Dr. Hardiwinoto, SE. MSi.
Al-Qur’an memberikan banyak perhatian terhadap makna kekuatan. Ada 42 kali padanan kata yang bermakna sebagai kekuatan. Menurutnya, banyaknya penyebutan pesan bagi umat muslim untuk hidup sebagai manusia unggul dan berkualitas. “Maka orang yang kuat, orang yang berkualitas itu adalah orang yang mentalnya kuat dan fisiknya juga kuat.
Kata yang bermakna kekuatan seringkali dipadankan dengan makna kemampuan menjalankan tugas seperti sifat keperkasaan Allah (Qawiyun Aziz), sifat malaikat (Syadidul Quwwah), sifat para nabi (Qawiyun Amin) dan lain sebagainya. Mengutip kisah Thalut, bahwa Al-Qur’an dan hadis banyak mengutamakan seorang muslim yang memiliki kekuatan fisik dan ilmu. “Mukmin yang kuat dalam pemahaman saya adalah yang visioner. Karena dengan memiliki visi yang kuat, memiliki daya juang yang tinggi. Selain kekuatan mental, fisik dan ilmu juga harus kuat, unggul dan berkualitas dalam bidang ekonomi.
Sebagaimana hudist berbunyi, “Sesungguhnya, jika engkau tinggalkan pewaris-pewarismu dalam keadaan mampu, lebih baik daripada mereka dalam keadaan kurang mampu, menadahkan telapak tangan kepada sesama manusia,” (HR Bukhari Muslim).
Manusia adalah makhluk penuh potensi dan terbaik (ahsanu taqwiim). Potensi kemampuan berpikir menjadi makhluk terbaik dan mulia. Bahkan lebih mulia dari para malaikat. Dengan akalnya, bisa menundukkan alam semesta (taskhiir). Di sisi lain, manusia memiliki kelemahan (dhu’f) yang dapat terjatuh ke dalam kehinaan yang terendah (asfala saafiliin). Bahkan lebih buruk dari hewan (kal-an’aam bal hum adholl).
Allah mengutus para nabi pemberi petunjuk dan pengingat (dzikra) dalam menjaga kemurnian fitrah manusia. Dengan Al-Qur’an, manusia bisa menghadapi gejolak nafsunya di satu sisi. Dan dengannya, manusia akan mampu menghadapi tipu daya dunia yang keras. Secara global, pusat perhatian Al-Qur’an itu ada pada tiga hal; Allah, manusia, dan sistem hidup. Sistem hidup itulah yang belakangan dikenal dengan Syariah atau aturan-aturan yang mengatur antara manusia dengan Tuhan di satu sisi. Dan antara manusia dengan sesama manusia, masyarakat, dan alam sekitarnya sisi lain.
Manusia unggul menurut Al-Qur’an adalah manusia yang berwawasan iqra’, yaitu secara terus menerus mampu mengembangkan pemikiran dan wawasan untuk tujuan memahami rahasia ciptaan Allah (khalq). Sehingga mampu mengenal alam dunia dan akherat. Manusia uggul dalam pandangan Al-Quran bercirikan “ulul albab”.
Manusia ulul albab adalah manusia yang mampu mengombinasikan antara ketajaman hati dan kecermelangan akal.Manusia unggul, digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut: “Yaitu mereka yang mengingat Allah (dzikir) dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring (di setiap saat dan keadaan). Dan mereka yang berpikir tentang penciptaan langit dan bumi”.
Manusia ulul albab sebagai cendekiawan dalam pijakan spiritual, yaitu maju ilmu pengetahuan tanpa kehilangan spiritual, bercirikan kesalehan. Yaitu manusia yang dalam hidupnya selalu menghadirkan nilai-nilai keselahan (kebajikan) dalam keadaan bagaimanapun selalu menghadirkan kemaslahatan bagi orang lain.
Ketika kata iman tanpa kesalehan, patut disangsikan keimanannya. Kesalehan yang Khaer yaitu kesalehan mentalitas juga Ma’ruf yaitu kesalehan telah tertransformasi ke dalam prilaku yang membudaya. Artinya, kebaikan itu telah menjadi kultur yang tak terpisahkan dari karakter manusia. Lalu menjadi Ihsan, yaitu karakter atau budaya kebaikan tadi terbangun karena kesadaran hati (lillahi). Menjadi manusia yang shaleh, yaitu memiliki kebajikan yang mencakup semuanya.
Pandangan Islam tentang menjadikan anak kita sebagai generasi yang kuat. Ada pepatah Arab yang sudah akrab di telinga, “Pemuda kita saat ini adalah tokoh-tokoh di masa yang akan datang”. Mempersiapkan anak kita menjadi generasi yang kuat tentu saja akan mempengaruhi potret Islam di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Kekhawatiran terhadap dampak munculnya generasi tidak kuat atau lemah di masa yang akan datang bahkan menjadi tema pembicaraan, yaitu firman Allah SWT:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (Q.S. al-Nisa’ [4]: 9).
