http://hardiwinoto.com
Ken Arok, kepercayaan Tunggul Ametung Adipati Tumapel. Ken Arok meyakini kata Lohgawe, “Siapa yang dapat memperistri Ken Dedes istri Tunggul Ametung, akan dapat menjadi Raja Sejagat”. Berbekal kepercayaan itu, Ken Arok memesan keris kepada Empu Gandring.
Empu Gandring sanggup membuatnya dalam kurun satu tahun. Singkat cerita, baru lima bulan Ken Arok meminta dengan paksa, padahal keris belum seselasi dan memiliki memiliki rangka. Untuk menguji keampuhannya keris ditusukkan kepada Empu Gandring. Menjelang kematiannya, Empu Gandring berkata, “Keris akan meminta korban nyawa tujuh turunan”.
Sebelum Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, keris dipinjamkan kepada sahabatnya, Kebo Ijo. Oleh Kebo Ijo keris dipamer-pamerkan dan selalu dibawa ke mana ia pergi untuk mendapatkan perhatian umum. Bagi Ken Arok, dipinjamkan keris pada Kebo Ijo adalah siasat. Ken Arok meminta kembali keris dan digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung. Siasatnya berhasil. Hampir seluruh masyarakat Tumapel percaya bahwa Kebo Ijo adalah tersangka pembunuhan Tunggul Ametung.
Ken Arok memperistri Ken Dedes sekaligus naik Tahta menjadi Raja Tumapel. Ken Dedes sedang hamil buah cinta Tunggul Ametung. Ken Arok memperluas wilayah dan pengaruhnya sampai mampu menguasai Kerajaan Kediri, kemudian mendirikan kerajaan Singasari.
Anusapati anak Tunggul Ametung dengan Ken Dedes mengetahui bahwa Ken Arok yang membunuh ayahnya. Anusapati menuntut balas pembunuhan. Dengan menyuruh pendekar bernama Ki Pengalasan untuk membunuh Ken Arok. Untuk menghilangkan jejak, Anusapati membunuh Ki Pengalasan dengan keris Empu Gandring pula.
Anusapati naik tahta. Tidak lama kemudian, Tohjaya putra Ken Arok dengan Ken Umang mengetahui kalau ayahnya dibunuh oleh Anusapati. Tohjaya menuntut balas. Tohjaya mengadakan acara Sabung Ayam kerajaan yang sangat digemari Anusapati. Anusapati lengah, Tohjaya mengambil keris Empu Gandring dan langsung membunuhnya. Tohjaya naik tahta menggantikan Anusapati.
Tohjaya juga tidak lama bertahta. Ketidakpuasan muncul di kalangan rakyat dan elit istana. Akhirnya terjadi peperangan sampai Tohjaya tewas dengan keris Empu Gandring. Tahta kerajaan dilanjutkan oleh Ranggawuni, kerajaan Singasari terjadi kedamaian. Sejak terbunuhnya Tohjaya, keris Empu Gandring hilang entah ke mana.
Metamorfosa Kekinian
Empu Gandring, Lohgawe, Ken Arok, Kebo Ijo, Ken Dedes, Tunggul Ametung, Anusapati, Pengalasan, Tohjaya, sampai kini terasa masih sangat nyata ada. Mereka bertamorfosa dalam bentuk regulasi, institusi, atau politisi yang mungkin terbungkus oleh intrumen-instrumen kekinian.
Empu Gandring ibarat cerdik pandai penyusun studi kelayakan, naskah akademik, draf-draf regulasi atau institusi dan birokrasi. Mungkin saja, Empu Gandring kini adalah para konsultan politik dan dan ekonomi penyusun draf kebijakan publik di negeri ini.
Keris Empu Gandring memakan korban tujuh elit politik, bisa dimaknai bentuk regulasi, institusi, birokrasi, atau intrumen kebijakan publik. Kebetulan secara berurutan memakan kurban para eksekutif pemegang kebijakan publik. Kita perhatikan, mantan presiden, menteri, hakim, dewan, dan lain sebagainya kena tuah hasil kebijakannya. Akibat “Keris Empu Gandring” yang belum jadi secara sempurna terdapat Bulog gate, Brunei gate, BLBI gate, Century gate, Hambalang gate, kelautan gate, sapi gate, Freeport gate, reklamasi gate, TKA gate, dan lain-lain. Bukankah hal tersebut bentuk metamorfosa pembunuhan oleh keris empu gandring model kekinian?
Ken Arok, adalah gambaran politisi yang tidak diketahui bibit bobot bebetnya, tiba-tiba menyeruak masuk ke istana pemegang kebijakan publik hanya bermodalkan keterkenalan. Tidak diketahui kaderisasinya, seberapa kualitas pribadinya, dan bobot nasionalismenya. Tiba-tiba memenangkan pemilu, tiba-tiba terpilih menjadi orang yang berwenang memegang kebijakan publik. Tiba-tiba memiliki “Keris Empu Gandring” kekinian. Keris menjadi pusaka kekuasaan yang jika diterapkan menjadi kebijakan publik membawa malapetaka.
Kebo Ijo, politisi lugu, yang sebenarnya tidak memiliki pusaka. Karena dipinjami pusaka maka dengan bangganya ia pandai mengolah kata-kata, pintar orasi, lihai mempromosikan diri, namun lalai kalau bukan dari otaknya sendiri. Ini adalah model politisi asal bicara, asal terkenal, asal jadi. Maka ia terbunuh oleh opini-opini pinjamannya. Kebo Ijo menjadi tempat tertuduh karena “Keris Empu Gandring” pinjaman. Kebo Ijo politisi plonga-plongo menjadi alat Ken Arok mendapatkan tahta dan kesenangan.
Ken Dedes sampai kini sebagai simbul segala kemewahan, kenikmatan dan keperkasaan. Maka dikatakan Lohgawe, jika mampu memperistri Ken Dedes dapat menjadi raja yang terkenal. Kini, Lohgawe ibarat pembisik, konsultan, peneliti, pembuat polling, peramal politik yang selalu membisikkan dan merekomendasikan cara-cara jahat untuk meraih kekuasaan. Lohgawe bagaikan motivator politik yang menyimpang dari cita-cita luhur politik. Karena politik hanyalah pasar tempat transaksi dan jalan pintas mendapatkan upah politik dan ekonomi.
Anusapati dan Tohjaya adalah politisi pewaris perjanjian, peraturan dan tata laksana pemerintahan ikut tak peduli, betapa keris Empu Gandring yang disusun tidak tuntas, belum sempurna, dibuat dalam tekanan dan paksaan, belum memiliki rangka, dan belum disahkan. Tetap saja dijadikan dasar mengeksekusi kebijakan publik. Pergantian pemerintahan terkesan masih membara dendam dan dendam.
Kini, akan teruskah ”Keris Empu Gandring” menjadi landasan dalam pengambil kebijakan publik di negeri ini? Akankah tipe Ken Arok yang selalu memenangkan politik di negeri ini. Akankah terus Kebo Ijo masa kini yang lugu dan bodoh selalu dimanfaatkan oleh Ken Arok? Dan akankah terus muncul konsultan politik dan ekonomi sebagaimana Lohgawe? Apakah kini “Keris Empu Gandring” terlanjur menjadi regulasi dan institusi. Jika demikian, kebijakan publik dengan dasar yang salah dan dipegang penguasa yang salah hanya akan menjadi mesin pembunuh. (Hardiwinoto, 17-05-2018)