Buku karya Hardiwinoto (2018) yang berjudul Kontroversi Produk Bank Syariah dan Ribanya Bunga Bank telah diberi pengantar oleh Prof. Dr. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag., Ketua Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Ekonomi Islam Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Beliau menjelaskan persoalan bunga bank dan riba dengan merujuk pada penafsiran berbagai pendapat ulama telah muncul beberapa decade lalu termasuk mufasir awal abad 19 yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha hingga mufasir kontemporer semisal Fazlur Rahman dan Quraisy Shihab. Mereka memunculkan berbagai pemikiran yang berbeda satu dengan yang lain karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Bukan saja tingkat pengetahuan tetapi latar belakang pendidikan dan faktor perkembangan peradaban terutama kemajuan ekonomi yang semakin maju bersamaan dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Wacana bunga bank termasuk riba atau tidak, telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu keislaman, sebagian tokoh seperti Abu Zahrah menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba. Karena riba dipahami secara tekstual yakni setiap pinjaman (utang) yang disyaratkan adanya tambahan karena penundaan waktu pembayaran. Lain halnya dengan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Fazlur Rahman dan juga Quraisy Shihab, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), K.H. Maemun Zubair, mereka berpandangan bahwa bunga bank tidak mesti riba, karena riba mengandung unsur dzulm (penganiayaan dan penindasan). Jika bunga mengandung unsur penganiayaan dan penindasan (dzulm), maka baru bisa disebut riba.
Pembicaraan judul buku “Tafsir Kontemporer Tentang Riba”, mengajak pembaca berfikir ulang tentang perdebatan wacana ulama tafsir terhadap definisi riba. Lebih-lebih jika definisi riba ditafsirkan secara tektual, maka sistem perbankan yang kerjanya jual beli uang, termasuk riba, begitu pula sistem operasional perbankan baik konvensional maupun bank syari’ah masih sebatas sebagai fasilitator antara nasabah peminjam maupun penyimpan uang. Lebih lanjut Quraisy Shihab menjelaskan definisi riba akan menjadi sigifikan jika mengandung unsur utang-piutang, tambahan yang disyaratkan, berlipat-lipat, mengandung unsur dzulm (penganiayaan dan penindasan sepihak). Kata kunci haramnya bunga bank dikatakan riba terletak pada unsur dzulm (penindasan sepihak). Jika transaksi utang-piutang dengan syarat adaya unsur tambahan tetapi memiliki simbiosis mutualisme dari kedua belah pihak, maka pinjaman dengan tambahan yang disyaratkan dianggap termasuk riba, bertentangan dengan kaidah hukum Islam bahwa asas transaksi adalah ridho, dengan merujuk pada Q.S. an- NIsa’ ayat 29 yang artinya: “Hai orang-orang ang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu……”. Dan juga Q.S. al-Maidah ayat ayat 2 yang artinya:….dan bertolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan bertolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…..”
Menurut penjelasan berbagai ulama, semisal Al-Darir (ahli hukum Islam dari Universits Khourtum Maroko) yang termasuk transaksi batil antara lain; memaksa, menipu, mengelabuhi, mengecoh, memonopoli, merampas dan sejenisnya sehingga pihak lain yang bertransaksi merasa dirugikan.
Bunga bank bisa termasuk riba jika mengandung unsur batil dan dzulm. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa riba disejajarkan dengan haramnya khamr dan maisir (judi), karena peminum khamr dan pemain judi memiliki dampak signifikan terhadap pelanggaran hukum Allah karena keduanya termasuk perbuatan keji dan perbuatan syaitan yang mengakibatkan terjadinya permusuhan dan rasa benci terhadap sesama serta membuat lupa dalam mengingat Allah sebagaimana tersebut dalam Q.S. al- Maidah ayat 90-91)
Akibat dari sistem bunga tidak mesti mengarah pada permusuhan, kebencian dan juga belum tentu bisa menjauhkan diri dari ingat kepada Allah. Bunga bank baru dikatakan riba jika dampaknya mengarah pada permusuhan, kebencian dan juga jauh dari ingat Allah. Oleh karenanya ulama salaf seperti Ibnu Qoyyim al-Jauziyah berpendapat bahwa larangan utang uang dengan syarat adanya kelebihan (tambahan) termasuk riba fadhl (riba karena adanya pembayaran lebih) dikawatirkan umat Islam terjebak pada riba nasi’ah (riba Jahiliyah). Dalam kitab Muwaththa’ Juz 1 halaman 132) Imam Malik meriwayatkan dari Abu Zanad dia mendengar informasi dari Sa’id bin Musayyab yang menyatakan bahwa tidak ada riba kecuali pada emas dan perak.
