Hardiwinoto.com-Kelompok Syi’ah yang berada di Negara-negara Sunni menjadi ancaman. Gerakan politik mereka menyusup dalam jaringan kekuasaan. Bahaya Syi’ah tidak sekedar dari segi aqidah semata. Ketika kelompok Syi’ah masih minoritas, mereka selalu berlaku “taqiyah” (berpura-pura), tetapi ketika sudah menjadi kekuatan politik, tidak akan pernah memberi kesempatan terhadap golongan lainnya, terutama kelompok Sunni.
Ketika Ayatullah Khomeini pulang ke Iran dari pengasingan di Paris Februari 1979 disambut gegap gempita oleh rakyat Iran. Khomeini langsung menyerukan penggulingan Perdana Menteri Shapour Bachtiar, yang menjadi perpanjangan tangan Shah Iran. Itulah awal mula revolusi Iran, yang kemudian disebut sebagai revolusi “Islam” ala Khomeini. Khomeini seakan menjadi antitesa rezim Shah Iran yang disokong oleh Amerika Serikat. Seakan Khomeini menjadi sosok atau tokoh anti Amerika dan Barat.
Sejak Ayatullah Khomeini menempati kekuasaan tertinggi di Iran, hal tersebut menjadi “katarsis” (pelepasan) ketertindasan mereka oleh rezim yang menjadi kolaborator dan kaki tangan Amerika Serikat. Kaum muda di Dunia Islam yang sudah lama tertekan dan tertindas dengan penuh semangat mengidetikkan diri ke dalam revolusi Iran ala Khomeini. Inilah awal mula pengaruh Iran ke Dunia Islam, terutama Sunni yang sebagian besar dikuasai rezim pro-Amerika.
Sejatinya revolusi ala Khomenei hanyalah revolusi kaum “Syi’ah”, yang ingin meluaskan pengaruhnya ke negara-negara berbasis Sunni. Sesudah dua dekade kemudian, muncul kekuatan politik baru di Negara Arab yang Sunni, namun bercorak ideologi Syi’ah. Mereka mempunyai pengaruh politik yang sangat luas dan signifikan. Ketika Zionis-Israel melakukan invasi militer ke Lebanon pada tahun l982, dan melakukan pembantaian di kamp pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila, dilanjutkan pengusiran kekuatan Organisasi PLO yang dipimpin Yaser Arafat ke Tunisia, mengakibatkan terjadinya kekosongan kekuasaan, kemudian diisi oleh kekuatan Syi’ah.
Pada tahun l990, Syi’ah masih minoritas di Bahrain. Setelah menjadi mayoritas, kekuatan Syi’ah menjadi ancaman. Mereka berusaha melakukan perebutan kekuasaan melalui celah demokrasi dengan sokongan Iran dan Hizbullah di Lebanon. Di Yaman kekuatan Syi’ah Houthi melakukan pemberontakan tanpa henti, juga dengan dukungan Iran, berupa persenjataan. Sekarang pemerintah Yaman tidak bekutik menghadapi Syi’ah Houthi. Arab Saudi sekarang menghadapi Syi’ah sebagai kekuatan baru di Timur Tengah. Para penguasa Arab Saudi menjadi target operasi mereka.
Ketika terjadi invasi Israel ke Lebanon mengirim pasukan Pasdaran (Pengawal Revolusi), dan sekarang menjelma menjadi kekuatan Hizbullah (Syi’ah), secara de facto dan de jure telah menguasai Lebanon. Hizbullah terlibat konspirasi membunuh Perdana Menteri Rafiq Hariri (Sunni) bersama dengan Suriah, yang sekarang ini Hizbullah mengambilalih kekuasaan di Lebanon.
Syi’ah sebagai sebuah gerakan politik telah menggunakan isu agama, dan menjadikan “ahlul bait” sebagai dasar untuk memperkuat sentimen terhadap kelompok Sunni. Kekuatan Syi’ah sekarang membentang mulai dari Lebanon sampai ke Yaman. Peta seperti bulan Sabit, melingkar dari atas Lebanon, Irak, Iran, Bahrain, Yaman, dan hampir semua negara Sunni termasuk Indonesia. Oleh karena itu Syi’ah menjadi ancaman bagi keberlangsungan NKRI.
Di Indonesia, Forum Ulama dan Umat Islalm Indonesia (FUUI), yang dipimpin oleh Kiai Athian Ali memelopori mengumpulkan seluruh ulama dan pimpinan ormas Islam untuk menghadapi ancaman Syi’ah. Kelompok Syi’ah di Indonesia mengklaim bahwa pengikutnya sudah mencapai 4 juta orang. Jika para mahasiswa Indonesia yang sekarang berada di Qum pulang ke Indonesia, maka Syi’ah akan menjadi problem bagi dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar secara nyata. Syi’ah bukan hanya sesat secara aqidah, melainkan juga menjadi gerakan politik untuk memusuhi Islam.
Merujuk pada hasil Rakernas 6 November 2007 di Sari Pan Pasifik, Jakarta bahwa ajaran Syi’ah memenuhi kriteria aliran sesat (Buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, MUI, November 2013). Artinya bahwa MUI menyatakan bahwa Syi’ah masuk dalam kategori ajaran menyimpang dan sesat.
