Hardiwinoto
Saya ditanya kawan, bagaimana sikap anda ketika pak Din dituduh radikal. Saya jawab, memang kenapa jika pak Din radikal. Bagus itu, jika pak Din dianggap radikal. Semoga kata radikal bisa mengalami perbaikan makna. Bagaimana kalian malah senang pak Din dituduh radikal? Saya katakan senang jika pak Din dianggap radikal, bukan dituduh radikal. Tolong dicermati perbedaan kata dianggap dan dituduh radikal. Jika dituduh artinya pak Din belum tentu radikal. Kalua dianggap berarti pemilik persepsi yakin pak Din radikal. Saya termasuk yang menganggap pak Din radikal. Dan saya senang pak Din bersikap radikal.
Ngawur kowe, kata kawan saya sambal nyengir. Saya jawab, saya tidak memiliki kapasitas membela pak Din. Saya hanya mau membela kata radikal. Wah tambah absurd kamu, kawan saya terperangah. Saya tidak rela kata radikal dituduh jelek. Saya senang pak Din dianggap radikal, biar kata radikal menemukan jati dirinya. Kata radikal melekat pada perubahan menuju kebaikan sehingga kata radikal diinginkan banyak orang. Mereka tidak curiga terhadap perbuatan radikal. Tiba-tiba banyak pembela pak Din. Mereka tidak rela pak Din dituduh radikal. Saya jawab, ah itu kegaduhan yang disengaja untuk menandingi kegaduhan sebelumnya tentang ocehan bernada kebencian oleh Abu Janda. Maka dibuat kegaduhan baru. Karena masyarakat cenderung sebagai penonton. Bagaikan nonton film, drama, atau sandiwara, jika tidak ada konflik dan kegaduhan tidak seru. Maka kegaduhan diadu dengan kegaduan yang lain. Intinya lupa substansi yang terjadi. Biar saja kata radikal melekat dengan orang-orang baik, nanti kata radikal menjadi baik.
Mari kita pahami makna kata radikal. Secara leksikal, kata radikal dari bahasa Latin yaitu radix yang artinya benih atau inti. Hal tersebut bisa dimaknai benih jiwa yang menghendaki perbaikan. Ibarat pusaka tergantung siapa yang memegangnya. Kata radikal dapat ditransformasi menuju perbaikan tatanan sosial dan politik jika di dalam diri orang yang mencita-citakan kebaikan. Presiden kita menggunakan diksi revolusi mental menjadi jargon kekuasaan. Apa beda kata radikal dan revolusi? Ketika kata revolusi akhlak digunakan Habib Riziq banyak kalangan terperangah. Kata radikal juga sepadan dengan kata funadamental. Toh kata fundamental sering digunakan dalam konteks ekonomi terkait dengan penjelasan perubahan ekonomi secara fundamental. Artinya kata radikal, revolusioner, fundamentali, dan kata sepadan lainnya tergantung kata yang melekati dan siapa penggunanya.
Mari kita tengok sejarah sejenak. Kata radikal melekat dengan sejarah kemerdekaan kita. Perhatikan, para pahlawan mengambil sikap radikal dalam memimpin perlawanan terhadap Belanda. Sultan Agung tidak mau menerima upeti Belanda yang ingin menguasai pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa untuk kepentingan perdagangan. Sultan Agung juga menolak jika sawah, hutan dan perkebunan milik Mataram hendak dikuasai Belanda. Padahal jika Sultan Agung menerima upeti tentu sangat besar. Namun Sultan Agung mengambil jalan radikal. Diponegoro juga demikian. Jika Diponegoro mau menerima upeti dan setuju privatisasi hutan milik Mataram (baca dikuasai VOC), tentu Diponegoro naik tahta menjadi Sultan (Raja) Mataram. Tetapi Diponegoro mengambil jalan radikal mencabuti pathok-pathok tanda penguasaan hutan Mataran oleh Belanda. Kemudian pathok-pathok tersebut diganti tombak-tombak sebagai simbul Diponegoro menantang perang terhadap Belanda. Diponegoro memilih Goa Selarong sebagai pusat perlawanan dari pada duduk di dampar kencana Singgasana Mataram.
