Hardiwinoto.com-Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara restorasi/rehabilitasi, yaitu usaha mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Restorasi lebih memberikan peluang kepada alam untuk mengatur atau memulihkan dirinya sendiri. Manusia hanya sebatas memberikan jalan dan peluang serta mempercepat proses pemulihan. Secara umum habitat mangrove mampu memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15 – 20 tahun jika: (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu dan (2) ketersediaan biji, bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi normal atau mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara penanaman. Oleh karena itu habitat bakau dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan mangrove.
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove diantaranya adalah :
- Fisiografi pantai
Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur hutan mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Karakteristik pantai, misalnya area, panjang, dan lokasi berhubungan dengan penggenangan pasang (tidal inundation), sedimentasi, dan karakterisitik sedimen. Hamparan lumpur (mudflats) dan estuaria dipengaruhi oleh gelombang-gelombang atau sungai-sungai yang umumnya berasosiasi dengan kesuburan areal mangrove yang mendukung suatu keberagaman yang sangat luas, baik flora maupun fauna. Oleh karena itu, semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh.
- Iklim
Sebagian besar daerah pantai Indonesia beriklim tropik basah dan dicirikan dengan kelembaban, angin musim, curah hujan, dan temperatur yang tinggi. Hal ini menyebabkan pencegahan akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Pengaruh langsung iklim adalah terhadap komposisi epifit yang terdapat pada hutan mangrove. Mangrove yang terdapat di daerah yang selalu basah memiliki banyak spesies epifit, sedangkan pada hutan mangrove di daerah dengan iklim yang mempunyai masa-masa kering, epifit jarang dijumpai.
- Pasang surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada tanah mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik, dan menurun selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horisontal. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa antara air tawar dengan air laut, dan oleh karenanya mempengaruhi distribusi vertikal organisme mangrove.
- Gelombang dan arus
Gelombang pantai – yang sebagian besar dipengaruhi angin – merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.
- Salinitas
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 – 30 ppt. Salinitas yang sangat tinggi (hypersalinity) misalnya ketika salinitas air permukaan melebihi salinitas yang umum di laut (± 35 ppt) dapat berpengaruh buruk pada vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif. Akibatnya, tajuk mangrove semakin jauh dari tepian perairan secara umum menjadi kerdil dan berkurang komposisi spesiesnya.
- Oksigen terlarut
Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah. Oleh karena itu, konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol komposisi spesies, distribusi dan pertumbuhan mangrove. Tanah pada hutan mangrove yang berlumpur dan jenuh air mengandung oksigen rendah dan bahkan tidak mengandung oksigen (anoksik). Dalam kondisi lingkungan demikian hanya spesies-spesies tumbuhan tertentu saja yang dapat hidup.
- Tanah
Mangrove terutama tumbuh pada tanah berlumpur, namun berbagai spesies mangrove dapat tumbuh pula di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil, bahkan tanah gambut. Pada umumnya ciri tanah di hutan mangrove selalu basah, mengandung garam, sedikit oksigen dan kaya akan bahan organik. Susunan spesies dan kerapatan pada hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh susunan tekstur tanah dan konsentrasi ion tanah yang bersangkutan. Pada lahan mangrove yang tanahnya lebih banyak terdiri atas liat (clay) dan debu (silt), terdapat tegakan yang lebih rapat dari lahan yang tanahnya mengandung liat dan debu pada konsentrasi yang lebih rendah.
- Nutrien
Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik. Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Lahan pasang surut yang subur akan mendukung pertumbuhan mangrove yang subur pula.
- Proteksi
Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Oleh karena itu upaya proteksi dari hempasan ombak mutlak dilakukan baik dengan bangunan teknis atau penentuan waktu tanam yang tidak bersamaan dengan musim ombak.