Pluralisme
Merujuk kepada hasil kajian Anis Malik Toha (2010) berkaitan ciri-ciri pluralisme agama dan implikasinya terhadap masyarakat Islam, asas dan konsep pluralisme bukanlah sekadar toleransi belaka, melainkan menekankan teori dan konsep tentang “kesamaan” atau “kesetaraan” dalam hal “beragama”.
Setiap pemeluk agama harus memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Sedangkan ciri paham pluralisme adalah berikut:
1. Kesetaraan, ajaran pluralisme agama mengajarkan semua agama sama dan setara, tak ada yang paling baik dan tak ada yang paling buruk.
2. Liberalisme atau kebebasan, ajaran pluralisme agama mengajarkan hak kebebasan beragama, dalam arti keluar-masuk agama. Hari ini seseorang boleh menjadi muslim, esok menjadi kristiani, esok lusa menjadi hinduisme, dan seterusnya.
3. Relativisme, implikasi dari kedua watak yang sebelumnya, yaitu pluralisme mengajarkan kebenaran agama relatif.
4. Reduksionisme, untuk sampai kepada kesetaraan atau persamaan, ajaran pluralisme agama telah mereduksi jati-diri atau identitas agama menjadi entitas yang lebih sempit, yaitu sebagai urusan pribadi atau berwatak sekular.
5. Eksklusifisme, pluralisme agama disyiarkan sebagai anti-eksklusifisme dan sering menyuguhkan dirinya sebagai ajaran yang “tampak” ramah dan sangat menghormati kebebabasan. Akan tetapi hakikatnya, telah merampas kebebasan pihak lain dan ketika kaum pluralis mendeklarasikan diri sebagai pemberi tafsir tentang kemajemukan keberagaman secara absolut, bahwa semua agama sama.
Asas-asas tersebut jelas bertentangan kebenaran Alquran sebagai agama wahyu. Dalam Islam definisi kafir dan iman sangat jelas, yaitu diterangkan dalam Alquran surat al-Bayyinah, bahwa orang kafir terdiri atas orang-orang ahli kitab dan orang-orang musyrikin. Penjelasan orang orang ahli kitab adalah orang orang Yahudi dan Nasrani. Sedangkan orang-orang musyrikin adalah mereka yang menyebah selain Allah.
Dengan demikian jika semua agama disamakan adalah tidak rasional karena masing masing agama memiliki dasar teologi dan syariat yang berbeda. Kalau umat selain Islam menganggap agamanya benar adalah silahkan tetapi jangan memaksakan kehendak kepada umat Islam untuk berkeyakinan bahwa semua agama adalah sama dan benar. Jika demikian orang-orang yang berkeyakinan pluralisme sebenarnya adalah kelompok intorelan.
Radikalisme
Radikalisme (dari bahasa Latin radix yang berarti “akar”) adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya menghendaki reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Begitu “radikalisme” historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif.
Menurut Encyclopedia Britannica, kata “radikal” dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox. Pada tahun 1797, ia mendeklarasikan “reformasi radikal” sistem pemilihan, sehingga istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi pergerakan yang mendukung reformasi parlemen. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrim dalam aliran politik.
Referensi-referensi yang ada, belum ditemukan bahwa radikalisme tertuju pada suatu ajaran agama, apalagi ditujukan secara khusus kepada Islam. Akan tetapi kebanyakan definisi mengkaitkannya dengan politik.
Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa asal muasal tindakan radikal muncul dari salah satu aliran politik bukan dari ajaran agama tertentu. Dengan kata lain dapat pula dinyatakan bahwa gerakan radikal tidak bersumber dari agama. Namun bisa saja terjadi kesalahpahaman dalam agama menimbulkan gerakan radikal.
Kebiasan dalam stigma radikalisme, suatu kelompok akan menuduh kelompok lain sebagai kelompok radikal, belum ada standar yang jelas dalam penilaian kapan suatu kelompok atau pribadi tertentu disebut sebagai orang atau kelompok yang berpaham radikal. Selama ini wewenang penilaian selalu diserahkan pada presepsi media masa atau pengaruh kekuatan politik. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan membaca sejarah radikalisme dari masa ke masa.
Namun perlu diketahui bahwa tuduhan radikalisme untuk umat Islam baru dikenal beberapa tahun belakangan ini. Diawali sejak perang dingin antara dua negara adikuasa berakhir, setelah kalahnya adikuasa Uni Sovyet dalam melawan Afganistan, negara-negara Islam yang barada dalam cengkramannya berusaha melepaskan diri. Puncak dari tuduhan radikalisme terhadap Islam setelah terjadi pasca peristiwa runtuhnya gedung WTC 11 September di Amerika Serikat tahun 2001.
Suatu hal yang sangat mengherankan sekaligus memalukan adalah pernyataan dari seorang tokoh Islam bahwa ciri kelompok radikalisme adalah jenggotan, celana cingkrang, takbir, dan selalu membawa mushaf kecil. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh tersebut gagal paham tentang radikalisme. Pernyataan tersebut di samping tidak sesuai dengan fakta juga terselip rasa kebencian terhadap umat Islam selain kelompoknya. Artinya, tokoh tersebut justru pelaku radikalis.