai bandar, yang memiliki tugas mengatur aliran, dalam saluran pertukaran kepentingan. Sudah sejak lama aktivitas seperti ini terjadi, simbiosis mutualisme terjadi antara para aktor di wilayah ekonomi dan ruang politik. Perilaku ini dikenal sebagai upaya perburuan rente, menciptakan relasi balas budi. Logika transaksinya mudah ditebak. Pelaku politik membutuhkan sumber daya finansial yang cukup dalam kapasitas membeli suara -vote buying guna memenangkan kontestasi.
Bagi para cukong, situasi tersebut menjadi peluang untuk membawa kepentingan bisnis ke dalam regulasi, layaknya sebuah instrumen investasi. Terjadi pertemuan kepentingan dan Selera dan Pilihan Cukong. Dalam sebuah diskusi daring LP3ES, Didik J Rachbini menyebut ada dua diksi terpisah antara “Public Choice dengan Pilihan Cukong”. Hal itu menarik, karena pasar politik beririsan dengan pasar ekonomi, lantas terjadi kesetimbangan supply-demand. Interaksi lapangan politik dengan pertautan kepentingan ekonomi para bandar, membuat pertukaran berlangsung timpang bagi upaya memuat kepentingan publik secara lebih luas. Kompleksitas relasi yang terjadi, sarat dengan kepentingan pada tema memperoleh serta mempertahankan kekuasaan. Dengan begitu, isu sentral demokrasi terkait aspek kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan menjadi marjinal.
Dalam bahasa yang lain, Ward Berenschot dari University of Amsterdam, yang bersama dengan Edward Aspinall merilis hasil penelitian terkait politik uang di Indonesia dalam buku Democracy for Sale, 2019, menyampaikan perlunya reformasi dalam proses politik elektoral. Temuan dari kajian Berenschot, memperlihatkan bila ongkos politik di Indonesia terbilang besar. Mulai sejak proses kandidasi, proses pencalonan melalui partai politik akan terkait dengan mahar politik, mudah dibaca bila kemudian ukuran kualitas dan kompetensi kemudian terpinggirkan untuk diberikan kepada penawar tertinggi. Tidak berhenti disitu, bahkan dimulai dari titik penentuan kandidat, sumber daya finansial semakin massif dipergunakan. Hal ini terhitung secara akumulatif, seperti kebutuhan dana kampanye, persiapan bagi tim pemenangan, biaya saksi hingga mengawal suara hingga putusan final.
Peran cukong menjadi begitu signifikan karena mampu memenangkan sengketa pemilu. Akhirnya, para aktor politik yang terpilih, tidak bisa melepaskan diri dari pilihan pengambilan kebijakan yang akan memberikan keuntungan dalam regulasi bagi kepentingan cukong. Bahkan memberikan barter imbalan proyek, secara langsung dari rencana pembangunan daerah. Hal demikian dapat dibacadari argumen sederhana atas keterlibatan para cukong dalam sistem elektoral, yakni ruang politik kehilangan ruh demokrasi tentang hajat publik, menjadi wilayah pertarungan jangka pendek segelintir elite. Oligarki berkuasa.
Ranah politik yang lekat dengan pola transaksional ini, membuat pengambil.kebijakan menjadi berbagai persoalan publik. Rasionalitas investasi lebih mengemuka, kalkulasi untung rugi, dan yang terutama dalam menjamin keuntungan serta posisi strategis kelompok kekuasaan. Tata kelola kehidupan demokrasi harus segera diperbaiki, bila kita masih berharap akan masa depan. Setidaknya ada tiga hal yang saling terkait dan perlu pembenahan secara bersamaan.
Omong kosong jika kalian mengatakan bahwa partai politik dalam makna agregasi dan kanalisasi kepentingan publik. Omong kosong juga jika laian katakana kehendak partai politik mengupayakan wadah aktualisasi menggunakan etika dan moralitas menjadi pemandunya. Kalian juga tidak pelu membangun kepandaian para aktor politik mencari pendanaan partai, karena mereka sudah pandai memainkan praktik politik uang.
Hardiwinoto, 19 02 21