Ekonomi Indonesia dalam Lakon Ekalaya Manah

Palguna

Hardiwinoto.com-Di dunia wayang Ekalaya bukan anak bangsawan atau trah raja. Ia memang golongan rakyat, namun memiliki semangat untuk meningkatkan derajat. Ia bersemangat untuk berjuang untuk belajar meski terhalang karena bukan trah raja.
Suatu ketika Ekalaya bersama Arjuna mendaftar sekolah. Ekalaya sadar jika ia tidak memenuhi persyaratan. Bukan karena Ekalaya tidak cerdas, namun karena ia bukan dari golongan Pandawa atau Kurawa. Ekalaya sudah menunjukkan kepintaran, namun Begawan Durna (sang guru) tetap tidak mau menerima sebagai murid.
“Kanjeng Durna, saya ingin berguru di sekolah anda” Ekalaya memohon.
“Apakah anda memenuhi persyaratan yang ditetapkan panitia? Tanya Durna.
“Tentu saja tidak, selain bukan putra bangsawan, saya tak akan mampu membayar” jawab Ekalaya.
“Artinya, sekolah ini bukan tempatmu untuk belajar, silahkan memilih sekolah gratis di luar sana” Durna menjelaskan.
“Bukankah ini sekolah negeri, jatah bagi semua rakyat, mestinya sebagai saringan adalah kemampuan belajar bukan kemampuan membayar? Ekalaya balik bertanya.
“Iya, tapi ini sekolah bagi ningrat, tidak untuk rakyat” tukas Durna.
Ekalaya memiliki kemauan keras, namun ia adalah rakyat. Sedang Durna terikat oleh peraturan Negara bahwa hanya boleh mengajarkan ilmu pada Pandhawa dan Kurawa, sehingga ditolak permohonan Ekalaya.
Ekalaya tidak patah arang, malahan ia membuat patung Durna. Di depan patung Durna, ia belajar secara otodidak. Ia belajar dan latihan sedemikian rupa sehingga Ekalaya mampu menguasai ilmu tertentu. Ekalaya menjadi raja bergelar Prabu Palguna.
Singkat cerita, Arjuna dan Ekalaya berburu disebuah hutan. Pesat seperti kilat panah Arjuna menusuk jantung rusa. Ternyata, pada saat yang sama panah Ekalaya tepat pada sasaran yang sama. Serentak kedua ksatriya itu berlari menghampiri hasil buruannya. Mereka berebut rusa karena kedua panah berimpit pada sasaran yang sama. Karena tidak ada yang mau mengalah, pertarungan adu kesaktian pun terjadi.
Mereka saling membanggakan diri. Keduanya menyebut bahwa masing-masing adalah murid Durna. Arjuna tidak mampu mengalahkan Ekalaya. Arjuna mengadu pada Durna dan merasa dikhiananti oleh Sang Guru.
Arjuna protes “Guru Durna, engkau hanya guru untuk Pandhawa dan Kurawa, kenapa ada ksatriya lain mengaku murid Durna”.
Durna tercengan sambil berkata “Untuk membuktikan bahwa Ekalaya bukan muridku, bawa aku menemui Ekalaya berada.
Sesampai Durna dekat, Ekalaya bersembah sujud layaknya seorang murid pada Gurunya.
“Benarkah engkau yang bernama Ekalaya dan mengaku menjadi muridku?” tanya Durna
“Leres guru” Ekalaya mengiyakan.
“Aku tidak merasa Anda adalah muridku” kata Durna.
“Aku juga tidak pernah mengajarkan ilmu padamu, bagaimana mungkin kita adalah Guru dan murid?” Durna penuh tanya.
“Saya pernah mendaftar menjadi murid Anda dan engkau tolak” jawab Ekalaya.
“Aku ingat, kau pernah mohon untuk kuangkat menjadi murid, namun aku tidak bisa menerimamu, karena diriku terikat sumpah bahwa aku hanya boleh mengajarkan ilmu kepada Pandhawa dan Kurawa. Bagaimana mungkin kesaktianmu persis seperti yang aku ajarkan?” Durna tak percaya.
“Sepulang ditolak menjadi murid sekolah, aku membuat patung Durna, lalu belajar secara otodidak dengan ditunggui patung Durna” Ekalaya menjelaskan.
“Baik, jika demikian, apakah engkau lahir batin mengaku sebagai muridku?” Tanya Durna.
Ekalaya terbuai akan kata-kata Durna, penuh harap bahwa dia bisa diangkat murid secara resmi. Lalu ia berkata, “Apapun perintah Guru akan saya laksanakan dengan senang hati” Sumpah Ekalaya.
“Bagaimana kau bisa mengalahkan Arjuna” Durna bertanya.
“Saya menggunakan Pusaka Manik Sotyaning Ampal berwujud cincin” Jawab Ekalaya.
“Cincin Manik Sotyaning Ampal berada di dalam kulit sehingga tidak bisa dilepas, jika memang engkau tidak ingkar atas sumpahmu dan senantiasa menaati perintahku, maka ulurkan tanganmu, aku ingin melihatnya” ucap Durna.
Dengan penuh keluguan, Ekalaya mengulurkan tangannya. Durna secepat kilat menghunus keris dan memotong jari Ekalaya tempat cincin Manik Sotyaning Ampal berada. Ekalaya merintih kesakitan mengucapkan kata terakhir menyayat hati.
“Oh, Guru mengapa engkau tega berbuat demikian kepadaku”
“Karena kamu belajar secara illegal” jawab Durna.
“Lalu dimana cincinku” Tanya Ekalaya.
“Akan kuserahkan pada Arjuna, karena ia adalah muridku yang resmi” Jelas Durna.
Lalu Durna berkata pada Arjuna “Ngger, cincin Manik Sotyaning Ampal aku berikan padamu, supaya bertambah kesaktianmu, karena engkau murid kesayanganku” Durna memasangkan cincin pada Arjuna.
***
Kita, bangsa Indonesia belajar ekonomi ke negara Durna. Sepertinya negara tempat kita belajar tidak rela kita menjadi lebih kaya atau lebih kuat. Kisah Ekalaya tidak jauh dari realitas hasil berguru ekonomi kita. Kisah Ekalaya masih terasa nyata ada. Kesaktian Ekalaya memang menyamai Arjuna, tapi kenapa Durna tega memotong jari Ekalaya? Pusaka Manik Sotyaning Ampal dianggap illegal bagi Ekalaya, dan ketika diberikan pada Arjuna menjadi legal?”
Daya tawar ekonomi kita kayaknya seperti tergambar pada nasib Ekalaya. Kita bisa sesakti negara tempat Durna tinggal, namun pusaka ekonomi kita terlanjur diminta oleh Durna. Kita lugu, tangan kita yang berpusaka ibarat faktor produksi, kita berikan kepada Durna lalu dipotong. Faktor-faktor produksi strategis menjadi pusaka kemajuan ekonomi masa depan diberikan kepada Arjuna. Karena Durna takut ada kestria baru bernama poros ekonomi Indonesia bangkit mengalahkannya. Negara Durna yang Indonesia angggap sebagai guru tidak rela jika Indonesia menjadi pesaing ekonomi negeri Durna.

Hardiwinoto, 2017, Stabilitas, Edisi Des 2017-Januari 2018

Hardiwinoto Muchtar

Hardiwinoto adalah seorang peneliti ekonomi, dosen, kolomnis, dan pegiat sosial. Kegiatan yang dilakukan terkait dengan koleksi buku-buku ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sastra dan sejarah.

Artikel Menarik Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *