Hrdiwinoto.com-Manusia melihat fakta, filosof melihat pertanyaan di balik fakta. Bagi sebagian orang, auditing, adalah kumpulan praktik, prosedur, metode dan teknik tanpa perlu dukungan teori. Mereka mempertanyakan, mengapa auditing berfilsafat, apa arti filsafat auditing, apakah setiap auditor diperkenankan berfilsafat secara bebas, mengapa dunia akuntansi dan auditing memasuki dunia filsafat yang bukan domain ilmu tersebut. Dalam jumlah lebih kecil, sementara pihak lain justru mempertanyakan dasar dari semua praktik, prosedur, metode dan teknik auditing, dan bertanya apakah ada cara lain yang lebih efektif dan efisien untuk mencapai sasaran audit yang sama. Apabila demikian, dibutuhhkan suatu landasan yang lebih konseptual agar teknologi auditing dapat berkembang dan disempurnakan, teknik dan prosedur audit dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Inilah tujuan perama yang ingin dicapai dalam filsafat auditing. Auditing bukan sekedar teknik evaluasi bukti, namun berkaitan dengan tanggungjawab social dan etika auditor karena itu bermuara pada nilai moral dan nilai estetika.
Tujuan kedua filsafat auditing adalah untuk membangun solusi yang dapat diterima umum bagi masalah audit yang timbul di lapangan pada berbagai Negara yang berbeda. Tujuan ketiga filsafat auditing dalah untuk mencari benang merah diantara berbagai jenis auditing yang berkembang di dunia, menyadari hakekat perbedaan antar jenis audit dan melakukan kegiatan audit yang sesuai. Tujuan keempat filsafat auditing bahwa pada berbagai kegiatan auditing di muka bumi terdapat pengakuan suatu konsep audit yang berlaku universal atau hampir universal.
Pustaka tentang filsafat auditing jarang ditemukan, mungkin merupakan akar penyebab mengapa praktek auditing sangat berbeda dengan cita-cita luhur auditing tentang kebenaran dan independensi auditor. Literature tentang teori auditing lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pustaka tentang akuntansi.
Pertanyaan falsafiah seperti “Jadi, kalau suatu hasil audit dapat dibatalkan oleh audit selanjutnya, atau oleh audit yang lain dengan hasil berbeda, sesungguhnya, apa gunanya auditing?” atau “Apabila suatu kesimpulan audit tidak dapat diterima sebagai bukti pengadilan, lalu apa gunanya auditing?” merupakan fenomena yang menunjukkan bahwa dunia membutuhkan falsafah tentang auditing.
Pada awalnya, kelaziman pendapat tentang kecukupan jumlah uji sampel ditentukan berdasarkan opini auditor, lalu muncul wacana apakah basis pengalaman dan intuisi auditor dapat diandalkan menyebabkan tuntutan penggunaan teori probabilitas dan hokum inferensi dalam penentuan kecukupan sampel audit.
Pertanyaan lebih rumit adalah, apakah program audit minimum harus diterapkan pada setiap tugas audit, dan apabila demikian, bagaimana bentuk program audit tersebut? Seberapa jauh dan dalam jasa penasehatan manajemen atau jasa perpajakan boleh diberikan yang menjamin independensi auditor tidak terdistorsi? Bolehkan auditor mengungkapkan temuan kelemahan kendali internal kepada public, apabila dipertimbangkan membahayakan umum?
Apakah temuan ketidaklaziman keputusan atau keijakan manajemen yang membahayakan kesinambungan usaha audit boleh dipublikasi bagi masyarakat? Berapa jauh tanggungjawab auditor untuk mengungkapkan keterbatasan laporan keuangan pada situasi krisis keuangan yang melanda Negara? Apa dasar atau mengapa auditor diizinkan mengandalkan kesimpulan hasil uji system kendali internal yang dinilai memuaskan untuk mengurangi jumlah sampel audit?
Sukrisno Agoes dan Jan Hoesada. 2009. Bunga Rampai Auditing.Salemba Empat. Jakarta.