Pengeloaan Mangrove Berbasis Masyarakat
Bentuk tekanan terhadap kawasan mangrove yang paling besar adalah pengalih-fungsian (konversi) lahan mangrove menjadi tambak udang/ikan, sekaligus pemanfaatan kayunya untuk diperdagangkan. Selain itu, juga tumbuhnya berbagai konflik akibat berbagai kepentingan antar lintas instansi sektoral maupun antar lintas wilayah administratif. Secara ideal, pemanfaatan kawasan mangrove harus mempertimbangkan kebutuhan masyarakat tetapi tidak sampai mengakibatkan kerusakan terhadap keberadaan mangrove. Pertimbangan paling mendasar adalah pengembangan kegiatan yang menguntungkan bagi masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi mangrove secara ekologis (fisik-kimia dan biologis). Perlu juga mengembangkan matapencaharian alternatif bagi masyarakat sekitar mangrove dengan mengandalkan bahan baku non-kayu dan diversifikasi bahan baku industri kehutanan dan arang seperti yang terjadi di Nipah Panjang, Batu Ampar, Pontianak. Masyarakat merubah pola konsumsi bahan bakar dari minyak tanah dan arang bakau menjadi arang leban dan tempurung kelapa dan menggunakan tungku hemat energi atau anglo.
Salah satu komponen penting dalam upaya rehabilitasi mangrove adalah masyarakat pesisir. Masyarakat sekitar hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting bagi kelestarian hutan. Mereka dapat berperan sebagai perusak atau penjaga hutan mangrove dari berbagai ancaman. Mansyarakat sekitar hutan mangrove memanfaatkan berbagai produk hutan mangrove guna mencukupi kebutuhan hidup dan memerlukannya untuk mempertahankan stabilitas lingkungan. Untuk itu diperlukan pengembangan peranserta masyarakat yang dapat melakukan usaha konservasi hutan mangrove guna menjaga kestabilan ekosistem mangrove tersebut.
Usaha reklamasi hutan mangrove dengan pendekatan sistem keproyekan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah melalui Departeman Kehutanan maupun Kementerian Perikanan dan Kelautan tingkat keberhasilannya cenderung kecil dan sangat tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Jika dilihat lebih mendalam dan ditelusuri dengan teliti ternyata salah satu penyebab kegagalannya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove dan masyarakat masih dianggap sebagai obyek bukan sebagai subyek. Pelaksanaan proyek dengan pendekatan top – down tentu saja kurang memberdayakan masyakakat sekitar hutan mangrove. Pemerintah hanya berperan sebagai penyedia dana, pengontrol dan fasilitator. Masyarakat beranggapan hutan magrove tersebut milik pemerintah bukan milik mereka sehingga mereka acuh tak acuh dengan kerusakan mangrove disekitar mereka.
Masyarakat pesisir hendaknya dijadikan sebagai ujung tombak dalam program rehabilitasi mangrove yang dilakukan pemerintah. Pemerintah diposisikan sebagai penyandang dana, sedang untuk perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatan kedepan diserahkan oleh masyarakat dengan pelibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perangkat desa, pemimpin umat, ketua adat dan lain-lain. Dengan pendekatan semacam ini proses rehabilitasi mangrove yang dimulai dari pembibitan, penanaman, perawatan, penyulaman dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme ini masyarakat tidak merasa dianggap sebagai buruh tapi masyarakat merasa sebagai pemilik dari hutan mangrove itu sendiri. Secara tidak langsung masyarakat jadi mempunyai rasa tanggung jawab untuk turut menjaga kelestarian dari hutan mangrove di sekitar mereka.Upaya rekalamsi mangrove sudah berjalan sedemikian lama. Untuk pelaksanaan kedepan hendaknya pemerintah meggunakan sistem pendekatan bottom up dengan meletakkan mayarakat sebagai subyek bukan sebagai obyek. Tugas pemerintah lebih pada pemberian pengarahan secara berkelanjutan agar kedepan tidak terjadi konflik kepentingan diantara mereka.