Pengaruh Kedatangan Orang Tionghoa di Jawa
Sebelum kedatangan orang Belanda, orang Tionghoa di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat. Mereka hidup membaur dengan saling membawa budaya masing-masing. Orang Tionghoa hidup dengan berdagang, bertani dan menjadi tukang. Pada umumnya mereka tidak membawa istri dari Tiongkok dan menikah dengan perempuan pribumi sehingga lahirlah keturunan campuran yang biasa disebut peranakan dan yang telah merasa menjadi orang Indonesia.
Dalam memoir yang merupakan laporannya sebagai Deputy Quarter Master Genera to the Forces serving in Java, Mayor William Thorn menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa tidak membawa istri dari Tiongkok kaena memang ada larangan untuk membawa atau mengirim perempuan keluar dari Tiongkok. Mereka pada umumnya mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan gundik atau istri. Perkawinan mreka pada umumnya dilakukan dengan upacara yang meriah dan cukup mahal dan walaupun mereka telah berabad-abad lamanya tingggal di pulau Jawa, tetapi mereka masih tetap menghormati adat-istiadat dan kebiasaan bangsanya. Tidak kurang dari 5.000 orang Tionghoa yang segera datang ke Batavia ketika orang-orang di daratan Tiongkok mendengarkabar bahwa Inggris telah merebut Pulau Jawa.
Menurut hasil penelitian G.W.Skiner, sebelum abad XIX imiigran Tionghoa hanya terdiri dari laki-laki saja. Di tempat-tempat baru yang mereka datangi, imigran Tionghoa tersebut menikah dengan wanita setempat atau wanita Tionghoa peranakan.
Migrasi wanita Tionghoa ke Aia Tengggara ini baru dimulai pertengahan abad XIX dan permulaan abad XX. Migrasi wanita Tionghoa ini bertalian dengan fasilitas penggunaan kapal api dan murahnya tariff angkutan. Sejak itu migrasi orang Tionghoa, baik laki-laki maupun perempuan meningkat dengan pesat.
Menyinggung kemurnian penduduk Indonesia, Dr. Josef Glinko, antropolog senior Universitas Airlanggga Srabaya terus terang menunjukkan khusus untuk masyarakat Tionghoa sebagai mereka yang telah ratusan tahun meninggalkan tanah airnya, pada umuumnya memang hanya pria. Dengan demikian mau tak mau mereka itu lantas kawin dengan para wanita di sini, jadilah keturunannya anak-beranak ikut menghuni Indonesia.
Benny G. Setiono. 2002. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Elkasa. Jakarta.