Riwayat Hadist diatas terdapat kesesuaian dengan tulisan penulis buku dalam perspektif ekonomi moneter yang menghasilkan kesimpulan bahwa bunga bank belum tentu riba. Karena uang yang berlaku di perbankan saat ini bukan uang emas dan perak (nilai riil) tetapi uang kertas dengan nilai nominal, sehingga kecenderungan terjadinya penyusutan dan perubahan nilai uang merupakan keniscayaan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain inflasi yang tidak mungkin dihindari (perang, politik yang tidak stabil, bencana alam) dan pengaruh sistem perdagangan global dan transnasional, geo politik antar Negara dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih.
Riba nasi’ah atau riba jahiliyah menurut Quraisy Shihab bisa diilustrasikan sebagai berikut:
Seorang debitur meminjam uang kepada kreditur dalam waktu tertentu misalnya 1 bulan, setelah jatuh tempo, debitur tidak mampu membayar, maka kreditur menuntut adanya tambahan tertentu dari pinjaman pokoknya, setelah diperpanjang waktu pembayaran, debitur juga belum mampu mengembalikan, maka utang pokoknya plus tambahan menjadi hutang pokok yang lebih besar lagi hingga menjadi berlipat ganda (berlipat-lipat) misalnya 10 berlipat menjadi 20, 20 berlipat menjadi 40 dan seterusnya. Inilah gambaran riba Jahiliyah yang terjadi saat ayat riba diturunkan. Dalam batas-batas tertentu debitur tidak mampu membayar utang secara berlipat-lipat (adh’afan mudha’afatan), hingga tanah pertaniannya bisa lepas diserahkan kepada kreditur untuk melunasi utang yang berlipat-lipat tersebut.
Ilustrasi riba Jahiliyah diatas tidak bisa disamakan dengan utang piutang dengan sistem bunga yang terjadi saat ini sebagaimana yang berlaku pada sistem perbankan konvensional atau bank syari’ah. Bisa jadi, ketika sistem perbankan memberlakukan sistem bunga-berbunga, misal debitur meminjam uang sebanyak 100 juta dalam jangka waktu 10 tahun, dengan sistem bunga tetap, jumlah tambahan uang yang dibayarkan oleh debitur kepada bank tidak melebihi dari jumlah pinjaman pokok. Dalam perspektif ekonomi nilai uang nominal 100 juta dalam kurun waktu 10 tahun akan menjadi berkurang jika diukur dengan nilai riil uang tersebut karena berbagai faktor termasuk inflasi sehingga terjadi perubahan nilai uang itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis buku dengan secara teliti dan cermat menjelaskan perbedaan antara bunga bank dengan riba dalam perspektif ekonomi moneter. Selama bunga tidak dipakai transaksi spekulatif atau bunga difungsikan sebagai laba atau upah dari transaksi pemilik modal dengan pengelola modal untuk kegiatan pendanaan sektor riil atau usaha produktif, maka bunga bank tidak termasuk riba. Pendapat ini sebagaimana telah dikemukakan oleh para mufasir kontemporer seperti; Muhammad az-Zarqa’, Muhammad as- Sanhuri, Fazlur Rahman, Khalil Kuninakh (mantan Hakim Turki), Quraisy Shihab. Demikian juga Wahbah al- Zuhaily telah menguatkan dengan menjelaskan dalam buku al- Iqtishad fi Syari’ati al- Islamiy”. Bunga bank diistilahkan dengan al-Bunuk al- Istitsmariy atau al-Bunuk al- Gharbiy dibolehkan atas dasar dharurat, karena umat Islam belum bisa menghindar dari sistem perbankan berbunga hingga saat ini.
Sebagai penutup, mengutip pernyataan Quraisy Shihab yang menyatakan bahwa (terdapat pernyataan yang di tulis oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar) sebagai berikut:
“Tidak termasuk berbuat riba seseorang yang memberikan kepada orang lain harga (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu, karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedang riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa suatu dosa (sebab) keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan dan ketama’an. Dengan demikian tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Allah dan tidak pula oleh seorang berakal atau orang berlaku adil, akan pandangan yang mempersamakannya.”
Riba dalam pandangan Al-Qur’an dan juga ulama’ seluruh dunia dari masa awal (Rasulullah) hingga kini tetap haram, sedang definisi riba telah terjadi perbedaan penafsiran termasuk dengan isu bunga bank. Agar bisa mendapatkan informasi secara utuh, buku ini menjelaskan secara gamblang “Tafsir Kontemporer Tentang Riba dalam Perspektif Ekonomi Moneter” dalam rangka memberikan tambahan wawasan bagi pembaca, terutama bagi pemerhati dan praktisi lembaga keuangan syariah, sehingga mampu menghindarkan diri dari perbuatan saling mengeksploitasi satu sama lain.
Semarang, 19 Maret 2018
Prof. Dr. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag.
Untuk mengetahui isi buku secara lengkap, Anda dapat menghubungi WA 085865351802