Wahai para koruptor yang mahir, sudahkah kalian membaca berita yang isinya, Mantan Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif menyampaikan bahwa Undang-undang Minerba yang baru disahkan akan membuka peluang besar korupsi sumber daya alam (SDA). Beberapa masalah yang belum selesai terkait dengan pertambangan adalah:
- Renegoisasi kontrak 37 Kontrak Karya dan 74 Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B).
- Aturan pelaksana UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara belum diterbitkan, tetapi pemerintah telah mengubah regulasi lama menjadi UU Minerba yang baru, padahal kewajiban pelaporan reguler belum dilakukan oleh pelaku usaha dan pemerintah daerah.
- Perusahaan dinilai sering berbohong terkait dengan pajak dan royalty, kewajiban reklamasi dan pasca tambang juga belum sepenuhnya dilakukan, sedangkan, penyelidikan kasus pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah sering mandek.
Wahai para koruptor yang cerdas. Kalian juga harus melakukan pembacaan hasil-hasil penelitian. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, (2010) melakukan penelitian terhadap 14 kasus dalam rentang waktu 2017-2018 terkait mekanisme korupsi, terutama organisasi-organisasi pemberi ijin. Ditemukan bahwa selalu ada middle man dan eminent person dalam proses tersebut. Diantara mereka adalah para mantan menteri, gubernur, bupati dan lain-lain. Mereka ikut memengaruhi proses-proses tersebut sekaligus melakukan pelembagaan, secara tersembunyi melakukan sosialisasi bagaimana kooptasi pimpinan dan lembaga-lembaga berkompromi dan berkolaborasi melakukan perintah-perintah formal di dalamnya. Mereka menjadi mediator penguasaan SDA diperoleh melalui keistimewaan-keistimewaan.
Hariadi juga menemukan adanya mekanisme pelembagaan korupsi melalui proses yang disebut pseudo-legal, yaitu menggunakan seluruh instrumen negara dan fasilitasnya, tetapi urusan pelayanan dan prosesnya sebenarnya urusan personal dan kelompok, yang kemudian menjadi satu kesatuan. Artinya kalian cukup melakukan copy paste kelakuan sesuai dengan level anda dalam siklus korupsi SDA. Kalian dapat lakukan penyimpangan, misalnya manipulasi peta seperti perubahan peta yang tak perlu dikonversi menjadi boleh dieksplorasi, tawaran tambahan luas dengan suap, biaya amdal dan lainnya. Proses ini terjadi sangat alamiah, tidak ada paksaan, mengalir begitu saja, sehingga dari situlah kalian bisa korupsi dengan mengabaikan moral hazard pada izin lingkungan.
Laode Muhammad Syarief, Komisioner KPK periode 2015-2019, menjelaskan bahwa dari segi teori, lingkungan sangat interdependence, di mana SDA hanya bagian sedikit, sehingga jika dirusak berakibat untuk jangka panjang. Contoh tambang Gunung Botak, di Kabupaten Buru, Maluku, di mana hutan lindung dijadikan sebagai kawasan tambang dan hingga sekarang masih terus menerus beroperasi. Contoh kasus tambang di Sulawesi Tenggara, di mana terdapat banyak kasus tambang ilegal namun tak ada tindakan apa pun dari aparat. Di Konawe terdapat tambang yang dibiarkan terbuka setelah diambil hasilnya tanpa ada usaha perbaikan atau reklamasi setelahnya.
Kalian mungkin termasuk 1 persen dari jumlah penduduk yang menguasai 50,3 persen kekayaan negara. Kalian jelas mampu melakukan korupsi sektor SDA karena kalian mampu membayar perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan. Di perencanaan, kalian mampu mempengaruhi pembuatan perencanaan pemanfaatan, yaitu pada saat penyusunan dokumen KLHS. Karena bisa saja kalian kapasitasnya sedang sebagai anggota DPR atau pemegang otoritas lainnya, sehingga memiliki pengaruh terkait perencanaan tata ruang.
Kalian sebagai koruptor juga harus mampu melakukan copy paste keberhasilan para koruptor melalui pengeluaran ijin prinsip untuk pelepasan kawasan. Karena dengan mengeluarkan ijin prinsip akan mendapat uang yang cukup besar melalui proses suap. Kalian tidak perlu risau kalau saat mengeluarkan ijin prinsip kalian sedang mebuat landasan pelepasan kawasan. Tentu kalian tidak takut dihukum 4 tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp. 346,8 miliar terkait ijin kawasan.