Sekelumit kisah Surya Mentaram. Beliau adalah salah satu murid Ahmad Dahlan. Kisah yang jarang dieksplorasi menjadi pengetahuan umum. Saya sampaikan kisah ini untuk kontekstualisasi kata radikal ke masa kini. Surya Mentaram ingin mengikuti sang Guru untuk mendirikan sekolahan yang bukan madrasah. Jarang diketahui, banyak mengira pendiri taman siswa adalah Ki Hajar Dewantata, padahal Dewantara hanya diminta Surya Mentaram jadi guru atau mulang. Surya Mentaram menjual seluruh tanah dan rumah serta kekayaan untuk mendirikan Taman Siswa. Stelah Taman Siswa berdiri dan Ki Hajar Dewantara gelem mulang. Surya Mentatam tapa mlaku atau tapa ngrame. Itulah sikap radikal Surya Mentaram. Dia menghilang dari keramaian dunia. Itulah sikap radikal.
Dalam konteks Muhammadiyah, sedikit kita bahkan tidak ada yang mau menjawab beberapa pertanyaan berikut: Kenapa Ahmad Dahlan tidak bergabung Sarekat Islam, tetapi bergabung ke Budi Utomo; Kenapa Ahmad Dahlan merestui Suryo Mentaram mendirikan Taman Siswa dan Peta (Pembela Tanah Air), padahal beliau muridnya; Kenapa Ahmad Dahlan mengajar di Kwik School milik Belanda; Kenapa Ahmad Dahlan menjelaskan perlunya membetulkan shof; Kenapa Ahmad Dahlan membangun Langgar Kidul, bukan tetap bertahan di Masjid Gedhe. Sebuah perbuatan yang sangat radikal saat itu.
Mari kita pahami sejarah dengan permenungan. Orang-orang baik yang menjadi pahlawan adalah orang-orang radikal. Kita mulai narasikan bahwa Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, Soekarno dan pahlawan lainnya adalah profil-profil radikal. Munculnya Muhammadiyah dan NU berangkat dari semangat radikal. Dalam NU ada narasi resolusi jihad. Sukarno dijuluki Bapak Revolusi.
Di media banyak nada terkesan membela pak Din. Tetapi kenapa tidak mau membela ke-radikal-an pak Din. Yaitu ikut nyengkuyung apa yang dicita-citakan pak Din. Maka dari itu saya justru setuju jika pak Din dianggap radikal. Dengan begitu definisi radikal menjadi punya narasi yang baik. Persepsi kata radikal bisa berubah melekat pada prilaku orang yang baik, kata tersebut menjadi baik. Kita tidak perlu ikut ubyang-ubyung membeci kata radikal. Kita narasikan aja kata radikal menjadi alat pukul balik bagi pembenci cita-cita pak Din. Ibarat tai chi master, justru pukulan lawan dijadikan alat untuk merobohkan lawan tersebut. Pukulan lawan tidak di counter, tetapi ditarik sehingga lawan roboh. Maka membela pak Din bukan meng-counter atas tuduhan radikal. Tetapi menarasikan radikal pada substansi, sehingga kita perlu membela kata radikal yang melekat pada cita-cita pak Din menuju kebaikan.
Kini, banyak orang rame-rame, tergopoh-gopoh membela pak Din. Isi pembelaan rata-rata mengatakan tidak rela pak Din dituduh radikal. Yang rame-rame membela pak Din semua kalangan, para pejabat, para pemuka ormas, para tokok publik, para aktivis, dan lainnya. Saya kira Sebagian diantara mereka “menumpang” supaya kelihatan menolong. Tetapi sebenarnya malah melemahkan. Pembelaan sekedar membuat gaduh. Dan pembuat gaduh sukses. Karena gaduh betulan. Kegaduhan satu belum selesai ciptakan kegaduhan berikutnya. Membela pak Din adalah mengikuti ajarannya atau ajakannya. Membela pak Din adalah membantu pak Din mencapai cita-citanya.
Hardiwinoto, 14 02 21