Hardiwinoto.com-Kami memang bersedih, karena kami selalu di siksa. Orang-orang terhormat menggunakan pena, kami menggunakan senapan, mereka adalah tuan tanah, kami adalah penguasa gunung (perampok tua dari Roccomandolf, Eric J. Hobsbawm, 2000).
Pernyataan di atas menggambarkan tentang perampok yang bersenjata senapan meri (iri) terhadap perampok yang bersenjata pena. Yaitu para tuan tanah. Kini, fenomena demikian juga terlihat nyata. Ada perampok dengan kekerasan, di tangannya bersenjata senapan, ada pula perampok yang ditangannya memegang pena, bersenjata pasal-pasal pada Undang-Undang atau peraturan tertentu. Tentu hasil rampokan yang didapat lebih menggunakan pena daripada menggunakan senapan.
Perampok atau bandit? Secara hukum, bandit adalah siapa saja yang termasuk ke dalam kelompok orang yang menyerang dan merampok dengan kekerasan. Mereka menjambret uang di jalan perkotaan, juga perampok yang terorganisir. Bahkan digunakan untuk melakukan pemberontakan oleh kelompok minoritas atau individual di dalam masyarakat petani untuk menentang kebijakan dari kota atau pemerintah. Dan bandit juga ada yang terhormat (bandit sosial), yaitu dalam bentuk perampokan oleh para ksatria (robber knights) untuk membela kaumnya yang tertindas yang tidak diuntungkan adanya kebijakan dari kota.
Hal pokok tentang bandit sosial di abad 19 adalah ksatria pelanggar hukum yang oleh raja dan Negara dianggap sebagai kriminal, tetapi mereka merupakan bagian dari masyarakat petani, yang mana oleh masyarakatnya dianggap sebagai pahlawan, pembela, penuntut balas, pejuang keadilan, bahkan mungkin sebagai pemimpin pembebasan, sebagai orang yang dikagumi, didukung dan di bantu.
Hubungan antara petani dengan pemberontak, orang buangan dan perampok membuat kebanditan sosial menjadi menarik dan signifikan. Hal ini yang membedakan antara kelompok kejahatan yaitu yang berasal dari gerombolan pejahat yang professional dengan para perampas mandiri (perampok biasa). Bandit sosial adalah fenomena yang universal dalam sejarah (Eric J. Hobsbawm, 2000)
Dalam buku Bandit Sosial di Makassar, yang ditulis M. Nafsar Palallo, 2008, memamparkan bahwa Gerakan sosial muncul akibat ketidakpuasan terhadap sistem politik, sosial, ekonomi, dan kultural yang terjadi. Setiap gerakan sosial akan muncul dengan bentuk gerakan masing-masing dan akan memunculkan seorang tokoh gerakan. Bandit sosial pada abad 19 muncul sebagai akibat kolonialisasi yang dilakukan oleh Belanda.
Eksploitatif oleh Belanda terhadap sektor pertanian dan perkebunan menyebabkan protes dari para petani dalam bentuk kerusuhan, yang dibalut doktrin jihad keagamaan untuk menguatkan semangat perjuangan. Ini yang pernah dilakukan oleh Diponegoro, Imam Bonjol, Hasanudin melawan VOC (Verenigde oost Indisch Compagnie). Gerakan bandit sosial dalam prakteknya sering melakukan penyerangan dan perampokan dengan kekerasan. Gerakan bandit sosial mengundang antipati jika tidak menilik lebih jauh alasan munculnya gerakan tersebut. Jika pada masa VOC isunya adalah penguasaan lahan pertanian dan perkebunan, kini merambah pada sektor pertambangan, perbankan, perdagangan, industri bahkan bisa jadi di sektor pendidikan, dan semuanya.
