Hardiwinoto.com-Pembiayaan Daerah Dan Teori Sewa Aset
Pembiayaan Daerah
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah,tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan ini diperlihatkan dalam suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI 4 menjelaskan bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh :
- Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah kabupaten/kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan pajak pusat dan pajak propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
- Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah, sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan p Dari segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
- Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah. Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.
- Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah Provinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%
- Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil), sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu. Demikian pula, distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD) tertinggi dengan terendah mencapai 600 %. Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
Teori Sewa Aset
Salah satu hal yang paling penting cara mengalokasikan tanah pada berbagai alternatif pemakaian dapat menggunakan teori sewa tanah dan alokasi tanah. Sewa tanah adalah harga atas jasa tanah, sehingga menunjukkan faktor penentu bagi penyesuaian penggunaan input (faktor produksi) dan output (hasil) di pasar. Sewa tanah adalah harga/nilai jasa yang dihasilkan oleh tanah selama suatu periode tertentu, sehingga suatu sewa tanah memiliki dua dimensi pengukuran yaitu waktu dan unit. Untuk perkotaan, penggunaan tanah pada umumnya masih harus ditambah dengan suatu bangunan yang diletakkan di atas tanah yang bersangkutan. Nilai tanah yang tidak diusahakan adalah harga tanah tanpa bangunan diatasnya. Sedangkan nilai tanah yang diusahakan adalah harga tanah ditambah dengan harga bangunan yang terdapat diatasnya.
Beberapa teori tentang sewa aset, diungkapkan oleh David Ricardo dan Von Thunen. Secara lebih detail dijelaskan dalam penjelasan berikut:
1. Teori David Ricardo
David Ricardo mempertimbangkan faktor kesuburan lahan. Untuk menghasilkan satu satuan unit produksi diperlukan biaya rata-rata dan biaya marjinal yang lebih rendah. Makin rendah tingkat kesuburan, maka makin tinggi pula biaya-biaya untuk mengolah tanah dan keuntungan per hektar tanah semakin kecil. Nilai sewa tanah yang lebih subur lebih tinggi dibanding nilai sewa tanah yang kurang subur. Menurut Ricardo, sewa lahan (land rent), adalah surplus ekonomi suatu lahan yang dapat dibedakan atas surplus yang selalu tetap (rent as nan unearned increment), dan surplus sebagai hasil dari investasi (rent as return on investment). Surplus tetap adalah surplus yang selalu tetap atau mendapat hasil tanpa berusaha (windfall return), yang diperoleh akibat pemilikan lahan. Sedangkan surplus sebagai hasil dari investasi dalam pengertian ini lahan dipandang sebagai faktor produksi. David Ricardo mengatakan bahwa jenis tanah berbeda-beda. Produktivitas tanah yang subur lebih tinggi, berarti untuk menghasilkan satu satuan unit produksi diperlukan biaya rata-rata dan biaya marjinal yang lebih rendah. Makin rendah tingkat kesuburan, maka makin tinggi pula biaya-biaya untuk mengolah tanah dan dengan sendirinya keuntungan per hektar tanah semakin kecil pula.
2. Teori Von Thunen
Von Thunen (1826) menambah kekurangan teori sewa tanah David Ricardo yaitu mengenai jarak tanah dari pasar. Apakah tanah subur yang jaraknya dekat dengan pasar dan yang jauh dari pasar akan sama sewanya? Hal ini setelah dikaji ternyata beda karena semakin jauh dari pasar semakin mahal biaya transportasinya. Beberapa hal yang mempengaruhi sewa tanah:
- Kualitas tanah yang disebabkan oleh kesuburan tanah, pengairan, adanya fasilitas listrik, jalan dan sarana lainnya;
- Letaknya strategis untuk perusahaan/industri; dan
- Banyaknya permintaan tanah yang ditujukan untuk pabrik, bangunan rumah, perkebunan.
Von Thunen juga mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan.
Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Dalam model tersebut, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut:
- Wilayah bersifat terisolir maupun terbuka berpengaruh pada nilai pasar dari kota satu dengan kota yang lain.
- Tipe permukiman antara yang padat di pusat wilayah dan pemukiman yang menjauh dari pusat wilayah.
- Seluruh wilayah model memiliki iklim, jenis tanah dan topografi.
- Biaya pengangkutan sesuai dengan situasinya ditentukan oleh berat barang jenis bawaannya.
- Perbedaan jarak ke pasar dan semua faktor produksi digunakan mempengaruhi penggunaan tanah.