Wahai para koruptor, saya kasih tahu. Banyak uang yang bisa kalian korupsi di saat pandemi. Pandemi yang memerosotkan perekonomian pun tidak perlu memunculkan iba di hati kalian. Justru kalian berkesempatan untuk korupsi. Kalian bisa belajar dari kasus Mensos Juliari Peter Batubara yang terbukti korupsi Bansos Covid-19 oleh KPK. Yaitu belajar kebajikan dari kasus tersebut atau malah belajar bagaimana bisa aman dari korupsi sejenis bansos Covid-19.
Wahai para koruptor, ada pernyataan yang bisa kalian manfaatkan agar korupsi kalian aman. Tenggelam ditelan kegaduhan. “Korupsi menyertai kegaduhan” atau “kegaduhan menyertai korupsi”. Kegaduhan bisa kalian ciptakan. Karena kegaduhan demi kegaduhan dapat kalian viralkan untuk menyembunyikan aksi korupsi kalian.
Menko Polhukam, Luhut Pandjaitan saat menggelar konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam, yang diliput oleh Faizal Fanani di Liputan6 (3/12/2015) menyatakan bahwa negeri terus menerus dilanda korupsi dan kegaduhan. Hal demikian saya artikan korupsi menjadi sumber kegaduhan, atau kegaduhan menyebabkan korupsi, atau pula sebagian uang hasil korupsi untuk membiayaai kegaduhan. Kegaduhan korupsi menyertai dan atau disertai kegaduhan.
Wahai para koruptor, perhatikan secara seksama. Kepulangan HRS menjadi topik yang membarengi kasus korupsi Menteri Sosial Juliari Batubara, suasana menjadi gaduh. Kegaduhan membarengi korupsi atau korupsi membarengi kegaduhan. Pimpinan MPR RI menggelar pertemuan dengan pimpinan KPK di Ruang Rapat Pimpinan MPR (14/1/2020) menyepakati, bahwa pemberantasan korupsi supaya tidak memunculkan kegaduhan.
Wagai para koruptor, pemberantasan korupsi oleh KPK memang kerap menimbulkan kegaduhan. Oleh karena itu perlu kalian buat kegaduhan yang lebih gaduh, supaya opini korupsi kalian kalah gaduh dengan kegaduhan yang kalian buat. Kegaduhan lawan dengan kegaduhan. Mosok kalian mampu korupsi triliyunan, kalian tidak sanggup membuat kegaduhan lain, jika biaya hanya milyaran rupiah.
Dengan demikian opini korupsi kalian berlangsung tanpa terdengar karena kalah gaduh dengan kegaduhan yang kalian buat. Bahkan masyarakat lupa, ada pemberantasan korupsi atau tidak. Tentu, yang demikian membutuhkan persekongkolan untuk membuat kegaduhan yang super dahsyat. Artinya level besaran kegaduhan sejalan dengan level besaran korupsi, karena itu sejalan pula besaran biaya membuat kegaduhan tandingan.
Wahai para koruptor, mungkin kalian sependapat, bahwa akar korupsi adalah biaya politik yang tinggi. Artinya korupsi bisa bisa saja memang untuk biaya politik. Narasi pemberantasan korupsi tampak paradok, sebagaimana tesis terbalik tentang hubungan antara pembangunan ekonomi, demokrasi, dan korupsi. Tesis Lipset dan Lenz (Harrison dan Huntington, ed., 2011) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi akan berdampak positif dengan proses demokrasi, dan dengan proses demokrasi akan berkurang korupsi. Yang terbukti, demokrasi berbasis korupsi, dan korupsi berbasis demokrasi. Baik yang memilih maupun yang dipilih berlumuran korupsi.
Butt and Emerson (2012) menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara paling demokratis sekaligus paling korup di Asia. Peningkatan jumlah kasus korupsi dan perkembangan demokrasi yang saling beriringan. Hal demikian dapat dilihat pada Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dan data ICW. Menurut Konsorsium Indeks Korupsi Asia (CADI), skor agregat IDI naik dari 4,97 persen (2013) menjadi 5,42 persen (2014). Pada tahun yang sama, ICW mencatat peningkatan jumlah kepala daerah tersangka korupsi dari 11 orang (Semester I/2013) menjadi 25 orang (Semester II/2014). Dari sisi jumlah tersangka yang ditangani KPK, Kepolisian dan Kejaksaan, juga catatan ICW, peningkatan, masing-masing: 532 orang (Semester I/2016), 578 orang (Semester II/2016), dan 587 orang (Januari-Juni 2017). Data tersebut menunjukkan bahwa makin demokratis makin korupsi.
Paradoks kedua, tampak jelas bahwa orang yang sedang tersangkut kasus korupsi masih dapat memenangi pilkada. Kasus terjadi di delapan daerah, mulai dari Papua hingga Sumatera. Memang sulit dipercaya, para pemilih tidak menilai korupsi sebagai perbuatan tabu. Pemilih masih memilih kepada calon yang tersangkut kasus korupsi. Artinya, wahai para koruptor, kalian tidak perlu memiliki rasa malu, karena kalian masih belum diharamkan oleh masyarakat. Karena masyarakat bagian dari korupsi itu sendiri. Ayatnya berbunyi, “ora dumdum duwit ora dicoblos” itulah yang saya katakana korupsi berbasis demokrasi dan demokrasi berbasis korupsi. Maka korupsi kalian bisa dimaklumi dan bisa dihapus oleh kegaduhan-kegaduhan yang lebih besar.
Wahai para koruptor, saya punya kabar. Uang hasil korupsi juga mengalir ke beberapa calon yang diusung oleh partai tempat Juliari bernaung, PDIP. Bahkan Tempo berani memberitakan ada sangkut pautnya dengan pencalonan Rakabuming, putra Jokowi Presiden RI saat menjadi peserta Pilkada di Kota Solo. Kabar tersebut membuat gaduh juga. Mungkin saja koruptor punya maksud berlindung di bawah kekuasaan presiden, atau sudah menjadi kesepatakan yang tersimpat rapat. Tentu, jika sudah terlanjur, demikian Juliari akan menanggung sendiri dan sangat sulit menyeret anak presiden. Seandainya pun ada kesepakatan, akan tetap tersembunyi. Bahkan akan terus tersembunyi di dasar bumi.
Wahai para koruptor, meski sudah segaduh apapun suasana, tetapi jika jatah kalian konangan (ketahuan) korupsi. Ya nasib kalian. Modus korupsi sejenis seperti yang kalian lakukan oleh koruptor lain juga banyak. Kebetulan belum konangan. Komplotan kalian sekalipun juga tidak bisa konangan. Jika kalian gunakan ayat korupsi, “jika kalian jadi tersangka korupsi, amankan teman”
Hardiwinoto, 29 12 20