hardiwinoto.com-Minat masyarakat yang besar terhadap perbankan syari’ah, masih menyisakan problem berat yaitu ketimpangan pemahaman masyarakat baik pengelola maupun nasabah terhadap prinsip, produk, istilah dan akad akad yang ada pada perbankan syari’ah. Kondisi demikian berpotensi terdapat penyimpangan pada bank syari’ah, yang kemudian kita tidak bias menyalahkan pada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa bank syari’ah sama dengan bank konvensional.
Para bankir bank syari’ah, jajaran eksekutif, termasuk komisaris, bahkan dewan pengawas syari’ah masih dalam perspektif ideologi kapitalis. Potensi penyimpangan pada bank syari’ah menimbulkan kegelisahan sebagian umat Islam. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah apakah sistem perbankan syari’ah sudah sesuai dengan kaidah syari’ah (shariah compliance) atau belum? Sebagian masyarakat masih mengalami kesulitan membedakan secara substansial antara akad di bank syari’ah dengan bank konvensional, sehingga publik menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional. Jika perbedaan tersebut hanya diletakkan pada akad semata.
Perbankan syari’ah menggunakan akad sebagai dasar transaksi, namun hanya tersebut baru pada taraf formal. Substansinya justru sama sebagaimana terjadi pada bank syari’ah, yang mana implementasinya masih mirip dengan bank konvensional. Artinya akad tersebut dilanggar oleh bank syari’ah itu sendiri, sehingga terdapat potensi penyimpangan pada akad tersebut.  Misalnya, pada akad wadi’ah, sebagaimana istilah pada bank konvensional disebut tabungan dan deposito.
Dalam kamus keuangan dan perbankan syari’ah, wadiah adalah penempatan sesuatu di tempat yang bukan pemiliknya untuk dipelihara. Sedangkan menurut figh Madzah Hanafi wadiah adalah “mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik melalui ungkapan, tindakan, maupun melalui isyarat”. Sementara konsep wadi’ah yang digunakan pada bank syari’ah adalah wadiah yad ad-dhamanah (titipan dengan risiko ganti rugi).
Apakah dana wadi’ah tidak ditanam di capital market yang penuh dengan unsur spekulasi dan gharar (ketidakjelasan sumbernya dan penuh unsur manipulasi)? Apakah investasi bank syariah halal atau tidak? Apabila bank syari’ah tersebuat adalah unit usaha syari’ah (cabang) dari bank konvensional apakah dana wadi’ah tidak disimpan atau ditanam pada kantor pusat bank induk? Apabila bank syari’ah menanamkan dananya pada bank induknya yang konvensional maka hal ini jelas melanggar syari’ah compliance karena bank konvensional sudah jelas menggunakan unsur riba dan mencampur-adukan produk antara transaksi yang halal dengan yang haram.
Selain sebagian dana deposito yang bisa jadi dimainkan ke dalam pasar modal yang berunsur judi, juga kenapa uang dari penabung dan deposan digunakan akad wadiah? Bukankan sebaiknya digunakan akad mudharabah. Karena titipan tersebut berupa uang yang akan diproduksi oleh bank untuk pembiayaan usaha. Jika demikian akad wadi’ah mestinya mudharabah.
Beberapa kasus penyimpangan yang sering ditemukan pada bank syari’ah antara lain:
- Ditemukan kasus pembayaran kembali dipercepat untuk pelunasan sebagian atau seluruh “hutang pokok”. Padahal perlu diketahui bahwa dalam perbankan syari’ah tidak dikenal klausul hutang-piutang, sehingga kurang tepat untuk akad Ijarah Muntahiyah Bi Tamlik (IMBT), karena itu adalah akad sewa. Dalam konteks akad ini, nasabah berkewajiban melunasi biaya sewa (ujrah). Cara yang lebih tepat adalah menggunakan “opsi memiliki” lebih awal yang harus dituangkan dalam perjanjian. Istilah “hutang” yang dihitung dari “total harga obyek ijarah, berarti mengabaikan bahwa dalam mekanisme keuangan syari’ah tidak ada istilah hutang piutang. Ijarah adalah adalah akad sewa atas barang sewaan. Sementara yang terjadi adalah sejumlah ujrah (biaya sewa) yang belum dibayar, namun obyek ijarah sudah dinikmati.
