Hardiwinoto.com-Dalam sejarah perkembangan Islam, kemunculan beberapa mazhab merupakan fonomena tersendiri yang tidak bisa dipungkiri. Perbedaan-perbedaan pendapat baik yang berkaitan dengan furu’uddin maupun furu’uddin adalah salah satu penyebab utama munculnya mazhab-mazhab tersebut. Bukan hanya dari sisi muatan ajaran saja mereka berbeda akan tetapi dari sisi metode penetapan kebenaran (berargumen) ajaranpun terjadi perbedaan pendapat. Salah satu sarana dalam menetapkan kebenaran ajaran agama yang menjadi pemicu perbedaan pendapat antar mazhab-mazhab Islam adalah tentang peranan argumen rasional dalam menetapkan kebenaran ajaran agama. Disini kita akan sebutkan tiga pendapat dari kelompok-kelompok Islam perihal argumentasi rasional:
1- Mazhab Zahiri (kontekstualisme): mereka hanya mengambil tekstual (zahir) suatu teks agama tanpa memperdulikan makna yang ingin disampaikan oleh pembicara [2](mutakallim) dibalik itu. Mereka menolak dengan tegas segala macam ta’wil ataupun argumentasi akal. Merekapun berusaha untuk menjaga dimunculkannya permasalahan dan pemikiran baru yang masuk dalam ajaran agama, oleh karenanya mereka menolak berbagai pertanyaan yang menimbulkan munculnya permasalahan baru. Anas bin Malik adalah contoh dari tokoh pemikiran diatas dimana ia pernah ditanya tentang ayat:“Allah bersemayam disinggasana (arsy)” (Qs Thaha:5)
maka Anas menjawab: “makna istiwa’ (bersemayam) sudah bisa dipahami, bentuk (kualitas) istiwa’ tidak dapat diketahui, dan mengimani hal tersebut adalah suatu kewajiban, sedang bertanya tentang hal tersebut merupakan bid’ah”.[3]
2- Mazhab Aqli (rasionalisme): mereka meyakini bahwa segala macam ajaran agama bisa dideteksi melalui rasio. Mereka meyakini bahwa wajib dan haram dalam ajaran agama bisa diketahui oleh rasio manusia dimana itu semua bertumpu pada landasan kaidah “wujub syukril-mun’im” (kewajiban berterima kasih pada pemberi nikmat) sedang kaidah itu bertumpu pada rasionalitas baik-buruk.
3- Mazhab Insijam (komplementerisme): mereka meyakini adanya relasi antara rasio dengan syariat (agama). Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu dan syariat –dengan arti umum- merupakan sumber pengetahuan manusia, maka rasio dan akalpun dihukumi seperti itu pula. Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu (agama) merekomendasikan banyak hal yang bersifat obyektif maka begitu pula akal (rasio).
Dikarenakan disini kita bukan dalam rangka menjustifikasi manakah dari ketiga kelompok diatas yang sesuai dengan ajaran Islam maka disela-sela pembahasan akan kita singgung sedikit tentang argumen kelompok yang mengatakan adanya relasi antara akal dan teks agama yang sesuai dengan topik kita.