Wahai para koruptor yang bukan dari kalangan pejabat. Jika kalian mendapatkan ijin untuk penanaman kelapa sawit, kalian justru hanya tebang pohon sudah mendapatkan keuntungan yang besar. Artinya biaya sewa sudah tergantikan dengan kayu-kayu yang kalian tebang. Seandainya pun lahan kau tinggalkan kalian sudah beruntung. Terkait pengawasan dan penegakan hukum terkait dengan kerusakan tambang tidak ada satu pun kasus yang disidik oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), padahal kerusakan sudah dalam contoh di atas dikorupsi. Pelanggaran terhadap UU pertambangan, mengapa investigasi pidana korupsi tidak dilakukan.
Wahai para koruptor, ketahuilah! Walaupun perangkat hukum sudah tergolong lengkap, aparat penegakan hukum yang kalian bayar mahal tentu memahami anatomi jaringan semua UU sektoral. Misalnya terdapat UU Tipikor, UU TPPU, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, dan lain-lain. Mungkin penasehat hukum kalian lebih hafal UU terkait daripada KPK untuk memahami cara korupsi terkait SDA. Praktik suap sering terjadi karena justru seakan oknum pemerintah memfasilitasi penyelewengan uang negara melalui kebijakan. Pemerintah bisa kalian nilai sering membiarkan kejahatan kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari perusakan lingkungan maupun SDA. Kalian mungkin tambah yakin bahwa UU Minerba yang baru disahkan justru dapat kalian manfaatkan untuk memperluas perusakan lingkungan. Kalian bisa korupsi SDA di daerah tambang dengan melakukan pemicuan konflik di kawasan tambang antar kelompok masyarakat. Isunya menjadi isu lingkungan bukan menjadi isu korupsi.
Tentu kalian menjadi tidak iba terhadap bencana ekologis seperti banjir, polusi udara, hingga deforestasi menjadi tragedi kemanusiaan seperti kematian akibat lubang tambang, penggusuran desa dan lainnya. Meski kalian membaca berita bahwa Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam, yang terdiri atas sejumlah LSM menilai bahwa korupsi di sektor SDA dapat menyebabkan hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Akibat pertambangan di dalam kawasan hutan, dapat menyebabkan negara kehilangan potensi PNBP sebesar Rp. 15,9 triliun per tahun. Hal ini disebabkan oleh 1.052 usaha pertambangan yang beroperasi di kawasan hutan tanpa melalui prosedur pinjam pakai. Belum lagi kerugian negara akibat pembalakan liar yang mencapai Rp. 35 triliun.
Sektor pertambangan dapat mengoptimalkan pendapatan negara melalui penagihan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) lebih dari 20 triliunan rupiah. PNBP yang pada 2016 mencapai Rp. 26 triliun telah berkurang menjadi Rp. 4,9 triliun per 20 Februari 2017. Program GNPSDA telah berhasil menertibkan ijin usaha pertambangan (IUP) melalui pencabutan sekitar 1.500 IUP di 31 provinsi. Ada 9 Kontrak Karya dan 22 perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) telah menandatangani naskah amandemen renegosiasi. Jika kabar tersebut benar maka hal tersebut akan menjadi langkah mundur bagi agenda pencegahan korupsi di Indonesia, khususnya pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam.
Membicarakan korupsi di sektor sumber daya alam sangat relevan karena posisinya secara ekonomi sangat tinggi, yang memberikan 12-38 persen dari PDB Indonesia dengan serapan tenaga kerjanya sekitar 40 juta orang, meski dari segi pajak hanya berkontribusi sebesar 3,87 persen. Pada 2018 KPK mencatat di sektor minerba potensi kerugian yang bersumber dari kurang bayar pajak sebesar Rp. 15,9 triliun, belum lagi dari administrasi serta perizinan yang buruk mencapai Rp. 28,5 triliun.
Potensi kerugian korupsi SDA mencapai triliunan rupiah dan bahkan bisa mencapai ratusan triliun jika diakumulasi dari waktu ke waktu (Hariadi, 2010). Selain berdampak secara finansial, korupsi sektor sumber daya alam juga dapat berdampak pada terjadinya pengrusakan fungsi ruang. Akumulasi dari semua dampak terkait SDA yang dikorupsi ini menyebabkan kerugian jauh lebih besar dari perkirakan. Salah satu implikasi korupsi bagi penggunaan ruang bisa dilihat dari sektor perijinan di mana banyak terjadi tumpang tindih perijinan yang berpotensi menyebabkan konflik. Di Bali dan Nusa Tenggara misalnya, terdapat 50,38 persen, lalu di Kalimantan sebanyak 42,12 persen, begitu juga di Sumatera, Jawa dan Papua.
Wahai Koruptor, entah kalian pejabat atau bukan, kalian tidak memiliki iba kepada bangsamu, terutama kepada generasi penlanjutmu.
Hardiwinoto, 21 12 20