Teringat tokoh Robin Hood, bahwa ia sering melakukan perampokan terhadap orang-orang kaya yang tidak memiliki kesalehan sosial. Robin Hood membagikan hasil rampokannya kepada orang-orang miskin. Itulah gerakan sosial yang dilakukan oleh Robin Hood. Hal demikian juga pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga ketika masih muda. Padahal Ia adalah putra Adipati (ksatria), tetapi Ia dijuluki maling budiman. Yaitu mencuri untuk kaum miskin.
Di Sulawesi, terdapat gerakan yang dipimpin oleh I Tolok Daeng Magassing di Tana Makassar (Butta Mangkasara). Gerakan tersebut dapat digolongkan sebagai gerakan bandit sosial karena melakukan perampokan, pemerasan, dan penyerangan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai kaki tangan penjajah. Gerakan perlawanan diinisiasi oleh masyarakat biasa atau rakyat jelata, namun demikian tidak ada artinya bagi peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah kolonialisme. Baru, setelah kerajaan Gowa kalah dan melahirkan perjanjian Bungaya yang berisi pengambilalihan wilayah kerajaan Gowa oleh VOC. Yaitu, ditandai dengan perintah untuk membongkar semua benteng, tidak hanya dimaknai secara kehancuran fisik, tapi juga sebagai kehancuran simbol tradisional Makassar, sehingga memicu gerakan rakyat yang dipimpin oleh para ksatria.
Praktek kebanditan ditujukan kepada siapa saja yang bekerja sama dengan Belanda. Hal tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap dominasi Belanda. Kini, praktek kebanditan sosial bisa bangkit jika pemerintan justru membela asing dan menistakan rakyat. Sebagaimana ketika Pemerintah Hindia Belanda melakukan pengambilalihan tanah-tanah milik penguasa Bumiputra, dan menangkap tokoh masyarakat yang dianggap berpengaruh. Pertanyaan, apakah kini pemerintahan kita sudah mirip dengan ketika Pemerintah Hindia Belanda?
***
Cara yang paling halus dalam menuntut keadilan bisa saja dilakukan, akan tetapi jika sampai pada kadar tertentu, dimana para penguasa menutup telinga dan membangun tembok tinggi bagi para penuntut keadilan maka disitu teriakan lebih keras, atau gerakan merobohkan tembok tersebut. Bandit sosial dapat melakukan gerakan protes yang terorganisir dengan menggunakan kekerasan semata-mata untuk menuntut keadilan. Para bandit sosial dilihat sebagai penjahat oleh pemerintah namun di sisi lain bisa dilihat sebagai pahlawan karena dianggap sebagai pejuang keadilan dan penuntut balas atas tindakan semena-mena.
Analogi, meski Negara atau penguasa Negara menganggap kriminal pada seseorang, tetapi kenyataan yang dilakukan adalah pembelaan terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Yaitu membela kepentingan-kepentingan rakyat yang diabaikan oleh pemerintah, maka muncul kepahlawanan baginya, meski pemerintah menganggapnya sebagai musuh Negara. Dan di situlah mulai muncul demontrasi, dan bisa membesar memberontak, bahkan makar. Hal demikian jika rakyat semakin sadar bahwa Negara memakai pena dalam merampok hak hak rakyat, sedangkan bandit sosial merampok memakai senapan. Bandit sosial dahulu berasal dari para ksatria yang membela kelompok petani, yang lahannya diambil alih oleh kompeni.
Kini, fenomena itu nampak terjadi lagi. Bandit sosial dipicu oleh distribusi hasil ekonomi yang timpang. Bandit sosial berkeinginan untuk menolong kaum lemah yang tak kebagian kue ekonomi, sementara ia tak memiliki saluran kebijakan tentang bagaimana mendistribusikan kekayaan ekonomi kepada masyarakat miskin. Bandit sosial bisa menjadi pahlawan walau ia melanggar hukum formal, jika kesenjangan sangat nampak. Yaitu ditandai oleh beralihnya kekuasaan ekonomi pribumi ke asing.
Hardiwinoto, Stabilitas, Edisi Juni-Juli 2017