Perintah untuk mewapadai munculnya generasi lemah pada ayat itu diungkapkan dalam bentuk kata kerja (fi`il) mudhari yang diawali dengan “lam amar”, lam yang memberikan fungsi perintah (liyakhsya), sehingga terjemahannya “hendaklah mereka takut”. Ada beberapa kosa kata Bahasa Arab yang terjemahannya takut, yaitu “khasy-yah”, “khauf”, “rahbah”, “wajl”, dan “haibah”.
Khauf adalah rasa takut yang secara spontan diikuti gerakan fisik. Misal, lari karena takut harimau. Adapun khasy-yah adalah rasa takut yang dihadapi dengan tenang sambil menyusun strategi untuk menghindarinya. Sedangkan rahbah lari dari objek yang ditakuti dengan mata terus mengawasi objek tersebut. Untuk makna wajl bermakna bergemuruhnya hati karena takut kepada makhluk. Sementara haibah berarti takut karena melihat kewibawaan objek yang ditakuti, takut yang disertai pula dengan pemuliaan dan kecintaan.
Terlihat bahwa diksi “khasy-yah” sengaja dipakai ayat ini untuk memberikan petunjuk bahwa kekhawatiran/ketakutan munculnya generasi muslim yang lemah di masa yang akan datang harus dihadapi dengan tenang, jangan dihindari atau diabaikan, melainkan terus mempersiapkan berbagai strategi agar rasa takut tersebut tidak terjadi. “Khasy-yah” biasanya digunakan untuk menggambarkan rasa takut orang yang ilmunya luas dan mendalam (ulama), sebagaimana ayat “innama yakhsyallah min ibadihil-ulama’. Dengan demikian, maknanya lebih dalam lagi, yaitu para pakar muslim atau ulama’ memiliki kekhawatiran ini dan segera menyusun berbagai strategi untuk mencari solusi.
Ungkapan “wal yakhsya al-ladzina…” (Dan hendaklah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka takut). Objek (maf`ul) yang perlu ditakuti tidak disebutkan. Itu sebabnya, para mufasir berbeda-beda dalam menentukan obyek tersebut. Tidak disebutkannya objek pada ayat ini dapat kita baca bahwa dampak yang diakibatkan munculnya generasi lemah itu sangat banyak, bisa bersifat vertikal maupun horizontal. Dampak vertikal menyangkut pertanggungjawaban yang harus disampaikan kepada Allah. Dampak horizontal menyangkut ekses yang terkait dengan relasi antar umat, mulai inferiority (keadaan/sifat rendah), ditindas, dijajah, terbelakang, kemiskinan, kejumudan, dan lain sebagainya. Dampak ini bisa berbeda-beda sesuai konteks zaman dan tempat.
Ada dua strategi yang ditawarkan ayat ini. Pertama, bertakwa kepada Allah. Ini terkait dengan penerjemahan nilai-nilai transenden-keilahian dalam formula-formula empirik, rumusan-rumusan strategi berkenaan dengan mempersiapkan generasi rabbani, generasi yang kuat secara iman dan imun. Kedua, qawlan syadidan. Tafsir al-Jalalain menafsirkannya dengan “ucapan yang benar”. Tafsir al-Muyassar menafsirkannya dengan “qawlan muwafiqan lil-adl wal-ma`ruf”. Ini terkait dengan penerapan strategi yang sudah dirumuskan. Penerapannya harus dilakukan secara benar, adil, dan akurat, serta disesuaikan dengan konteks.
Apa strategi yang ditawarkan Nabi Muhammad Saw. untuk mengantisipasi kekhawatiran di atas. Ada tiga, “Ajari anak-anak lelakimu berenang dan memanah, dan ajari menggunakan alat pemintal untuk wanita.” (H.R. Al-Baihaqi). “Berenang” adalah simbol kekuatan fisik, skill, menguasai medan, dan pengetahuan. “Memanah” adalah simbol keakurasian, fokus, tepat sasaran, konsentrasi, dan sumber daya. “Memintal” simbol menyusun strategi, merapikan yang berantakan, mampu menyelesaikan masalah.
Pada zaman terdahulu, banyak pemuda Islam yang kuat karakter Islami. Generasi muda yang berkarakter tercantum dalam Al Qur’an surah Ali Imron ayat 139
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kalian orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
Ayat diatas tentang larangan bersikap lemah dan bersedih hati. Pemuda Islam harus menjadi tangguh, siap mengemban berbagai tugas mulia. oleh karena itu perlu penanaman mental keberanian sejak masa kanak-kanak. Berbagai macam sifat yang baik harus selalu diceritakan pada anak-anak kaum muslimin. Yaitu generasi yang memiliki keimanan kuat secara Aqidah dan Aqliyah. Hal tersebut senantiasa membentu pandangan dan sikap (nafsiyah) didasarkan pada keimanannya kepada Islam.