- Ditemukan kasus penyesuaian harga sewa dengan menggunakan istilah “ekspektasi indikasi rate 11 persen per tahun.” Ingat, dalam akad ijarah harus disepakati para pihak dengan jelas. “Ekspektasi indikasi rate 11 persen per tahun” menjadi tidak jelas. Hal ini juga terjadi pada akad murabahah. mestinya adalah akad jual beli, tetapi nyatanya adalah akad hutang piutang, dengan menggunakan kata margin keuntungan jual beli yang disepakati dengan dasar bunga pasar.
- Ditemukan kasus bahwa akad tidak menjelaskan siapa pemilik obyek IMBT. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) dan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) secara tegas menyatakan bahwa obyek IMBT adalah milik bank. Kepemilikan bank ini sudah seharusnya terefleksi dalam akad.
- Ditemukan kasus dalam akad mudharabah, mudharib akan membayar margin setiap bulan kepada Shahibul Mal secara proporsional dari margin 13,5 persen per annum efektif. Ingat, Mudharabah adalah akad kerjasama bagi hasil. Akibatnya masih ada bank syari’ah yang menerapkan perjanjian mudharabah, murabahah dan ijarah secara salah kaprah. Misalnya ada bank syari’ah yang justru menentukan margin sebesar 12,5 persen per tahun pada akad mudharabah, murabahah dan ijarah. Padahal sudah jelas bahwa akad mudhrabah adalah akad kerjasama usaha, akad murabahah adalah akad jual beli, dan akad ijarah adalah akad sewa menyewa. Melihat kondisi ini tentu saja para pengguna bank syariah tetap harus berhati-hati, ternyata bank syariah belum tentu sepenuhnya sesuai syariat Islam.
Untuk membuktikan bahwa bank syari’ah adalah berbeda dengan bank konvensional, maka bank syari’ah harus konsisten dengan akad-akadnya. Bukan meminjam akad syari’ah tetapi mekanisme sama dengan bank konvensional. Bank syari’ah bukan melakukan “sopan santun” dalam menggunakan akad syari’ah namun prakteknya adalah konvensional.
Temuan-temuan di atas menjadikan sebagian masyarakat menganggap bank syari’ah sama dengan bank konvensional. Keduanya sama sama melakukan operasi hutang piutang. Bank syari’ah mengabaikan substansi prinsip mudharabah, murabahah dan ijarah yang sesungguhnya. Keduanya berorientasi keuntungan semata, yaitu dalam melakukan menajemen investasi dan finansial menggunakan asas profit oriented. Perbankan syari’ah dalam menjalankan misi mencari keuntungan tersebut memunculkan dua pertanyaan.
- Apakah perbankan syari’ah mampu menjalankan operasional sesuai dengan prinsip keuangan syari’ah, bersama itu pula harus profit oriented?
- Apakah perbankan syari’ah mampu mengimplementasikan produk perbankan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah?
Dalam hal ini sebagian umat Islam bervariasi dalam menyikapi operasionalisasi bank syari’ah. Satu sisi mereka berharap bank syari’ah dapat menghindarkan dari unsur riba, namun realitas di lapangan terdapat beberapa operasionalisasi produk bank syari’ah berpotensi sama dengan prinsip yang dijalankan oleh bank konvensional. Implementasi produk bank syari’ah hanya mengandalkan akad-akad saja yang disebut dengan akad syari’ah, namun akad syari’ah tersebut belum sesuai denga prinsip-prinsip keuangan syari’ah.
Perbankan syari’ah di Indonesia berkembang dan berproses melalui tiga skema yaitu:
- Mendirikan bank syari’ah secara langsung dengan full system syari’ah seperti halnya bank Muamalat.
- Melakukan konversi dari bank konvensional ke bank syari’ah, yaitu menggunakan full system syari’ah, seperti halnya Bank Syariah Mandiri yang pada awalnya adalah bank konvensional.
- Membuka divisi syari’ah, yaitu bank konvensional membuka divisi syari’ah sehingga disebut dual banking system.
Kini, masih sering dijumpai operasionalisasi produk bank syari’ah terkesan pragmatis dan sinkretis. Pragmatis secara operasional karena menerabas koridor syari’ah, dan sinkretis karena terdapat paham kapitalisme yang bercampur dengan paham Islamisme.
thank you for your attention, hope we can make blog better.