Hardiwinoto.com-Agak sulit bagi saya menulis tentang mompreneur sukses dari pengalaman sendiri. Saya belum pernah suses berjualan. Percaya atau tidak, belasan kali membantu menjualkan dangan teman atau buku sendiri, selalu rugi. Ending jualan selalu sama, dagangan saya bagi-bagikan gratis atau saya jual di bawah harga beli. Tidak tega.
Saya tidak tahu kenapa saya belum bisa berdagang. Mungkin latihan berjualan saya masih kurang. Saya paham, perempuan pertama dalam Islam adalah entrepreneur tangguh beromzet, jika di kurskan pada rupiah, milyaran. Bunda Khatijah. Saya mengerti, dari sepuluh jalan rejeki, Sembilan adalah dari berdagang.
Mompreneur juga dikaitkan dengan keterampilan mengelola keuangan keluarga. Seorang ibu harus terampil mengelola keuangan keluarga hingga rezeki Allah untuk keluarga itu cukup. Naik turun kualitas hidup keluarga menjadi sangat tergantung pada keterampilan sang ibu. Ibu yang berantakan mengelola keuangan, bisa membawa keluarga pada kebangkrutan.
Bicara keterampilan mengelola keuangan, Alhamdulillah neraca keuangan saya selalu positif. Dari kecil saya membiasakan diri menabung. Kuliah sambil bekerja paruh waktu. Lulus kuliah, tabungan saat itu cukup membeli motor. Cash.
Sejak membangun rumah tangga sampai sekarang, walau ada saja masa hidup tanpa uang masuk, neraca keuangan keluarga selalu positif. Ini karena selalu ada uang simpanan yang disisihkan untuk masa paceklik. Pelan-pelan keluarga juga membangun ketahan ekonomi dengan membeli sawah dan ternak.
Kuncinya? Selalu mengusahakan membiayai keluarga dengan standar dibawah jumlah uang yang dihasilkan. Jika penghasilan Rp. 3,- juta, kehidupan harus berbiaya maksimal Rp. 2,8,- juta. Jika penghasilan Rp. 10,- juta kehidupan diusahakan berbiaya maksimal Rp. 6,- juta.
Cari berbagai hal yang akan mengurangi pengeluaran. Jalan kaki pengganti angkot untuk jarak ratusan meter, sekaligus membakar kalori. Protein daging bisa diganti tahu tempe. Memasak makanan atau penganan sendiri daripada jajan.
Persoalan keuangan keluarga, ada pada manajemen ‘want’, keinginan. Bukan kebutuhan. Lha, kebutuhan manusia sejak zaman nabi Adam itu sama. Makan untuk mengganjal perut, atap melindungi panas dan hujan, baju menutup aurat. Yang berbeda adalah jenisnya. Nasi pulen cianjurkah, atau nasi raskin. Rumah berlantai kayu atau keramik Italia. Baju katun atau sutra impor Cina. Dan Ibu adalah pembentuk selera keluarga. Tidak apa tidak bisa berbisnis, asal terampil mengendalikan ‘want’ sebatas kebutuhan utama. (MH)
Maimon Herawati (Hadila, Edisi 94/ April 2015)