hardiwinoto.com-Agus M. Irkham (2012). Menjual es krim dii kutub utara. Kalimat yang sepertinya paling tepat mewakili betapa susahnya menjual buku ke mahasiswa Semarang. Buku kuliah sekalipun. Mereka lebih memilih menjadi intelektual pembajak alias fotokopi. Tak salah jika sebagian penerbit mengatakan tradisi literer mahasiswa Semarang memprihatinkan jika tak mau disebut rendah. Paling tidak dibandingkan dengan Bandung, Malang, dan Yogya. Tetapi dulu. Awal tahun 2000an, Togamas, toko buku yang menyasar mahasiswa di buka di Semarang. “Saya pilih Semarang karena ini kota besar terdekat yng saya tahu,” ujar Vincent, pimpinan Togamas Semarang pada waktu itu. Semula ia berniat membuka Togamas di Salatiga, kota kelahirannya, tapi urung karena perhitungan bisnisnya tidak masuk.
Vincent menilai Semarang lebih menjanjikan ketimbang Salatiga, dilihat dari pendapat masyarakat dan jumlah perguruan tinggi. Pasar mahasiswa belum tergarap dengan baik, apalagi waktu itu belum ada toko buku diskon murni di sana. Padahal, buat para mahasiswa selish harga adalah persoalan sensitive. Ada sih, lapak-lapak yang menjual buku dengan harga miring, tapi aksesnya sulit, tidak nyaman, dan tingkat kelengkapan buku rendah. Vincent tidak sepenuhnya setuju dengan cap bahwa minat baca masyarakat Semarang, khususnya mahasiswa, sangat rendah.
“Oplah Koran di Semarang termasuk cukup tinggi, jadi minat orang baca Koran pasti tinggi,“ ucap Vincent. “Lihat saja Koran gratis yang ditempel di tepi jalan, banyak tukang becak, sopir angkut, pedagang warung, termasuk mahasiswa, yang rebutan membacanya,” tambahnya.
Karena sasaran pasarnya mahasiswa, Vincent memilih lokasi yang dekat dengan kampus, tepatnya di jalan Singosari Raya no. 25 atau sekitar 500 meter di sebelah selatan kampus Undip. Saat pertama buka, 31 Maret 2001, Togamas menyediakan 15.000 eksemplar buku. Dengan perbandingan buku kuliah dan umum 50:50. Untuk memenuhi angka sebesar itu, Vincent tidak menghadapi kendala yang berarti. Ia sangat diuntungkan dengan hubungan baik yang sebelumnya terjalin antara penerbit dengan Togamas Malang dan Yogyakarta. Bahkan, para penerbit sangat mendukungnya dengan memberi berbagai macam keringanan dan kerjasama khusus. Misalnya, kerja sama dengan 50 lebih penerbit untuk meluncurkan program buku untuk rakyat. Semua buku di diskon 40 hingga 70  persen. Itu sangat membantu memperkuat imag Toga sebagai toko buku diskon,” tegas Vincent yang juga aktivis lingkungan itu.
Strategi apa yang dipakai Vincent  untuk menggaet pembeli? Seperti yang berlaku di Togamas Malang dan Yogya, Vincent mengambil kebijakan harga, faktor yang masih sangat direwelkan oleh masyarakat Semarang, terlebih mahasiswa, diskon setiap hari. Namun, awalnya strategi diskon kurang mempan. Masyarakat justru curiga dan menganggap diskon tiap hari hanya slogan kosong alias bohong. “Untuk meyakinkan masyarakat, kami sampai harus membagikan brosur khusus berisi penjelasan dan juga member jaminan, kalau ternyata kami bohong, kami bersedia mengembalikan uangnya,” jelas Vincent.
Hasilya? Penjualan pada tahun pertama masih kecil. Bahkan, pada tahun kedua masih merugi sehingga harus ada penambahan modal. Untuk memenuhi tambahan modal tersebut, rumahnya di salatiga dijual, istri dan kedua anaknya pun ia boyong ke Semarang.
Setelah memasuki tahun ketiga, barulah Togamas mulai tumbuh pesat. Tiap tahun rerata pendapatannya di atas dua digit. Para pengunjungnya pun tidak hanya mahasiswa, kini lebih variatif: pelajar, orang tua, bahkan anak-anak. Cerita sukses Vincent sebenarnya mengabarkan kepada khalayyak bahwa minat baca warga Semarang khususnya mahasiswa, tengah mekar.
Gairah aktivitas literasi di Semarang kian menghangat. Selain Togamas, sedikitnya ada enam toko buku yang tergolong besar. Trubus di jalan Palmularsih yang khusus menjual buku buku pertanian, perikanan, dan tanaman; Gunung Agung di Citraland, Simpang Lima, yang mempunyai stok majalah terlengkap; Merbabu di jalan Pandanaran dan Matahari, Simpang Lima, yang juga menjual stationary termurah; Toha Putra di Kauman yang khusus menjual kitab kuning, Al qur’an, dan buku-buku agama; Aneka Ilmu di Johar; Gramedia di jalan Pandanaran dan Java Mall yang memiliki stok buku baru terlengkap. Semuanya ramai dan laku.
Selain toko buku, gairah keberaksaraan di Semarang juga dapat dicandra melalui keberadaan penerbit baru, diadakannya beragam pelatihan menulis, serta maraknya acara perbukuan. Toko buuku sebagai gerai wisata adab pun kini tidak hanya berjualan, tapi juga menggelar acara perbukuan. Misalnya, peluncuran buku, temu penulis, dan bincang buku. Pameran buku yang sebelumnya belum tentu diadakan setahun sekali saja, sekarang minimal tiga kali digelar dalam setahun. Itu belum termasuk pameran yang diprakarsai kampus.
Gong, Gola A. and Irkham, Agus M. 2012. Gempa Literasi, Dari Kampung Untuk Nusantara. GKP(Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.